45
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
Matahari sudah lama lenyap di ufuk barat, dan bulan baru sudah menggantung di langit gelap. Quri baru saja selesai menegur keras Urma di dekat salah satu tenda. Yang lain sedang berjalan menuju tenda masing-masing. Meskipun demikian, Puma masih belum melepaskan pandangannya dari Yuraq. Lagipula, bagaimana dirinya bisa kalau gadis itu terlihat loyo sejak insiden tadi siang?
Sebelumnya, Puma sudah mencoba menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Yuraq atau apa yang bisa dibantu soal itu. Namun, ekspresi gadis itu selalu kecut saat ditanyai demikian. Dia juga hanya menjawab "nggak" atau hanya bergumam. Dia seakan-akan tidak nyaman membicarakan hal ini.
Sekarang, lelaki itu berdiri di atas rerumputan pendek. 2 rikra di tempatnya terdapat api unggun yang kobarnya setinggi lutut manusia dan dikelilingi oleh tikar-tikar. Bentangan kain tersebut kosong kecuali satu yang diduduki Yuraq. Gadis itu hanya diam bersila di sana, memandangi bagaimana percikan api membuat kayu jadi hitam dan keropos. Ingin rasanya Puma membantu dia, namun tidak tahu bagaimana.
"Hei Puma!"
Tiba-tiba, Puma merasakan bahunya ditindih oleh sikut manusia. Ditambah dengan panggilan tadi, lelaki itu melonjak.
"Ah, Nina?" Sosok itu ternyata adalah sang pria berbadan kekar. "Bikin kaget saja!"
"Maaf." Nina menanggapi reaksinya itu dengan sedikit tawa. "Omong-omong, Yuraq kelihatannya lagi ada masalah."
"Iya nih. Tadi aku coba nanya dia, dianya nggak jawab. Dia begitu terus sepanjang jalan."
"Memang kamu nanya apa?"
"Aku nanya semacam "kamu kenapa", "kamu butuh sesuatu", dan sebagainya. Kayaknya dia begitu habis kita ketemu orang dikeroyok tadi. Kelihatannya dia nggak nyaman deh bahas masalah beginian."
"Hmm..." Nina memperhatikan Yuraq sekali lagi. "Kalau begitu — kalau masalahnya adalah dia nggak mau ngomongin hal itu — kenapa kamu nggak bikin dia lupa saja sama masalahnya."
"Hmm... benar juga ya," tanggap Puma. "Baik, baik. Kalau gitu bakal aku coba."
"Kalau gitu semangat ya," Nina menepuk bahu Puma dengan pelan. "Omong-omong, kamu suka dia kan?"
Perkataan itu mengejutkan Puma. Bisa-bisanya dia kedapatan seperti ini. "Iya..." jawabnya gugup.
"Oh, pantasan. Kulihat kamu dekat banget sama dia." Nina sekali lagi menepuk bahu Puma sebelum mulai melangkah. "Nah, sekarang kamu punya lebih banyak alasan buat menghibur dia. Semangat ya, aku balik ke tenda dulu."
"Iya, terima kasih."
Pria berbadan besar itu meninggalkan dirinya, menghilang di dalam tenda — salah satu dari semua yang mengelilingi api unggun. Puma mendapati dirinya sendiri bersama Yuraq. Anggota rombongan yang lain sudah tidur di dalam tenda kecuali mereka berdua.
"Sekarang aku harus datangi dia," seru Puma dalam hati.
Lelaki itu berjalan menghampiri Yuraq dan api unggun yang mendampinginya.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Meskipun malam sudah larut, Yuraq belum bisa melupakan kejadian tadi siang. Ingatannya masih segar akan ketakutan sang buruh angkut, serta kebrutalan orang-orang yang menggebukinya. Kejadian itu mengingatkannya akan kematian sang ayah, yang tewas di tangan orang-orang bersenjata tumpul. Walaupun sudah 3 tahun setelah kejadian itu, sepertinya dia tidak dapat bebas dari kemungkinan bahwa seseorang yang dia sayangi akan bernasib demikian.
"Yuraq." Suara yang familiar itu memanggilnya. Yuraq menoleh ke kanan, mendapati Puma berdiri di sana.
"Aku boleh duduk di sebelah?" tanya lelaki itu.
"Ah, iya," tanggap sang gadis.
Puma mengambil posisi bersila di atas sisi tikar yang kosong. Sementara itu, Yuraq bergeser sedikit ke kanan. Sekarang, sepasang remaja itu duduk bersebelahan di depan kobaran api unggun.
Jika tujuan Puma adalah menghilangkan kegundahan Yuraq, maka dia berhasil. Pikiran akan kejadian itu sudah pergi dari pikirannya. Namun, Gadis itu mulai menjadi gelisah karena hal lain.
"Puma ada di... cuma ada aku dan dia berdua!" serunya dalam hati. "Aku harus ngapain?"
"Hei Yuraq," panggil Puma, memandang dengan penuh perhatian namun gugup. "Gimana kalau kita matikan apinya?"
"Ha?" seru gadis itu. "Kenapa dimatiin?"
"Soalnya kita nggak bisa lihat bintang kalau terang begini."
"Oh, kamu mau ngajak aku lihat bintang?" Yuraq menanggapi. "Kalau begitu, kita pergi dari sini saja. Sayang apinya."
"Iya juga sih." Puma menyempatkan diri untuk memandang api unggun itu. "Tapi kalau kita pergi dari sini, harus jalan lagi."
"Lebih gampang jalan daripada nyalain ini lagi," protes Yuraq.
"Baik kalau gitu." Puma mengangkat badannya dari atasw tikar. Sesudah berdiri, dia mengulurkan tangannya pada gadis itu sambil tersenyum. "Ayo jalan."
Yuraq tidak berkata apa-apa. Namun, dia memegang uluran tangan tersebut dan mengangkat badannya.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Yuraq dan Puma berjalan belasan rikra dari perkemahan. Sekarang, mereka berada di tengah lapangan rumput yang luas. Sama seperti bagaimana rerumputan pendek ini bebas dari semak dan pohon, langit di atas mereka berdua bebas dari awan. Di sekujur kubah hitam itu bertaburan bintang-bintang yang berkilau bak permata, sedangkan di pinggirannya terdapat nyala kelabu yang redup.
Bagi Yuraq, pemandangan seperti ini membuat segalanya tidak berarti. Duka, kesibukan, kecemasan, kewajiban, harapan, semuanya dikerdilkan oleh kemegahan langit malam yang takkan pernah tergapai. Namun, perasaan tidak berarti ini tidak membuat dirinya sedih atau rendah diri — suasana itu justru membuat hatinya damai dan nyaman.
"Coba aku bisa terus begini sama kamu," celetuk gadis itu.
Puma terkejut akan perkataan Yuraq itu. Di saat yang sama, gadis itu menyadari apa yang barusan dia katakan. Dengan malu, dia menutup mulutnya dengan kedua tangan dan melangkah mundur dari Puma.
"Yuraq?" tanya Puma gugup. "Kamu..."
"Gawat! Aku terlalu blak-blakan!" seru sang gadis dalam hati.
Kedua remaja itu berdiri beberapa kaki dari satu sama lain. Jantung mereka berdegup kencang. Gugup, malu-malu, dan memiliki perasaan terhadap satu sama lain. Jauh di dalam hati, masing-masing ingin mengungkapkannya, namun tidak sesegera ini.
"Apa ini tanda-tanda dari dia?" pikir Puma. "Ini terlalu cepat. Aku cuma mau menghibur dia. Aku belum siap-siap buat bilang ke dia."
"Apa aku harus bilang ke dia?" Yuraq berpikir. "Lagipula aku sudah terlanjur bilang ke dia? Kenapa nggak sekalian aku... tapi ini kecepatan. Suasananya... nggak pas?"
"Aku harus gimana?"
Di tengah monolog batinnya itu, Yuraq teringat akan nasihat Samin sebelum mereka berangkat. "Selalu ada kata terlambat untuk mengungkapkan dan membalas cinta," katanya. "Tapi apa nggak keburu-buru kalau begini? Gimana kalau aku ditolak? Gimana kalau pertemanan kita berakhir?"
Pertanyaan mengisi kepalanya. Kekhawatiran membekukan badannya. Ingin rasanya dia mengulur waktu dan menyimpan kata-katanya kembali. Namun, kata-kata tidak dapat dikembalikan dan Puma sudah terlanjur tahu.
Di samping itu, kata "terlambat" adalah kuncinya, Yuraq sadari. Kapan dia bisa terlambat? Apakah ini artinya akan ada saat di mana dia tidak bisa lagi mengungkapkan perasaannya? Dia teringat bagaimana selama ini banyak hal telah direnggut dari dirinya,
Pertama Ibu, kemudian Ayah dan kampung halamannya, kemudian masa-masa sejahtera di mana dia bisa makan secukupnya. Semua terjadi tanpa dia tahu kapan. Demikian juga, dia tidak tahu kapan perasaan ini tidak bisa diungkapkan lagi.
Mungkin, sekarang adalah waktunya.
"Anu, Puma... aku... aku..."
Lelaki itu memandangnya dengan penuh antisipasi dan debar jantung.
"Aku sayang kamu!" seru Yuraq. "Aku mau hidup sama kamu buat seterusnya!"
Pandangan penuh harapan Puma pun berubah. Mulutnya terbuka. Kedua matanya terbuka lebar. Darah mengalir deras di sekujur tubuh. Dirinya dan Yuraq membisu, tidak tahu harus berkata apa lagi.
"Akhirnya," seru Yuraq dalam hati.
Di tengah kecanggungan itu, Puma memberanikan diri buat mendekati gadis itu. Pikirannya masih dibingungkan oleh perasaan terkejut itu. Jantungnya masih berdegup. Perasaan bahagia yang luar biasa itu masih mengaduk-aduk pikirannya. Namun dia harus memberi jawaban, sejelas dan sepasti mungkin.
"Yuraq." Kedua tangannya memegang bahu sang gadis. Gadis itu mengangkat mukanya sehingga mereka berdua saling bertatapan.
"Puma?" Meskipun gelap, Yuraq dapat melihat bahwa muka malu-malu itu ada pada sang lelaki.
"Yuraq... aku... juga sayang kamu," kata Puma sambil menatap Yuraq. "Jadi ayo... kita terus bersama buat selamanya."
"Hmm," angguk Yuraq dengan gugup.
Serangga malam bernyanyi dengan merdu dan pelan, mengisi kesunyian malam yang penuh bintang ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro