15
₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪
“Kamu cuma harus ikut aku.”
“Terus, yang aku harus lakukan lagi?” Qispi menjadi semakin penasaran dengan ide Samin.
“Yah pokoknya ikut aku aja ke mana-mana” tukas wanita muda itu. “Jadi gini, Qispi…”
Ide Samin pada dasarnya adalah memberi Yuraq kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan orang lain selain dirinya. Dengan membawa orang lain seperti Qispi, gadis muda itu lama-lama akan terbiasa berhadapan muka dengan lebih banyak orang, dan pada akhirnya membuka diri pada mereka.
“Seenggaknya gitu lah” kata wanita muda itu untuk mengakhiri bicaranya.
“Hmm…” Untuk sesaat, Qispi mengalihkan perhatiannya ke depan — berpaling dari Samin — sambil menutup mulutnya dengan tangan. “Kalau gitu boleh lah.”
Samin pun tersenyum padanya. “Mantap! Besok kita ketemuan ya!”
Qispi memandang wanita muda itu lagi, lalu tersenyum padanya dengan senyum yang bersahabat. “Oke!”
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Pagi selanjutnya sudah tiba. Kali ini langit lumayan berawan. Meskipun demikian, cahaya mentari masih cukup terang untuk menembusnya, membuat langit itu menyala putih hampa.
Seperti biasa, Yuraq pergi ke ladang untuk merawat tanaman-tanaman yang ada, baik dengan memupuk, mencabut gulma, dan sebagainya. Di pundaknya tas keranjang diselempangkan. Dia berjalan menuruni tangga terasering, dikelilingi oleh pemandangan dataran tinggi yang sejuk serta berawan namun terang.
Di samping memompa niatnya untuk bekerja, gadis muda itu berharap dirinya dapat segera bertemu dengan Samin. Yuraq menghentikan langkahnya pada suatu lantai yang berbatu-batu, lalu menengok ke sana ke mari untuk melihat tanda-tanda wanita muda itu.
Setelah beberapa detik memandang sekitar, Yuraq tidak menemukan Samin. Meskipun demikian, dia tidak merasa sedih atau kecewa, meskipun dia berkata “yah sayang sekali” dalam hatinya. Seandainya dia tidak langsung bertemu dengan wanita muda tersebut, setidaknya dia dapat bekerja dengan tenang tanpa harus berbicara dengan buruh lain.
Lagipula satu-satunya orang yang ramah menyambutnya selain Samin adalah kedua orangtuanya. Suasana keluarga bersama mereka begitu tidak tergantikan.
Sementara itu, orang-orang lain ini… mereka bukan siapa-siapanya. Yuraq tidak mengenal orang-orang ini. Mereka hanyalah tetangga atau rekan kerja, yang berbagi desa dengan dirinya. Tidak akan ada kehangatan bersama mereka. Untuk apa dia mencarinya di antara mereka?
Lagipula, dia berada di sini sebagai buruh tani, bukan sebagai anak atau adik seseorang. Yang dia harus lakukan adalah bekerja.
Maka Yuraq melanjutkan langkahnya menuruni tangga batu itu.
Namun, tepat saat dia menyelesaikan langkah pertamanya, dua orang datang dari kiri terasering di depannya — sepasang pria dan wanita muda. Terlebih lagi, Yuraq mengenal siapa wanita itu.
“Samin?” Yuraq berseru dalam hati.
Samin mengalihkan perhatiannya pada Yuraq, sadar bahwa dia ada di sini. Kemudian wanita itu dan temannya berhenti di tempat. Dia mulai tersenyum pada Yuraq sambil melambaikan tangan kanannya.
“Ah, pagi Yuraq!” Samin menyapa.
“Pagi Kak.”
“Ah kebetulan lagi nyari kamu nih. Oh iya, Yuraq. Kenalin ini Qispi. Kamu ingat kan?” Menyusul itu pria yang mendampinginya melambaikan tangan pada Yuraq.
“Iya Kak…” Gadis muda itu membalas lambaian tangan pria muda itu.
“Nah, sekarang, Ayo ikut aku!” Samin ajak.
“Baik Kak!”
Dengan segera Yuraq bergabung dengan mereka, lalu melanjutkan perjalanan menyusuri terasering.
Yuraq tidak menyangka dia akan bertemu dengan teman Samin itu tepat setelah dia memikirkannya. Namun dia senang dirinya dapat bertemu dan bekerja bersama satu-satunya.
Namun, sesuatu agak mengganggunya.
Rasanya ada yang berbeda. Seakan-akan ada yang mengikuti mereka berdua. Yuraq memperhatikan bahwa dirinya berjalan di belakang Samin, dan di belakang dirinya?
Qispi, sang orang ketiga. Suara tapak kakinya yang bersandal terdengar jelas karena menginjak batu-batu mulus yang menyusun pinggiran terasering serta gulma-gulma yang tumbuh di sela-selanya. Yuraq teringat bahwa Samin datang bersama seorang pria yang terlihat sangar, dan pria itu kini berjalan di belakangnya.
Dengan rasa penasaran, Yuraq menyempatkan diri untuk menengok ke belakang. Di sana, dia sekilas melihat seorang pria muda yang bernama Qispi itu. Badannya tegap dan tinggi, sementara raut mukanya… bukan tampang seseorang yang bersahabat — ekspresinya datar dan tatapan matanya seperti tatapan orang yang bodo amat.
Sesudah itu Yuraq segera mengalihkan perhatiannya ke depan. Suasana hatinya yang di awal-awal gembira kini menjadi canggung. Pekerjaan hari ini bakalan tidak asyik.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Beberapa menit telah berlalu, namun mereka masih berjalan juga. Yuraq mulai bosan dengan pemandangan yang mengelilinginya.
Di sebelah kiri, terdapat pemandangan luas yang menjadi tontonan para buruh tani sehari-hari. Di dekat cakrawala terdapat perbukitan. Di kaki perbukitan itu terdapat dataran rendah yang tertutup hutan, dan kadang-kadang pemukiman warga. Dan di seberang dataran rendah itu, terdapat dataran tinggi ini di mana mereka sekarang berpijak, lengkap dengan teraseringnya yang terlihat meliuk-liuk dan berkotak-kotak dari atas sini.
Di sebelah kanan, terdapat tanaman-tanaman muda — jagung, kentang, dan kinoa — dengan berbagai tingkat kedewasaan. Sebagian sudah mencapai tinggi 2 kukuchu tupu, dan sebagian masih punya daun yang hanya sebanyak jari manusia. Namun yang jelas, semua tanaman ini sudah tumbuh dan berdaun. Tidak ada yang masih kecambah. Memang, peralihan musim semi ke musim panas ini adalah masanya untuk mulai menumbuhkan tanaman ladang.
Yuraq sangat ingin tahu ke mana sebenarnya mereka pergi. Muak dengan kebosanan itu, akhirnya gadis itu tidak dapat menahan pertanyaanya.
“Kak… kita ke mana?”
Wanita muda yang berjalan di depannya tidak menoleh ke belakang, namun dia tidak tidak mendengarnya.
“Kita ke petak di ujung sana.” Samin mengacungkan jari telunjuknya pada satu titik yang berada jauh di depan. “Di sana ada petak kosong. Kita bakal menanam jagung di sana.”
“Wah… bulan-bulan segini? Pas tanaman lainnya… udah bukan kecambah lagi?”
“Iya. Di sana ada petak baru buat ditanami, tapi benihnya telat jadi. Makanya…”
“Trus kita udah…” Yuraq hendak menanyai sudah seberapa jauh mereka berjalan, namun sekilas dia melihat titik yang Samin sebelumnya tunjuk. Petak yang seharusnya ada di sana masih tertutup oleh tanaman, dan jalan yang berada di dekatnya tampak tipis layaknya suatu benang putih.
Mereka masih jauh dari tujuan.
“Udah apa Yuraq?” Samin bertanya penasaran.
“Ah, nggak, gak jadi.”
Sesudah menjawab demikian, Yuraq kembali mencuri pandang pada titik tersebut. Perjalanan ini bakalan sangat panjang.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa seperti beberapa tupukuna bagi Yuraq, mereka dapat melihat lahan ladang itu.
Tanahnya yang berwarna sawo gelap itu sudah gembur. Namun, belum ada tanaman yang tumbuh di sana, terutama jagung, Tentu saja ini adalah tugas mereka untuk menanamnya.
“Sekarang bibitnya di mana?” Yuraq tanya.
“Di situ bukan?” Qispi bertanya, sambil menunjuk sebuah rumah kecil yang berhadapan dengan ujung jalan. Bangunan itu cukup dekat, hanya berjarak sekitar 10 rikra dari titik di mana mereka berpijak. Di antara rumah itu dengan jalani, terdapat tangga batu seperti yang Yuraq lalui sebelumnya.
Rumah itu sendiri terlihat layaknya rumah pada umumnya — terbuat dari batu-batu yang tak beraturan, memiliki jendela dan pintu yang sempit, serta memiliki atap yang terbuat dari jerami.
“Iya” jawab Samin padanya. “Nah, kalian tunggu sini ya, aku bakal ke sana buat ngambil bibitnya.”
“Oke!” Yuraq dan Qispi menjawab.
Samin segera berjalan menuju rumah itu. Sementara itu, gadis muda dan pria itu harus berhadapan dengan satu sama lain. Yuraq merasa terintimidasi oleh Qispi dengan penampilannya yang sangar. Sementara itu, Qispi tidak tahu bagaimana dia harus mengurus gadis kecil yang penyendiri dan susah didekati.
Semenit itu sesak akan kesunyian yang canggung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro