Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

   Setelah melewati masa-masa yang lumayan cukup sulit, Raesha akhirnya bisa kembali menjalani hidup seperti hari-hari sebelumnya.

Beruntunglah Raesha, karena memiliki sahabat serta kekasih yang tidak pernah meninggalkan dirinya saat dalam keadaan terpuruk. Tidak pernah sebelumnya, terutama bagi Fariz, melihat Raesha yang begitu rapuh. Kekasihnya itu benar-benar seolah kehilangan arah. Fariz menyaksikan sendiri bagaimana seorang Raesha hancur setelah perpisahan kedua orangtuanya. Raga gadis itu seperti terpisah dari jiwanya. Risya dan Zila sering menangis melihat betapa mirisnya kondisi Raesha. Hati sahabat mana yang tidak pilu melihat sahabatnya hancur?

Hanya disayangkan, Afif yang juga sahabatnya menghilang dan belum ada kabar hingga detik ini. Bukan hanya Raesha, Risya dan Zila pun turut penasaran dan kuatir tentunya, tentang keberadaan dan keadaan Afif saat ini. Laki-laki itu menghilang bak ditelan bumi. Sama sekali tidak bisa dihubungi.

Allah nyatanya memang sangat adil. Raesha mungkin memang telah kehilangan kasih dari orangtuanya, tapi Allah mengirimkan begitu banyak pengganti yang melimpahkannya lebih dari sekadar kasih.

"Echa tadi beneran cuman mau minjem uang, lho Kak. Kenapa jadi malah begini, sih?"

Raesha dan Fariz saat ini tengah berjalan santai mengitari sebuah mall ternama di kota tempat Raesha dan Fariz kuliah. Awalnya, Raesha yang kebetulan tidak ada shift kerja menemui Fariz dan berniat meminjam uang untuk membeli satu dua kebutuhan pribadinya yang sudah habis dan berjanji akan menggantinya begitu Raesha gajian. Tapi yang terjadi malah seperti sekarang. Fariz ngotot ingin menemaninya berbelanja dan membebaskan Raesha membeli apa saja, dia yang akan membayarnya. Bagi Fariz, ini momen yang sangat-sangat langka. Raesha bukan tipe yang apa-apa pacar, apa-apa pacar. Dia gadis mandiri yang memiliki sifat manja tersembunyi. Hanya Fariz yang mengetahuinya. Jadi, ketika Raesha mengatakan jika gadis itu ingin berbelanja, Fariz langsung memutar otak dan tidak lama kemudian, otak geniusnya sudah menemukan cara yang ampuh.

Raesha sudah berhenti dari kafe tempatnya kerja part time, omong-omong. Dan sekarang, dia bekerja paruh waktu di kafe milik kekasihnya.

"Sekali-kali, nggak bakal bikin aku bangkrut juga, kog." Fariz menyahut santai sembari merangkul Raesha.

"Akunya yang nggak enak," cicit Raesha.

Selama ini Fariz sudah banyak berkorban untuknya. Membantu ini itu, segala keperluan Raesha yang lazimnya dilakukan oleh orangtua. Kasih sayang yang tidak bisa Raesha dapatkan dari orangtuanya, tergantikan oleh kasih dan cinta yang Fariz berikan. Perlakuan laki-laki itu terhadapnya membuat Raesha merasa amat disayangi … dan diinginkan.

Raesha akui, jika Fariz termasuk lelaki mapan bahkan pada usianya yang masih sangat muda. Tapi, bukan berarti dengan itu Fariz bebas membelanjakannya. Bukannya sombong karena menolak, Raesha hanya tidak mau lebih menjadi parasit dalam kehidupan Fariz.

"Aku laper, nih. Kita makan dulu, yuk!" Tanpa menunggu persetujuan dari Raesha, Fariz langsung menarik tangan gadis itu hingga memasuki sebuah restoran.

"Kak!" Tatapan Raesha menghunus tajam.

"Hm," sahut Fariz cuek. Laki-laki itu malah asik membolak-balik buku menu. Tidak menghiraukan protesan yang Raesha lampiaskan lewat bahasa tubuh.

Hembusan napas berat keluar begitu saja. Percuma. Hanya akan membuat malu nantinya, jika mereka keluar lagi dari restoran ini, tidak jadi makan. Kali ini, Fariz menang. Tapi, lihat saja nanti. Raesha akan memberikan kekasihnya itu sebuah pencerahan khusus yang amat berarti.

🌻

    "Mama ...." Fariz langsung menoleh ke arah tatapan Raesha. Di sana, di sebuah tanah lapang yang memang sering digunakan untuk umum, ada sebuah keluarga yang nampak bahagia. Salah satu anggotanya ialah Maulina, yang tidak lain tidak bukan merupakan ibu Raesha.

Tadinya, Fariz ingin mengajak Raesha bersantai, menikmati waktu luang mereka. Tapi, sepertinya dia akan mengajak gadis itu untuk langsung pulang. Fariz sudah susah payah membangkitkan kembali semangat hidup Raesha. Dia tidak akan membiarkan semua itu sia-sia hanya karena pemandangan tidak mengenakkan di depan mereka.

"Kita pulang," tandas Fariz seraya berdiri dan menarik tangan Raesha. Raut wajah laki-laki itu, kini sudah tidak lagi terbaca.

Raesha tidak beranjak sedikit pun. Matanya tidak lepas menatap ke satu titik. Di sana, tidak hanya ada ibu dan adiknya, tapi juga … Afif. Sahabatnya.

"Bang Afif, temenin Oya beli es krim, yuk!" Adiknya itu mengajak Afif dengan suara yang manja.

"Beli kedainya sekalian, mau?" canda Afif. Laki-laki itu tertawa, diikuti yang lainnya. Mereka nampak bahagia. Sungguh pemandangan sebuah keluarga yang harmonis.

Tanpa harus dijelaskan pun, Raesha sudah bisa menarik kesimpulan. Jika Afif, salah satu dari anggota keluarga baru ibunya.

Tidak. Raesha tidak merasa iri. Tidak sama sekali. Dia hanya … kecewa. Ya, kecewa. Kecewa kenapa Afif tidak pernah berterus terang kepadanya selama ini. Kecewa karena Afif tega menjadikannya orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Kecewa karena orang yang selama ini dipercayainya ternyata termasuk orang yang mengkhianatinya.

Tanpa diminta, air mata sudah menetes, mulai mengalir di kedua pipi. Dadanya sesak. Bahkan lebih sesak dari ketika melihat Fariz berjalan bersama teman perempuannya di kampus waktu itu.

Lebih sesak dari saat melihat Zoya dibelikan segalanya, sedangkan dia tidak. Lebih dari itu semua. Jika saja Afif bukan sahabatnya, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini.

"Echa!" Raesha tersadar ketika mendengar sentakan dari Fariz. Kekasihnya itu kembali menarik Raesha. Namun ....

"Echa ...." Sebuah suara seseorang yang sudah berdiri di belakang mereka mengurungkan niatnya untuk melangkah.

Entah sejak kapan, Afif dan Zoya sudah berdiri di sana. Memandangnya dan Fariz dengan tatapan terkejut. Terlebih Afif.

"Ayo, Kak." Sekarang, malah Raesha yang menarik tangan Fariz.

"Echa, tunggu!" Afif berdiri di depan keduanya. Menatap Raesha memohon. Nampaknya, laki-laki itu sadar akan kesalahannya.

Fariz menatap Raesha yang juga menatapnya. Kemudian, menatap tajam ke arah Afif. Hembusan napas kasar terdengar setelah itu. "Aku tunggu di mobil," ujar Fariz. Ia mengusap bahu Raesha sesaat sebelum melenggang pergi. Memberikan waktu untuk dua bersahabat itu berbicara, menyelesaikan masalah mereka.

"Oya balik ke tempat Mama sama Papi aja ya, Bang." Zoya meminta izin.

"Ah, iya. Bilang Abang ada urusan sebentar."

Kepala Zoya mengangguk. Ia lantas menatap Raesha. "Kak Echa." Seulas senyum tipis ia sunggingkan. Masih canggung untuk menyapa lebih dari itu. Apalagi mengingat hubungan keduanya yang sebelum ini tidak baik.

Raesha balas tersenyum, kikuk. Sedikit merindu juga sebenarnya. Meski hubungannya dengan Zoya tidak bisa dikatakan baik, tapi Zoya tetap adiknya. Satu-satunya saudari yang Raesha miliki.

"Kenapa?" tanya Raesha ketika Zoya sudah jauh. "Aku pikir kita sahabat." Raesha menatap Afif kecewa. Bibirnya tersenyum kecut.

Afif memejamkan mata dan menarik napas panjang. Percuma, jika dia kembali berbohong. Toh, semuanya sudah terbongkar.

"Kita bicara di sana, ya." Afif menunjuk sebuah kedai kopi yang ada di seberang.

"Aku sibuk, kamu juga sepertinya lagi menikmati weekend sama keluarga kamu."

"Cha … come on! Kamu salah paham! Ini nggak kayak apa yang kamu kira," ucap Afif dengan nada yang terdengar frustrasi.

"Emangnya apa yang aku kira?!" tantang Raesha. Ia menatap Afif sengit.

"Aku nggak mau nyakitin kamu, Cha. Aku--"

"Bullshit! Daripada begini, kenapa nggak sekalian aja kamu tusuk aku dari depan?! Kenapa?! Aku benar-benar kecewa sama kamu!" Setelahnya, Raesha berlari pergi. Meninggalkan Afif dengan seribu rasa bersalahnya.

"Shit!" Umpatan itu keluar begitu saja dari mulut Afif. Ia kesal. Kesal pada dirinya sendiri. Kenapa mulutnya tadi menjadi bungkam? Padahal, jika dia tadi langsung menjelaskan semua yang terjadi, Raesha pasti tidak akan pergi. Gadis itu juga tidak akan larut dalam salah paham. Ah, dari awal memang dirinya yang salah. Lamban dalam mengambil tindakan. Ragu dalam mengambil keputusan. Dan sekarang, rencana awalnya benar-benar menjadi berantakan.

Banyak hal yang sebenarnya ingin Raesha bahas. Banyak pertanyaan yang jawabannya ingin Raesha dengar. Tapi, sesak akibat rasa kecewa itu membuatnya tidak sanggup melanjutkan semuanya. Raesha juga tidak mau menangis dan terlihat menyedihkan di depan orang seperti Afif.

Setelah ini, kebenaran pahit apalagi yang akan Raesha terima? Siapa lagi yang akan meninggalkan dia? Siapa lagi orang yang memakai topeng sebagai orang baik di depannya, padahal di belakang begitu kejam ingin menikam?

🌻🌻🌻

   Mentari pagi bersinar terang. Aroma tanah yang masih basah akibat hujan semalam begitu terasa di dalam rongga penciuman. Kicau para burung menjadi melodi indah untuk memulai hari.

Raesha yang hari ini memang tidak ada kelas, memilih berada di kost-annya saja. Dia bahkan menolak ketika diajak teman-teman satu kostnya ke taman hiburan. Raganya mungkin mencerminkan jika dirinya baik-baik saja. Tapi, tidak dengan jiwanya. Semenjak pertemuannya dengan Afif tempo hari, Raesha lebih banyak melamun.

Risya dan Zila sudah tahu penyebabnya. Mereka berdua pun tidak menyangka sama sekali, jika Afif tega melakukan itu. Apa salah Raesha? Bahkan, mereka tidak pernah sekalipun terlibat pertengkaran yang memungkinkan untuk Afif menyimpan dendam. Hubungan keduanya baik-baik saja. Sangat baik malahan. Sampai-sampai, keduanya sering dikira berpacaran saking akrabnya.

Zila yang baru keluar dari dapur menghampiri Raesha, sahabatnya. Risya sendiri ada kelas pagi. Gadis itu sudah berangkat sejak tadi, ingin menghindari macet katanya.

"Cha, sarapan, yuk!"

Raesha menatapnya dan menggeleng. "Nanti aja, sekalian makan siang."

"Aku juga kecewa kali, Cha, sama dia. Tapi yaaa, kamu jangan juga begini, dong." Zila cemberut. Nada bicaranya bahkan seperti merengek.

Raesha tersenyum kecil. "Aku nggak pa-pa, kog, Zil."

Zila mencibir. Dia mengenal Raesha bukan sehari dua hari. Mereka sudah bersahabat sejak lama. Jadi, Zila tahu persis sifat sahabatnya satu ini. Raesha selalu berusaha menyembunyikan masalahnya. Katanya sih, agar tidak membuat orang-orang mengkuatirkannya, apalagi sampai memandangnya dengan pandangan kasihan. Raesha anti mendapatkan itu.

"Ya udah, aku masuk dulu. Kalau kamu nanti ada niat makan, panggil aku, ya. Aku bakal masakin makanan kesukaan kamu, okay?"

Lagi-lagi, hanya senyum kecil yang Raesha berikan. "Okay."

Entah apa yang tengah Tuhan rencanakan. Yang jelas, Raesha selalu berharap itu adalah yang terbaik untuk hidupnya. Tidak peduli apa yang akan dilaluinya nanti, Raesha akan berusaha menghadapinya dengan sebaik dan sebijak mungkin. Sama halnya ketika Riyan meninggalkannya dulu. Ah, lebih tepatnya … ketika Tuhan menunjukkan, jika Riyan bukan jodohnya. Meski di awal Raesha menjalani hari-harinya dengan berat, tapi lambat laun, akhirnya semua bisa berjalan seperti sedia kala. Pun dirinya sudah dipertemukan dengan seseorang yang kini menggantikan posisi Riyan di hatinya. Oleh karena itu, Apapun yang terjadi sekarang di dalam hidupnya, ia meyakini, jika sesuatu yang lebih baik telah menanti di masa mendatang.

Hubungannya nanti dengan Afif mungkin tidak akan berjalan seperti dahulu. Tapi, tidak ada kata 'mantan sahabat' di dalam kamus hidup Raesha. Bagaimanapun, sebelum-sebelum ini, Afif sudah sangat memberi energi positif untuknya. Energi yang setidaknya membuat Raesha bisa selalu berperasangka baik akan kehidupannya.

🌻🌻🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro