28
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
"Itu 8 tahun yang lalu coba," Nina menegaskan. "Sebelum semua itu terjadi."
Samin bertanya padanya. "Jadi di sana dia bisa melihat masa depan?"
"Kayaknya gitu sih," balas pria tambun itu. "Untungnya dia gak kenapa-kenapa habis dari sana. Tapi ya begitu."
Titu — yang sudah dijelaskan Puma mengenai pembicaraan ini — menanyai Nina dengan nada skeptis. "Kakak yakin dia gak salah ingat mimpinya? Atau gak melebih-lebihkan?"
"Gak tahu ya kalau dia bohong atau salah ingat," balas Nina. "Tapi dia bukan tipe orang yang suka mengada-ada. Omongannya biasanya benar."
"Permisi." Suara serak itu datang dari Mayu. "Sebenarnya aku pernah punya pengalaman yang sama dengan... kakaknya Nina."
"Yang bener Pak?" tanya Titu mempertanyakan.
"Ya kalau gak percaya ya gak usah percaya," tanggap Mayu dengan nada kesal. "Yang jelas aku beneran ngalami ini."
Pria berumur itu mengambil segelas chicha di sisi kanannya, lalu menyeruput sari-sari jagung. Sesudah itu, dia menyempatkan diri untuk mengambil nafas sebelum melanjutkan cerita.
"Jadi ceritanya kurang lebih sama kayak kakaknya Nina tadi. Waktu itu... sudah lama sekali. Aku masih seumuran Pacha dan Nina dan Samin, jadi... sekitar 40 tahun yang lalu. Dulu aku jalan sama rombongan lewat Pegunungan Timur, tapi pas di tengah jalan, pas lagi banyak-banyaknya salju, ada badai salju. Nah, di saat itu tahu-tahu rekanku sudah gak ada. Karena badai saljunya semakin deras, ya aku nyari tempat sembunyi, dan akhirnya sampai di gua ini."
"Dan Bapak... mimpi apa di sana?" tanya Yuraq dengan rasa penasaran yang malu-malu.
Mayu menanggapi pertanyaan itu dengan menoleh ke arah Yuraq untuk sesaat. "Di sana... pokoknya aneh," Mayu menegaskan.
"Seram nggak, tapi tetap aneh. Jadi di mimpi itu aku melihat ada kota, dihuni sama orang-orang pucat berjenggot tebal. Di sana beberapa orang-orang kayak kita juga ada, terutama perempuan. Terus pintu-pintu rumahnya... punya penutup kayak kendi atau keranjang, tapi nempel sama bukaannya, jadi kalau dibuka dia mutar. Terus ada hewan yang mirip lama tapi lehernya pendek tebal dan kepalanya besar memanjang."
"Tunggu..." tanggap Samin. "Yang hewan itu... itu mirip gak sih sama hewan yang katanya dinaiki orang-orang dari laut?"
"Kayaknya beda Samin," Mayu membalas. "Soalnya yang di mimpiku ini kurang lebih sama besar sama lama. Jelas-jelas gak bisa dinaiki orang dewasa."
Kemudian Puma mulai berbicara. "Apa jangan-jangan masa depan kita gitu juga?"
"Kurang tahu ya Puma," tanggap Mayu. "Aku jujur gak tahu kalau mimpi itu ada maknanya, atau menggambarkan masa depan, sampai aku dengar ceritanya Nina."
"Tapi kalau dipikir-pikir," Pacha menambahkan. "Kayaknya gak bakalan aneh kalau masa depan akan jadi begitu — dengan segala jenggot tebal dan rumahnya dan hewan-hewan anehnya. Orang-orang laut saja sudah berhasil mengalahkan orang-orang kita begitu banyaknya, terus menyandera sang kaisar, sampai-sampai sang kaisar sendiri mengumpulkan semua emas di Tawantinsuyu buat tebusan. Mereka kedengarannya punya kuasa yang cukup buat mengubah negeri ini."
"Tapi mereka kan cuma sedikit," sanggah Titu. Dari situ perbincangan ini menjadi semakin dalam. Pikiran Yuraq yang masih muda susah mengikuti pembicaraan itu.
Meskipun demikian, satu hal jelas bagi Yuraq — masa depan nampak tidak baik-baik saja. Terakhir kekuasaan atas negeri ini berganti, nyawa orang-orang yang dia sayangi — Ayah dan Ibu — direnggut. Orang-orang ini... meskipun mereka tidak begitu dekat dengan dirinya, mereka sudah meluangkan cukup waktu dengannya. Nina, Pacha, Mayu, Puma, Kura, Titu, Ukllu, Hakan... dan terutama Samin. Namun tidak ada artinya bersahabat jika ujung-ujungnya dia harus terpisah lagi dari mereka.
"Yuraq!" Seseorang menepuk pundak kanannya dari belakang, mengalihkan perhatian sang gadis dari pikiran suramnya. Sang pemanggil ternyata adalah Puma — Yuraq menyadarinya setelah menoleh ke belakang.
"Kita lihat-lihat bintang saja," ajak anak muda itu. "Pembicaraannya sudah keberatan."
Yuraq diam sesaat, bingung antara apakah harus ikut dengannya atau tetap duduk di atas tikar ini. Dirinya tidak seberapa dekat dengan Puma, jadi wajar jika dia agak dingin padanya.
Meskipun demikian, akhirnya Yuraq memutuskan untuk mempercayai Puma. Sekali-sekali dirinya butuh teman seumuran. Maka mengangkat badannya dari tikar dan mengikuti ke mana anak laki-laki itu berjalan.
"Yuraq?" tanya Puma.
"Ayo," Yuraq mengajak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro