Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26


₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

Sesudah jam istirahat itu, perjalanan dilanjutkan.

Peralatan masak dan makan seperti panci, piring, dan gelas mulai dirapikan. Tikar mulai digulung. Mumi-mumi keluarga mulai dipajang di punggung lama. Barang-barang dimasukkan kembali ke tas, dan tas-tas itu mulai diangkut oleh rombongan, baik manusia maupun lama.

Yuraq melonggarkan tali terakhir pada lama mereka, kemudian menarik hewan tersebut berjalan ke pinggir jalan, di mana orang-orang dan lama-lama lain telah menunggu. Di sana, dia dapat melihat bahwa Hakan sedang menunjuk-nunjuk orang di sekelilingnya — kelihatannya dia sedang memastikan tidak ada orang, lama, dan barang yang hilang.

Akhirnya mereka semua berada di pinggir jalan.

"Sudah siap semua kan?" Hakan berseru.

"Sudah Pak!" Pacha menyahut.

"Sudah." Orang lain juga menyahut, satu per satu dan bersamaan.

"Baik kalau gitu," tanggap Hakan. "Kita lanjut jalan."

Langkah maju pun mereka ambil. Perlahan-lahan mereka mulai meninggalkan tempat itu.

Yuraq yang berjalan di belakang rombongan menyempatkan dirinya untuk melihat pinggir jalan itu. Lahan menanjak tersebut semakin mengecil dari pandangannya.

Sementara itu, saat ini masih sore — matahari baru saja meninggalkan zenit, belum ¼ jalan menuju cakrawala. Meskipun demikian, langit itu begitu gelap karena mendung.

ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ

Yuraq dan rombongannya melalui beragam tempat, namun tidak banyak yang berbeda dari sebelumnya.

Setelah meninggalkan padang rumput itu, mereka disambut oleh suatu desa yang — meskipun tidak seramai desa yang mereka lalui sebelumnya — cukup banyak dilalui orang. Di sana mereka membeli air serta bahan makanan yang tidak mudah rusak seperti kentang, jagung, dan kinoa untuk mengganti yang sudah mereka pakai tadi siang. Saat mereka berada di sana, awan-awan menyingkir dari langit, memperlihatkan mentari yang sudah bergeser menjauh dari zenit.

Kemudian sekali lagi, rombongan itu mendapati diri mereka berjalan melalui lereng perbukitan yang miring. Kali ini, rumput di sana lebih pendek — tidak lebih panjang dari jempol kaki manusia. Warna rerumputan itu bergradasi dari hijau kekuningan ke kuning kejinggaan. Di sepanjang lereng ini jarang sekali ada permukiman — desa dan kota terdekat yang mereka jumpai berada di dataran rendah, sekitar beberapa tupu¹ dari jalan ini.

Perjalanan sore itu cukup membosankan bagi Yuraq. Di kiri hanya ada hutan atau semak belukar yang membelakangi hutan dan semak belukar lain di dataran rendah, jika bukan pemukiman warga. Di sebelah kanan hanya ada padang rumput dengan sedikit pohon dan semak belukar. Pegunungan Timur tidak terlihat karena tanjakan perbukitan itu menghalanginya. Meskipun demikian. Bukit itu tidak cukup menanjak sehingga sang mentari — yang kini berada ⅓ jalan dari cakrawala — tidak terhalang, sehingga sinarnya menghujani diri gadis itu dan rombongannya.

Di saat yang sama, terik matahari ini mengundang masalah bagi para mumi yang mengendarai lama. Pada dasarnya mumi adalah jenazah yang pembusukannya ditunda oleh mereka yang hidup, sehingga pada cuaca ini mereka mulai mengeluarkan bau yang mengundang lalat. Dalam keadaan seperti ini, keluarga Hakan serta para bawahan akan melakukan hal yang warga Tawantinsuyu biasa lakukan.

"Kura! Samin!" seru Ukllu pada anaknya dan sang buruh tani, yang berjalan paling dekat dengannya. "Tolong keluarkan kipas!"

Dengan segera, mereka bertiga meraih tas masing-masing, lalu mengeluarkan kipas dari dalamnya. Samin dan Kura mendapat 2 kipas, dan tanpa banyak pikir dia mengulurkan salah satu pada Yuraq yang berjalan tepat di sebelah kirinya.

"Yuraq!" Samin memanggil.

Gadis itu segera menoleh kepadanya, terbangun dari lamunan. "Iya Kak?"

"Nih ambil. Kita mengusir lalat." Yuraq segera meraih benda itu. Bentuknya menyerupai segitiga, dan sebagian besar massanya terbuat dari tali-tali kecil yang diikat jadi satu. Pada satu sisi terdapat bulu-bulu hitam dan kelabu yang terikat pada tali-tali tersebut.

Sesudah kipas itu berada di tangan Yuraq, Samin pergi mendekati seekor lama yang beradai di paling depan, kemudian mengipasi sang penumpang yang telah melampaui hidup. Mau tidak mau, gadis itu akan mengipasi mumi yang berada tepat di sebelah kanannya.

Yuraq mendekati mumi tersebut yang kini dikitari oleh lalat-lalat hijau dan hitam layaknya bumi yang dikitari oleh bulan. Bau busuknya — meskipun jauh lebih tidak terasa dari bau mayat biasa — dapat gadis itu cium. Maka tidak heran jika serangga-serangga ini dapat menemukannya.

Kemudian, Yuraq mulai mengayun-ayunkan kipasnya. Angin yang dikibaskan berhasil membuat lalat-lalat itu tercerai-berai hilang keseimbangan, meskipun mereka selalu kembali berusaha mendarat pada tubuh sang pendahulu.

Setidaknya pekerjaan ini membuat perjalanan ini sedikit lebih tidak membosankan, pikir gadis itu. Barangkali karena dia melakukan sesuatu yang berbeda. Barangkali karena dia asyik melihat lalat-lalat itu terlempar dari mangsanya. Yang jelas, gadis itu menikmati tugasnya.

"Kasihan kamu, Kakek. Harus kena cuaca kayak gini."

Perkataan bernada iba itu datang dari sisi lain lama. Yuraq kaget dengan suara gadis itu. Saat dia berjalan mundur sedikit, ternyata di sana ada seorang gadis.

Gadis itu terlihat lebih tua darinya, terlihat dari badannya yang sedikit lebih tinggi. Rambutnya hitam dan lurus. Matanya sama seperti milik ayahnya — sempit dan dalam. Dia adalah Kura, anak perempuan satu-satunya dari Hakan.

Tidak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk menyadari keberadaan Yuraq.

"Oh, gak apa-apa Dik. Yang ini aku yang urus," kata Kura pada Yuraq.

"Ah, tapi..." Yuraq menengok ke belakang, lalu memandang ke depan lagi. Ternyata mumi di belakang sudah dikipasi oleh Pacha — yang mendapat kipas dari Kura — dan yang di depan oleh Ukllu.

"Aku terlanjur dikasih (kipas ini)..." Yuraq menambahi. "Lagipula aku lagi gak ada kerjaan."

Kura tersenyum ramah padanya. "Oh, baiklah. Kalau gitu bantu aku di sini."

Mereka berdua pun melanjutkan tugas mengipasi mumi tersebut tanpa bertukar kata. Setidaknya sampai gadis itu mengajak Yuraq berbicara kembali.

"Dik," panggil Kura.

"Iya?" Yuraq bertanya.

"Namamu?" tanya Kura.

"Aku Yuraq Kak," jawab Yuraq.

"Oh... Yuraq ya?" Kura menanggapi. "Kamu asal mana?"

Pertanyaan itu mengganggu Yuraq dalam hati. Bukan hanya dia dipaksa mengingat tragedi apa yang terjadi di sana, namun bahaya apa yang akan terjadi padanya jika orang tahu desa yang mana. Lagipula, dia sudah lupa namanya.

Beruntung bagi Yuraq, dia sudah lupa nama desa itu. Dia tak perlu berbohong.

Sementara itu, Kura sedikit mengerutkan dahinya. "Apa topiknya membuat dia gak nyaman ya?" pikirnya dalam hati, memperhatikan raut muka Yuraq yang nampak cemas.

"Maaf Kak... aku sudah lupa," Yuraq menjawab sebisanya.

"Oh gak apa apa," balas Kura. "Kalau kamu merasa gak nyaman buat menjawab jangan dipaksakan."

"Baik Kak..."

Percakapan itu pun berakhir di sana.

ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ

Keterangan:

¹1 tupu ≈ 7.7 kilometer.

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

Meskipun Yuraq dan Kura tidak berbicara lagi, mereka tidak sepenuhnya melepaskan pandangan mereka dari satu sama lain. Padahal lalat-lalat itu belum juga meninggalkan kerabat gadis itu.

Yuraq memperhatikan bahwa gadis itu memandangnya dengan tatapan yang intens, seakan ingin mengatakan sesuatu namun ragu.

"Ada apa Kak?" tanya Yuraq.

"Anu..." Kura menanggapi. "Maaf sudah menanyai kamu sesuatu yang bikin kamu gak nyaman."

"Oh itu... Gak apa-apa sih."

"Omong-omong..." tambah Kura. "Kamu gak kecapekan? Habis jalan segini jauh?"

"Capek sih Kak," Yuraq menjawab. "Tapi yang paling buat aku gak suka berjalan sejauh ini... pemandangannya sama semua sepanjang perjalanan. Jadinya bosan."

"Ah gitu ya." Kura menanggapi dengan tawa ringan. "Kalau aku gak sukanya karena bikin capek. Sekarang kakiku pegal banget nih. Kamu nggak?"

"Ya pegal Kak."

"Nah sama kan? Tapi jangan khawatir... sore ini kita pasti bakal mampir dulu buat istirahat. Memang siapa yang gak capek jalan berjam-jam?"

"Baguslah kalau gitu... seenggaknya aku bisa baring-baring bentar. Tapi tetap sih, pemandangannya sama."

"Yah... namanya juga perjalanan panjang."

"Omong-omong Kak, aku agak heran sama sesuatu."

"Apa itu?" Kura penasaran.

"Katanya pengantinnya tinggal di Daerah Timur, berarti kita harusnya jalan ke timur kan? Tapi kita jalannya ke utara."

"Oh itu..." Kura menanggapi dengan ekspresi geli, layaknya seseorang yang tahu banyak ditanyai oleh yang tahu sedikit.

"Begini Yuraq..." Kura menyempatkan diri untuk menghirup udara, sebelum mulai menjelaskan sesuatu panjang lebar kepada gadis itu.

"Kamu tahu kan kalau Daerah Timur itu ada di sisi timur Pegunungan Timur?"

"Iya Kak." Yuraq menjawab dengan penasaran.

"Nah... tapi Pegunungan Timur itu sendiri gak lurus." Kura pun menurunkan kipasnya, berhenti mengipasi sang mumi. Kemudian, dia mengangkat tangan kanannya dengan posisi menghadap langit.

"Pegunungan Timur itu gak lurus dari utara ke selatan kayak gini. Tapi ada belokannya gitu di utara. Jadi dia begini." Gadis itu mendemonstrasikan bentuk pegunungan itu dengan memiringkan tangannya ke sisi kiri Yuraq. Lalu, dia menegakkan tangan itu kembali.

"Jadi ini kan Daerah Timur... sedangkan yang di sebelah sini daerah lainnya." Kura menunjuk sisi tangan yang berada di kanan Yuraq, lalu menunjuk yang berada di kiri. Dan sekali lagi, Kura memiringkan tangannya ke arah yang sama dengan sebelumnya.

"Kalau begini Daerah Timur ada di utara bukan?"

Mata Yuraq terbuka lebar. Ternyata Daerah Timur tidak sepenuhnya berada di timur seperti yang dia kira.

"Tunggu... tapi kenapa namanya Daerah Timur kalau dia gak benar-benar berada di timur?" tanya Yuraq skeptis.

"Yah... soalnya Daerah Timur berada di paling timur dibandingkan daerah-daerah lain."

"Ah begitu ya..." Yuraq kagum dengan Kura. Gadis ini — menurut dia — hanya beberapa tahun lebih tua dari dirinya, namun wawasannya sedemikian luas. Bahkan Samin — yang jelas-jelas lebih tua dari remaja ini — wawasannya tidak lebih dari sekadar bertani.

"Kamu kok banyak tahunya sih?" tanya Yuraq.

"Aku diajarin sama Ayah." Kura tersenyum bangga. "Dia sering pergi ke luar kota. Makanya dia lumayan tahu hal-hal beginian."

"Ke mana saja ayahmu pernah pergi?" Yuraq bertanya lagi.

Pertanyaan itu dilanjutkan dengan mereka berdua berbincang sepanjang perjalanan, tentang berbagai hal. Saking keasyikan, mereka lupa untuk mengipasi mumi sang kakek sampai sempat ditegur oleh ibu Kura, Ukllu.

Dan seperti apa yang Kura katakan, mereka berhenti di suatu lahan yang landai untuk beristirahat. Sama seperti tadi, lama diikat di pohon, tikar dibentangkan, makanan dikeluarkan meskipun tidak ada yang dimasak saat ini, dan Yuraq berbincang bersama Samin tentang beragam hal. Namun kali ini, Kura — teman baru Yuraq hari ini — juga bergabung dengan mereka.

Sesudah mendapat tenaga yang cukup, Yuraq dan rombongan kembali melanjutkan perjalanan mereka. Meskipun jam istirahat sudah berakhir, percakapan antara Yuraq dan teman barunya masih berlanjut.

Tanpa terasa, sang mentari hampir sampai di puncak perbukitan. Cahayanya yang kuning kejinggaan terpancar dengan silau dan panas, menerangi lanskap yang berhutan-hutan hingga nampak keemasan. Meskipun demikian, rombongan itu tidak terganggu dengan teriknya mentari itu, karena mereka diteduhi dalam bayangan perbukitan yang menjulang di sisi timur.

Pada akhirnya, langit mulai menjadi kemerahan seiring dengan bersentuhannya matahari dengan cakrawala. Di saat yang sama, rombongan yang dipimpin oleh Hakan itu menaiki suatu jalan menanjak, yang mengarahkan mereka pada padang rumput di atas perbukitan. Di sana, Yuraq akhirnya dapat melihat Pegunungan Timur, lengkap dengan saljunya.

Hakan berhenti di tempat dan memutar badannya ke arah rombongan. "Semuanya. Kita bermalam di sini ya."

"Kita gak lanjut jalan Yah?" tanya Titu, putra keduanya yang berada tepat di belakang pria itu. "Langitnya masih lumayan terang."

"Tapi jarang-jarang, Nak, kita ketemu tempat seperti ini," jawab Hakan. "Kalau kita lanjut jalan sampai gelap bakalan susah nyari tempat buat singgah."

Maka sesuai instruksi sang kepala keluarga, rombongan itu menyiapkan segala sesuatu untuk menginap di lapangan ini. Sama seperti perhentian makan siang tadi, ada yang memasak, ada yang mencari kayu untuk dibakar, ada yang merawat lama dan mumi, serta ada yang mengangkat-angkat barang. Namun kali ini, ketiga pria buruh tani bersama Hakan sibuk mendirikan tenda.

Sementara para lelaki melakukan pekerjaan kasar, Yuraq dan para perempuan melakukan pekerjaan 'rumah tangga'. Kura dan ibunya merawat para mumi sambil ikut dalam 'percakapan' di antara mereka. Mayat-mayat kering itu mereka gerakkan sementara mereka berbicara sebagai pemilik-pemilik tubuh itu. Di saat yang sama, Yuraq menonton kinoa dalam panci keramik matang di atas tungku batu dan kayu bakar, dan Samin menaruh piring-piring di tanah satu per satu agar masakan dapat dengan mudah ditaruh pada panci.

Saat matahari sudah terbenam — sebelum langit biru menjadi gelap sepenuhnya — semua tugas sudah mereka tuntaskan. Akhirnya, Yuraq dan rombongan dapat menikmati makan malam, lalu melanjutkan istirahat mereka dengan tidur maupun berbincang di sekitar api unggun.

Hari ini begitu menyenangkan bagi Yuraq karena dia dapat berbicara dengan Kura dan bertukar pikiran dengan orang berwawasan luas seperti dia. Namun percakapan itu membuatnya agak lelah.

Oleh karena itu, malam ini dia membawa tikar dan selimutnya agak jauh dari api unggun dan perkemahan, membentangkannya di atas rumput, lalu berbaring di atasnya. Gadis itu menonton bintang-bintang di langit sekarang.

Bintang-bintang itu... apa mereka sebenarnya? Yuraq menyempatkan dirinya untuk merenungkan pertanyaan itu, yang belum sempat orangtuanya jawab, dan yang dirinya lupakan oleh pencariannya akan kehangatan orang lain.

"Jangan jauh-jauh!" Suara itu memanggil.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro