2
₪ ₪
Upacara itu akan dimulai pagi menjelang siang ini. Sejak pagi buta, warga desa sudah sibuk mempersiapkan acara tersebut.
Di sepanjang jalan yang mengelilingi rumah-rumah, orang-orang lalu lalang dengan barang bawaan mereka masing-masing. Ada yang membawa minuman dalam kendi. Ada yang membawa keranjang berisi kentang, jagung, dan bahan makanan lainnya. Ada yang membawa llama dan alpaka, baik untuk mengangkut barang maupun sebagai tumbal. Ada yang membawa mumi yang sudah didandan cantik dengan kain-kain warna-warni yang mencolok. Ada yang membawa perkakas dan bahan-bahan seperti kayu dan lain-lain.
Sementara itu, di balai desa, wanita dan anak-anak sedang sibuk membersihkan jagung, kentang, dan bahan makanan lainnya untuk untuk upacara. Di plaza yang berhadapan dengan balai desa tersebut, orang-orang berpakaian warna-warni dan yang mengenakan hiasan kepala dengan bulu-bulu yang panjang dan mencolok mulai bermunculan.
Pada pagi yang ramai itu, Yuraq masih dikelilingi oleh dinding rumahnya yang berbatu-batu. Dia masih punya urusan yang harus diselesaikan sebelum pergi membantu persiapan upacara, yaitu memberi makan dan obat ibunya.
Setidaknya sarapannya sudah siap. Hidangan tersebut terdiri atas beberapa potong kentang, dengan daging marmut sebagai lauknya. Di samping piring keramik itu, terdapat gelas yang berisi dedaunan yang sudah ditumbuk dan dihaluskan. Keduanya berada di atas lantai tanah.
Yura kembali ke ruangan di mana hidangan dan tumbuhan itu berada, dengan membawa sebuah kendi kecil yang terbuat dari keramik. Dia menurunkan badannya, menuang air dari kendi itu ke dalam gelas, lalu kembali ke ruang di mana kendi itu berasal. Setelah itu, Yuraq membawa piring dan gelas itu dengan kedua tangannya, ke dalam kamar tidur di lantai dua, di mana ibunda terbaring.
"Bu." Panggilan Yuraq mendapat perhatian Kuya. Pertama-tama, piring yang dipegang oleh tangan muncul dari balik bukaan besar pada lantai kayu itu, kemudian ditaruh di pinggir bukaan. Selanjutnya adalah gelas berisi tumbuh-tumbuhan, dan akhirnya gadis kecil itu nongol. "Itu ya Bu, obatnya diminum juga."
"Terima kasih Yuraq." Kuya berusaha meraih hidangan itu segera, namun mau tidak mau harus pelan karena badannya yang penuh bintik-bintik itu sangat sakit. Dia merintih sedikit-sedikit.
"Jangan dipaksain Bu." Yuraq memandang prihatin.
"Ah, iya." Kuya hanya bisa membalasnya dengan senyum canggung.
"Omong-omong Bu." Yuraq mulai mengangkat badannya dari lantai. "Aku keluar dulu ya, aku mau bantu-bantu buat upacara."
"Oke, Yuraq." Kuya memberi Yuraq senyum ramah sebelum dia meninggalkan kamarnya.
Yuraq keluar dari rumah berbatu-batu itu, dengan ekspresi yang cerah dan semangat yang menggebu-gebu. "Tuhan pasti bakal menyembuhkan Ibu dengan upacara ini. Aku harus membantu jalannya upacara ini!"
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Yuraq tengah duduk di balai desa yang tak berdinding itu, dikelilingi oleh wanita dan anak-anak serta kentang, jagung, dan kinoa. Sama seperti mereka, dia sibuk mengupas daun-daun dan bulu-bulu yang menutupi tongkol-tongkol jagung tersebut. Setelah bulunya dicabut dan daunnya dibuka, Yuraq dapat melihat rangkaian biji-biji yang belang itu. Sebagian ada yang berwarna putih kekuningan, sementara yang lain berwarna hitam kemerahan. Tongkol yang sudah bersih itu dia lempar ke dalam keranjang, lalu Yuraq mengambil jagung baru untuk dikupas.
Dia tidak menyangka pekerjaan itu akan semembosankan ini.
Setidaknya mengupas jagung tidak membutuhkan usaha mental yang banyak, sehingga pikiran Yuraq bebas ke mana-mana.
Di tengah kesibukannya itu, dia melihat 3 ekor llama yang diikat ke sebatang pohon di sebelah kiri depan balai desa. Yang satu berwarna sawo, sedangkan lainnya berwarna putih, namun semuanya berbulu lurus.
Memandangi llama merupakan suatu kesenangan sendiri bagi Yuraq karena mereka imut. Bulunya yang tebal membuat mereka nampak bulat. Yuraq dapat membayangkan bagaimana empuknya mereka.
Sayangnya, Yuraq tidak bisa bermain dengan mereka. Dia tahu untuk apa mereka ada di sini, yaitu sebagai tumbal dalam upacara ini.
Tanpa dia sadari, jagung-jagung yang belum dikupas sudah habis. Tangannya meraba-raba keranjang itu dan hanya memegang udara. Orang-orang yang duduk di dekatnya pun menertawai dia. Yuraq menatap mereka dengan kesal dan malu.
Kemudian, dia mendapat instruksi dari salah satu wanita. "Yuraq, sekarang kita ngupas kentang." Dia memberinya sebilah pisau kayu, yang kemudian Yuraq ambil.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Matahari hampir berada di atas kepala semua orang. Hadirin, termasuk Yuraq dan ayahnya, upacara berdiri di sekitar plaza desa. Hadirin yang sudah melewati kematian, yaitu para mumi, ditenteng oleh keluarganya yang masih hidup. Hadirin yang bukan manusia, yaitu para llama yang akan menjadi tumbal, berdiri di depan hadirin manusia.
Meskipun dihadiri oleh banyak orang, upacara itu berlangsung dengan sunyi. Satu-satunya suara yang terdengar datang dari sang imam. Pria yang nampak paruh baya itu mengenakan tunik warna-warni, serta hiasan kepala yang terdiri atas bulu-bulu burung yang dipasang sedemikian rupa sehingga 'memancar' dari kepalanya. Dia memanjatkan doa pada dewa-dewi yang mewakili Tuhan, sambil membuat gerakan-gerakan dengan tangannya. Sementara itu, llama-llama yang mengelilinginya digorok bersama-sama. Akhirnya sang imam menyelesaikan doa itu dan melakukan ritual penutup.
Setelah prosesi itu, plaza yang awalnya sunyi dan serius menjadi ramai dan gembira. Gendang dipukul. Seruling ditiup. Orang-orang menari, baik hidup maupun mumi. Daging llama, jagung, kentang, dan bahan makanan lain dimasak. Masakan yang sudah jadi, bersama kendi-kendi chicha, disajikan kepada para hadirin. Pesta sudah dimulai.
Meskipun anak-anak seumurannya bermain dengan satu sama lain, Yuraq memilih untuk duduk sendiri di atas dinding desa yang tebal cukup rendah, hanya mengambil hidangan berupa potongan kecil jagung dan daging bakar.
Saat Yuraq sedang menikmati makan siangnya, sang ayah datang kepadanya, membawa segelas chicha. Dia duduk di sebelah Yuraq, pada sisi dinding yang masih kosong.
"Kamu..." Kusi menginterupsi dirinya sendiri dengan menyeruput chicha itu. "Kamu gak ikut main sama mereka?"
Yuraq segera menghabiskan makanan yang mengisi mulutnya, sebelum akhirnya menjawab Kusi.
"Nggak Yah. Gak seberapa tertarik. Lagipula..." Yuraq meletakkan piringnya di paha sesaat, lalu meregangkan kedua lengannya. "Aku capek, habis bantu-bantu tadi."
Kusi tersenyum padanya. "Bagus, Yuraq. Kamu memang anak yang rajin." Dia mengusap kepala Yuraq.
"Ah... iya..." Yuraq tidak tahu bagaimana dia harus membalas pujian itu. "Ini semua biar Ibu bisa sembuh."
"Iya, Ayah tahu." Kusi kembali menyeruput segelas chicha yang berada di tangannya. "Tapi ingat Yuraq."
"Iya yah?" Yuraq penasaran.
"Pada akhirnya, Tuhanlah yang menentukan semuanya. Jadi kalau Ibu gak sembuh, jangan menyalahkan dirimu sendiri."
Keceriaan dalam hati Yuraq sirna mendengar hal itu. "Apa ini artinya..."
Kusi segera menginterupsinya dengan nada yang terkesan berusaha menghibur.
"Bukan itu Yuraq, bukan berarti usahamu sia-sia. Tapi... kadang Tuhan punya rencana lain bagi kita, yang gak bisa diganggu-gugat. Tapi barangkali, masalah sembuh nggaknya Ibu... masih ada harapan untuk itu."
"Ah begitu ya." Perasaan Yuraq sudah lebih baikan dari sebelumnya, namun bayangan bahwa sang Ibu akhirnya meninggal masih mengganggu pikirannya.
Mereka berdua menghabiskan apa yang ada di tangan mereka, sambil menonton para penduduk desa bersorak sorai di plaza. Orang-orang itu belum selesai juga rupanya.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Cek juga karya-karya berikut di Wattpad! Di sini ada setting dan tema yang beragam,
Seperti kisah pernikahan ningrat Jawa zaman Hindia Belanda oleh Dee_ane,
Cek karya mereka dan berikan banyak vote dan comment!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro