Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

Berjalan melalui bangkai-bangkai seperti ini bukanlah hal yang mudah bagi Yuraq. Bukan hanya baunya busuknya yang mengganggu dirinya, ataupun lalat-lalat yang terus mengganggu, namun bagaimana tubuh-tubuh itu terlihat.

Wajah orang-orang itu adalah wajah seorang manusia, persis dengan wajah yang orang-orang hidup seperti dirinya miliki. Namun wajah kelihatan penyok, berbentuk aneh, serta berproporsi salah akibat proses pembusukan, sementara mereka masih berdaging layaknya orang hidup, berbeda dari mumi yang sudah menjadi tulang, tengkorak, dan kulit. Belum lagi bagaimana badan mereka juga rusak, dengan isi perut terburai ke mana-mana.

Hal itu membuat mereka terlihat menyeramkan. Yuraq takut kalau mereka sewaktu-waktu, tanpa dirinya duga, bangkit dan mulai bergerak. Dia juga mulai terbayang bagaimana penduduk desa ini sampai berakhir demikian. Pasti sangat brutal dan menyakitkan.

Di saat yang sama, rasa jijik juga menguasai pikiran gadis muda itu. Dia berusaha keras agar kakinya tidak menginjak bangkai, cairan bangkai, atau bekas-bekas darah.

Hal yang seburuk atau lebih buruk dari bangkai-bangkai itu adalah belatung yang memakannya. Yuraq sangat benci belatung. Mereka menggeliat, berdenyut, menggali daging, dan terkadang meloncat. Gadis muda itu saat ini tengah dikelilingi oleh mereka. Mereka ada di semua tempat, mulai dari mayat-mayat, rerumputan, hingga bata-bata keras jalan. Dia begitu lelah, namun tidak bisa terlalu lelah untuk menghindari mereka di jalan.

"Tolong! Tolong ya Tuhan! Aku harus nemu makanan!"

Kemudian, Yuraq melihat suatu kompleks rumah di sisi kiri jalan, dengan hutan lebat di belakangnya. Pintunya yang terbuka dan sempit menyingkap sedikit dari interiornya yang sepertinya hampa. Tidak seperti rumah-rumah yang berada di sini, bangunan-bangunan itu lebih berdempetan satu sama lain daripada dengan rumah-rumah disekitarnya, dan bagaimana bangunan-bangunan tersebut jauh dari mayat. Selain itu, dinding dan atapnya masih utuh, seakan siapapun yang menyerang desa ini sengaja membiarkannya demikian.

"Kayaknya di sana bebas belatung." Yuraq menemukan tempat yang setidaknya dapat diinapi untuk sementara. Maka pergilah gadis muda itu ke kompleks perumahan tersebut.

ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ

Seperti yang Yuraq duga, isi rumah itu ternyata bebas belatung. Tidak ada mayat sama sekali di sekitar sini. Yang ada di dalam hanyalah lantai, dinding persegi, atap jerami, dan jerami-jerami yang berserakan. Dan setongkol.

Mata Yuraq berbinar-binar melihat jagung tersebut. "Makanan!" Tanpa banyak pikir, dia mengambilnya dari tanah, lalu mulai mengupas kulit dan rambut-rambutnya.

Hal yang dia lakukan tersebut tanpa disangka mengingatkan dirinya akan masa kanak-kanaknya.

4 tahun yang lalu. Waktu itu dia masih seorang gadis kecil. Sang ibu masih bernafas dan berbicara padanya. Dia masih berpikir bahwa sang ibu akan sembuh, sehingga dia membantu warga-warga desa mempersiapkan makanan untuk upacara siang itu, termasuk mengupas jagung seperti ini.

Masa itu. Seandainya semuanya sama seperti saat itu. Seandainya keadaannya tidak berubah drastis seperti ini.

Tanpa Yuraq sadari, air mata mulai mengalir di mukanya. Meskipun demikian, dia hanya diam tanpa rengekan apapun. Dirinya hanya mengupas kelopak-kelopak berwarna pucat itu, menyingkap biji jagung yang nampak putih dan hitam.

"Kok gelap ya sekarang." Yuraq memandang ke arah pintu rumah itu. Di luar kelihatan gelap — sepertinya di luar sana sedang mendung. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun.

"Kayaknya aku harus tinggal di sini dulu." Gadis muda itu mengalihkan perhatiannya pada tongkol jagung di tangannya. Kemudian, tongkol itu didekatkannya ke mulut, dan pada saat yang sama, dia membuka mulutnya. Saat giginya menyentuh biji-biji warna-warni itu, Yuraq merasakan tekstur yang hanya dapat dideskripsikan sebagai "lembut sekaligus keras".

Yuraq membenarkan bagian bawah tuniknya, sebelum dia duduk di lantai, bersandar pada dinding batu yang keras dan dingin. Setelah itu, dia melanjutkan makan siangnya dengan tongkol jagung tersebut.

Saat tengah menggigit tongkol itu, saat tengah mengunyah biji-bijian itu, Yuraq menyadari sesuatu.

"Kayaknya cuma ini makananku hari ini." Dia tidak menemukan apapun yang dapat di makan di dalam rumah ini. "Barangkali di bangunan-bangunan lain ada."

ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ

Sore itu, hujan turun di atas desa tak berpenghuni itu. Air hujan membersihkan bangkai-bangkai dari belatungnya, dan ulat-ulat putih itu hanyut bersama cairan bangkai dalam kubangan dan air yang mengalir seperti sungai miniatur. Bau bangkai yang membusuk bercampur dengan bau tanah yang basah oleh hujan.

Hujan itu akhirnya reda sebelum hari mulai menjadi gelap. Yuraq memanfaatkan waktu ini untuk mengecek bangunan-bangunan di kompleks itu, yang kemudian dia sadari merupakan qullqa, atau gudang makanan dan komoditas lainnya yang diperlukan masyarakat. Namun, qullqa ini sepertinya telah dijarah habis — dia tidak menemukan apapun lagi yang bisa dimakan di sana.

Jagung yang dia makan tadi memang makanan terakhir yang dapat gadis muda itu temukan.

Setidaknya, qullqa kosong ini dapat berfungsi sebagai tempat tinggal sementara.

Malam hari telah datang. Sama seperti bagaimana mayat-mayat menghitam yang dia lihat dikerumuni oleh belatung-belatung berwarna putih, langit malam yang hitam dikerumuni oleh bintang-bintang yang bersinar terang. Namun, di mana Yuraq berbaring, pemandangan yang indah itu terhalang oleh atap jerami tanpa langit-langit, serta dinding-dinding batu yang melindunginya dari dingin malam.

Gadis muda itu telah telentang di atas tumpukan jerami. Dia sudah siap untuk tidur, jika bukan karena perutnya yang kembali terasa kosong dan perenungan yang mulai mengisi pikirannya.

Semalam itu, Yuraq mulai meragukan keputusannya untuk kembali ke kampung halaman.

"Jadi kayak gini ya desaku setelah diserang? Habis semua pembantaian itu... semuanya jadi bangkai. Gak ada yang bisa dimakan di sini. Aku punya rumah buat berbaring tapi... semuanya udah mati. Apakah Ayah juga? Apakah aku bisa tahan melihat Ayah, seandainya jadi mayat juga seperti orang-orang di luar? Apa itu yang bakal aku lihat kalo aku "memandang ke belakang"?"

"Apakah ini berarti... gak ada yang bakal memberiku makan... menyayangiku... aku cuma punya diriku."

Gadis muda itu memutar badannya ke samping. Kedua kaki dan tangannya didekatkan ke badan. Meskipun dirinya berada dalam naungan atap jerami dan kurungan dinding batu, udara dingin itu mulai menusuk badannya.

"Ya, aku cuma punya diriku di sini. Tapi aku harus bertahan hidup."

"Aku sudah mengingkari permintaan Ayah buat gak kembali... dan sekarang aku tau akibat dan alasannya. Jangan sampai aku mengingkari permintaan terakhirnya. Aku gak akan kembali ke desa itu lagi. Aku harus hidup bagaimanapun juga."

"Tapi aku gak tau apa yang harus kulakukan besok. Aku gak tau harus berbuat apa buat seterusnya."

Rasa sakit perutnya yang kosong masih belum reda. Namun, rasa kantuk mulai melanda pikirannya. Matanya menjadi berat, kesadarannya dan sensasi yang dia rasakan menjadi susah dicerna. Akhirnya gadis muda itu memejamkan kedua matanya dengan tenang.

ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ

Berbagai macam bentuk qullqa, gudang bahan makanan dan komoditas lainnya pada masa Kekaisaran Inka:

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro