18
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
₪ ₪
Yuraq terkejut dengan apa yang sang senior katakan itu. Memang, gadis itu selalu membuntuti Samin ke mana-mana selama dia melihatnya. Tapi dia tidak menduga bahwa wanita muda itu akan membicarakan hal ini padanya.
Samin melanjutkan ceramahnya. "Kelak, saat aku gak ada saat dibutuhkan, kamu harus punya orang lain buat dipercaya."
"Tapi... kalau gak ada Kakak aku bisa kok kerja sendiri" bantah Yuraq.
"Kamu belum tahu saja apa yang ada di luar sana" balas Samin. "Contoh saja... kamu tahu apa ciri-cirinya kentang yang siap panen?"
"Ah itu..."
Yuraq mendapati lidahnya kelu. Pikirannya buntu, tidak tahu dengan apa dia harus menjawab. Selama dia tinggal bersama ayahnya, dia sering membantunya bertani, namun tidak begitu mendalami tetek bengeknya seperti hal semacam ini.
"Kan bisa tanya sama orang" jawab Yuraq.
"Nah itu..." tanggap Samin dengan ekspresi puas. "Kamu harus minta bantuan sama orang lain. Kamu butuh orang lain. Begitu juga aku, Qispi, dan semua orang."
Wanita itu menjeda ceramahnya sejenak dengan bernafas pelan. Di depan mereka berdua, hujan sudah sedikit lebih ringan, namun masih terlalu deras untuk dikatakan gerimis.
"Jujur, aku bawa Qispi biar kamu mulai bicara sama orang lain selain aku. Tapi aku gak nyangka bakal hujan begini."
Yuraq mengalihkan perhatiannya dari sang senior kepada tetes hujan di depannya. Di balik tetesan itu, langit masih terlihat gelap, dan tidak ada tanda-tanda akan terang. Setidaknya jarang pandangnya sudah sedikit lebih jauh dari sebelumnya — sekarang dia dapat melihat liukan jalan yang sebelumnya tersembunyi oleh hujan.
Gadis itu merasa agak kesal terhadap Samin. Dia merasa dipermainkan, dan orang yang melakukan itu punya alasan yang terkesan menggurui.
"Tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya juga ya" komentar Yuraq dalam hati. "Aku butuh orang yang lebih paham buat mengajariku ini itu... makanya aku sering nyari Kak Samin. Selain itu, kalau gak ada Pak Hakan aku pasti masih luntang-lantung sampai hari ini, kalau masih hidup. Terus..."
Hati Yuraq menjadi berat. Di pikirannya muncul kilasan hidupnya di desa, bersama sang ayah dan ibunda. Kehangatan yang tak tergantikan namun dirinya dambakan. Tidakkah dirinya membutuhkan hal semacam itu pula? Bukankah ini yang dirinya cari-cari?
"Kak Samin memang benar. Aku gak bisa terus mengenang masa lalu, ataupun bergantung sama Kak Samin seterusnya. Aku butuh orang lain."
"Kalau aku gak punya keluarga, aku harus membangunnya."
Suasana langit masih suram seperti tadi. Hujan masih turun dengan deras. Namun, suasana hati Yuraq telah menjadi cerah oleh semangatnya, kontras dengan cuaca ini.
Di saat yang sama, mereka mendengar bunyi langkah kaki dari dalam rumah. Seorang pria muda menampakkan diri dari kegelapan sisi dalam pintu. Yuraq dan Samin pun menoleh ke arahnya.
"Pengap banget sialan!" Qispi protes. "Rasanya kayak mau mati."
"Benar kan aku bilang?" Samin menanggapi.
"Iya deh... omong-omong..." Pria muda itu menunjukkan lipatan kain bercorak putih di tangan kanannya. "Ini ada selimut. Kalian pada butuh kan?"
"Aku Kak" seru Yuraq.
"Aku juga" jawab Samin.
"Yaudah." Qispi memindahkan selimut-selimut itu ke tangan kirinya hingga hanya ada satu di tangan kanan. "Tangkap!"
Kemudian, satu selimut itu dia lempar ke Yuraq. Dengan cekatan, Yuraq meraih lipatan kain itu dengan kedua tangannya tanpa menyentuh tanah.
"Terima kasih Kak" tanggap Yuraq.
Sesudah itu, Qispi mengulangi hal yang sama dengan Samin. Sementara wanita itu berterima kasih padanya, Yuraq mulai menutupi badannya dengan selimut.
Akhirnya, mereka bertiga duduk bersama di depan rumah dengan seluruh tubuh kecuali muka tertutup selimut. Sekali lagi mereka diam di sana, tidak memiliki topik untuk bertukar kata. Sementara itu, hujan di depan mereka sudah lebih ringan dari sebelumnya, namun masih belum berhenti. Air mengalir di sepanjang tangga batu yang menuruni terasering layaknya suatu sungai kecil.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro