8
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
Matahari, baru melewati zenit, kini mulai bergeser ke barat. Di bawah cahayanya, Yuraq — gadis muda itu — terus berjalan, tak peduli seberapa lelah dan lapar dirinya.
Meskipun demikian, badannya mulai terasa goyang ke kiri dan ke kanan, meskipun sedikit. Langkahnya mulai menjadi tidak teratur. Beberapa jam lagi dia akan tersungkur di tanah. Namun, niatnya yang kuat menjaga tubuhnya tetap berdiri di tengah jalan yang panjang tersebut.
Sayangnya, semakin jauh gadis muda itu berjalan, semakin banyak langkah yang dia lakukan, semakin dekat mentari itu dengan cakrawala barat, semakin jelas di mukanya bahwa perjalanan ini adalah ide yang buruk. Terlebih lagi, dia mulai teringat akan perkataan sang ayah. Apa katanya?
"Pergi dan jangan kembali atau melihat ke belakang."
"Hiduplah untuk Ayah dan Ibu."
Pikiran ini semakin terngiang-ngiang di pikiran Yuraq. Gadis muda itu mulai merasa bersalah dengan perbuatannya, dan rasa bersalah itu seakan menjadi karung pasir yang diikiat pada pinggang dan memperlambat langkahnya.
"Kenapa aku jadi begini? Padahal... aku berusaha memenuhi permintaan terakhir mereka? Aku ingin menghormati mereka. Tapi..."
Air mata mulai mengalir dari mata, meskipun itu semua tidak menghalangi langkah majunya.
"Aku ini cuma bocah kecil. Aku lemah, gak tau apa-apa, dan cengeng! Kenapa aku harus nurutin kalian, Yah, Bu? Kalian meninggalkanku di sini!"
Amarah dalam hati itu dikontraskan dengan bagaimana dia terlihat dari luar, seorang gadis muda yang berjalan sambil menangis, sambil mengusap air matanya tanpa mengatakan sepatah kata apapun.
"Maaf, Yah, Bu. Aku harus pulang. Aku udah gak tahan lagi di sini."
Setelah sesi menangis itu, Yuraq melihat dengan matanya yang bengkak dan berair, suatu persimpangan 3 di kejauhan. Tujuan gadis itu selanjutnya adalah jalan yang berada di sebelah kanan.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Kurang lebih sama seperti dua jalan yang sebelumnya Yuraq tempuh, jalan ini dikelilingi oleh lahan yang tertutup rerumputan pendek dan hutan-hutan kecil. Jauh di depan, terdapat blok-blok gelap dengan bagian atas yang lebih terang, diapit oleh hutan yang rindang. Barangkali ada permukiman di sana.
Dari ketiga jalan yang sudah gadis muda itu lalui, seharusnya jalan yang ditempuh saat ini adalah yang paling benar.
Meskipun demikian, dia tidak mengenal jalan ini sama sekali.
Mungkin Yuraq tidak ingat pernah melewati jalan ini. Tapi jika masalah dirinya tersesat ini semuanya diakibatkan oleh ingatannya yang lemah, maka jalan yang ditapakinya ini mungkin salah, dan jalan sebelumnyalah yang benar. Apakah jalan di mana desa sunyi itu berada jalan yang benar, tapi dia lupakan juga? Apakah jalan di samping mana dia tertidur adalah jalan yang benar, tapi dia pergi ke arah yang salah?
Yuraq mulai meragukan kemungkinan dia untuk kembali ke rumah.
Tanpa disadari, blok-blok yang gadis kecil itu lihat di depan sana nampak semakin dekat, menyingkap wujudnya yang adalah rumah-rumah.
"Desa lagi?" Karena suatu alasan, Yuraq merasa tidak nyaman dengan desa ini. Nampaknya ada sesuatu yang tidak beres di sana, tapi dia tidak dapat menunjuk apa masalahnya.
Namun, semakin dekat dirinya dengan desa itu, semakin terlihat jelas apa yang membuatnya terganggu: rumah-rumah itu sudah rusak. Atap-atap robek atau terbuka, memperlihatkan kuda-kuda yang menyusunnya. Dinding-dinding bolong, memperlihatkan interior rumah. Beberapa atap terlihat hitam dan rapuh seakan-akan telah terbakar.
Setelah beberapa menit berjalan, Yuraq sampai di dekat dinding desa tersebut. Tidak ada suara manusia sama sekali di sana, maupun aktivitas manusia yang dapat dirinya lihat. Sementara itu, bau hangus dan pembusukan mulai mengganggu hidungnya, sampai-sampai dia harus menutup hidung dan mulutnya dengan telapak tangan kanan.
"Apa ini desaku?" Yuraq berhenti di pinggir jalan, dekat dengan dinding yang membatasi desa yang hancur tersebut. Dinding itu sendiri hanya setinggi leher bawahnya sebagai seorang gadis berumur 13 tahun. Seharusnya dia dapat melihat apa yang ada di sisi lain dinding tersebut.
Meskipun demikian, Yuraq menghindarkan wajahnya dari sisi dalam dinding itu. Bau bangkai yang menyengat itu sudah memberinya gambaran apa yang ada di sana. "Aku harus... aku harus cek gak ya?" Yuraq penasaran dengan apa yang akan ditemukannya di sana, walaupun dia takut.
Yuraq terduduk dengan lemas di tanah sambil membaringkan punggungnya pada dinding. Tangan kanannya masih menutup mulut dan hidungnya. Sementara itu, rasa takut dan penasaran bergulat di dalam benaknya. Rasa takut membujuk dirinya untuk menghindari desa itu, yang pasti dipenuhi mayat membusuk dan mungkin diduduki oleh tentara. Di lain sisi, rasa penasaran membujuk dirinya untuk masuk ke desa itu dengan iming-iming makanan sisa yang dapat dimakannya.
Angin sepoi-sepoi berhembus menimpa badan Yuraq yang dekil Menit-menit telah berlalu. Akhirnya rasa penasaran menang atas rasa takut, berkat rasa lapar gadis muda tersebut yang kuat.
"Barangkali... di sana ada makanan... mungkin jagung... mungkin kinoa atau apalah. Aku harus makan atau aku mati."
Sang gadis muda memberanikan dirinya untuk masuk. Dia melangkah menuju jalan masuk ke desa tyang berupa suatu jarak di antara dua dinding batu selebar 1 rikra. Di sana, apa yang dia takutkan, apa yang dia yakini ada di sana, terlihat oleh matanya dengan sangat jelas.
Di sepanjang jalan dan halaman rumah, terdapat banyak mayat manusia, beserta potongan-potongan tubuh dan organ-organ yang berceceran, seperti usus, kepala, lengan, dan otak. Semua orang telah menjadi bengkak dan kaku. Belatung-belatung putih menggeliat di badan mereka yang berwarna ungu dan hitam gelap, seakan-akan meniru bintang-bintang yang berkelip di langit hitam. Darah yang berceceran sebagian mengering menjadi bercak hitam di atas bata-bata jalan, dan yang lainnya membaur dengan cairan bangkai yang agak bening.
Pemandangan itu membuat gadis muda itu muntah seketika. Cairan bening yang masam keluar dari mulut dan hidungnya. Bulu kuduknya berdiri tegang. Dan saat dia mengangkat badannya sekali lagi setelah membungkuk, saat dia melihat lagi mayat-mayat membusuk itu, dia muntah lagi, kali ini tanpa ada apapun keluar dari lambungnya.
Gadis muda itu kembali memandang desa itu dengan muka yang mengkerut jijik.
"Ayo Yuraq... kamu harus makan... kamu harus melewati ini semua atau mati."
Dengan motivasi tersebut, dia kembali menegakkan badannya. Kemudian, kakinya yang gemetaran dipaksanya untuk mengambil langkah-langkah kecil.
Mungkin Yuraq gagal kembali ke desanya, namun dia sampai di desa yang tak dikenal ini. Sama-sama berdinding, sama-sama hancur, desa ini adalah hal termirip dengan kampung halamannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro