Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14

₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪ ₪

Hanya dalam beberapa hari, Yuraq semakin lancar menjalankan tugasnya sebagai buruh tani. Lagipula gadis muda itu sudah berpengalaman dalam merawat ladang keluarganya, sebelum sampai di ladang ini.

Dan demikian juga, dia hidup layaknya buruh-buruh tani di sini. Dia memanen, merawat ladang, menuai benih dan bercocok tanam, dan pekerjaan yang paling dia suka adalah membajak lahan baru. Entah kenapa dirinya dan sesama buruh tani itu senang memainkan taklla pada kaki dan lengan mereka. Mungkin aktivitas fisiknya yang merangkap sebagai olahraga. Mungkin betapa memuaskan tanah itu dibuat gembur oleh mereka.

Namun, ada satu tradisi yang Yuraq tidak begitu suka ikuti, yang sebagian disebabkan oleh statusnya yang dibawa umur: pesta chicha.

Hakan selalu membawakan mereka beberapa gelas minuman jagung itu setiap siang bolong — waktunya istirahat. Rekan-rekan buruhnya yang dewasa semua selalu mampir ke depan rumah sang pemilik lahan — duduk di pinggir jalan yang berbatu dan berumput — untuk minum-minum sekaligus makan siang ramai-ramai. Setiap Yuraq makan siang bersama mereka, mereka seringkali mabuk-mabukan. Meskipun rekannya tidak berbahaya saat mabuk, Gadis muda itu mendapati lanturan dan tingkah laku mereka yang loyo itu menakutkan.

Untungnya, Hakan mengetahui hal ini dengan segera, sehingga dia memberi Yuraq tempat untuk duduk di depan rumahnya. Dia juga memberinya segelas chicha yang tidak difermentasi. Tanpa fermentasi, chicha tidak akan memabukkan.

Meskipun demikian, Yuraq masih tidak menyukai minuman berwarna krem sepekat susu itu. Rasanya terlalu manis bagi dirinya, dan diikuti oleh rasa kacang yang membuat lidahnya kebingungan. Namun, dia hanya bisa menerima dan meminumnya, karena pikirnya bukan ide baik untuk menolak suguhan sang pemilik lahan.

Setelah pesta makan siang itu selesai, orang-orang akan berdiam di tempat duduknya masing-masing untuk sesaat, berbincang satu sama lain tentang topik dewasa yang terdengar terlalu esoteris di telinga Yuraq. Politik? Pernikahan? Ekonomi? Yuraq tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Satu-satunya saat di mana dia dapat ikut pembicaraan mereka adalah jika ada Samin dengan cerita-cerita pengalaman masa lalunya.

"Yuraq!" Samin memanggil, sambil membawa sepiring kinoa dengan marmut panggang. "Kamu diam-diam lagi?"

Gadis muda itu menatap Samin dengan tampang sebal. "Habisnya... mereka sudah dewasa semua. Mereka kelihatan serem lagi."

Samin tertawa mendengar komplain itu lagi, sambil mendudukkan dirinya pada dinding rumah yang pendek dan terbuat dari batu-batu besar. "Yah... mungkin kamu benar. Mereka memang sangar sih. Tapi orang yang kelihatan begitu belum tentu sangar. Mereka ini orangnya baik-baik kok."

Yuraq menyempitkan matanya pada wanita muda itu, seakan tidak teryakinkan olehnya. Meskipun demikian, dia siap untuk mendengar cerita seru seniornya itu.

"Contohnya, yang satu itu." Samin menunjuk sembarang pria yang sedang duduk bersila di pinggir jalan. "Orangnya itu" memulai semua cerita-ceritanya pada Yuraq. Sang gadis muda larut dalam percakapan itu, mengabaikan apa yang ada di sekitarnya.

Waktu istirahat itu pun harus berakhir setelah 1 hingga 2 jam berlalu. Sesudah itu, mereka segera beranjak menuju ladang untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Demikianlah adat baru yang Yuraq pelajari dalam hidup sebagai buruh tani.

Di antara semua sesama buruh tani, hanya Saminlah yang dekat dengan Yuraq. Baik di ladang maupun saat jam istirahat, dia tidak berbicara sama sekali. Dia bakal fokus hanya dengan pekerjaannya, tidak meminta bantuan atau mengatakan sepatah kata apapun, kecuali ada Samin di sana.

Selain itu, wanita muda itu mendapati dirinya selalu diikuti oleh Yuraq ke mana-mana, kecuali dia menyuruhnya untuk pergi, umumnya dengan memintanya mengurus ladang lain. Dan setiap Yuraq selesai melakukan tugasnya di tempat lain, gadis muda itu selalu kembali padanya. Meskipun demikian, buruh tani lainnya memperhatikan bahwa Samin nampak tidak masalah dengan hal itu.

Terkadang, Samin tidak enak badan untuk bekerja. Di saat seperti ini, jika Yuraq tidak menunggunya di pondok, dia akan bekerja sendiri di ladang, tidak berinteraksi dengan siapapun, bahkan saat makan siang.

Samin sadar akan hal ini. Gadis muda itu terlalu bergantung pada dirinya.

Sebagai seorang senior yang baik, dia harus mengakrabkan Yuraq dengan rekannya. Namun apa yang harus dia lakukan?

ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ

Petang sudah datang. Langit menjadi ungu, dan cakrawala menyala dengan cahaya kuning kemerahan. Setelah bekerja keras seharian penuh, Samin duduk di pinggir jalan. Badannya ditopang oleh kedua lengannya, yang berdiri di atas pinggir jalan. Tepat di bawah depannya, terdapat sepetak ladang kinoa, salah satu dari semua yang ada di terasering ini. Bunganya yang kuning dan merah kini menjadi hitam keabu-abuan karena kegelapan.

Di sisi kanan wanita muda itu, duduk seorang pria dengan umur yang kurang lebih sama.

Qispi adalah namanya. Pria itu kulitnya menjadi sawo matang karena terlalu sering terpapar sinar matahari. Badannya langsing, namun gagah dan otot-ototnya kelihatan karena sering melakukan aktivitas fisik yang berat. Rambutnya pendek, namun tidak begitu pendek hingga bentuk kepalanya terlihat. Dia mengenakan tunik sepanjang bawah lutut, yang warnanya nampak kelabu oleh pencahayaan petang yang redup.

Pria itu adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Samin. Setiap Samin butuh bantuan, dialah yang pertama kali dirinya mintai bantuan. Dan saat ini, tibalah saatnya bagi Samin untuk meminta bantuannya lagi.

"Hei. Qispi."

Pria muda itu menoleh padanya. "Iya Samin?"

"Aku boleh minta bantuanmu gak?"

"Apa itu?" Qispi bertanya dengan nada penasaran.

"Begini... kamu tahu Yuraq kan? Anak baru itu?"

"Iya sih tahu." Qispi mengalihkan perhatiannya sedikit pada petak ladang yang terbentang di depan wanita muda itu. "Tapi aku cuma sekadar tahu namanya... atau orangnya yang mana. Jujur aku gak seberapa kenal dia, selain kalau dia itu gak akrab sama orang sini."

"Nah itu masalahnya. Dia kurang pergaulan."

"Oh jadi itu alasannya kamu minta tolong itu?" Qispi mengangkat kedua kakinya ke atas pinggir jalan, sekarang duduk bersila.

Sementara itu, wanita di sebelah kirinya memindahkan kedua lengannya ke depan, diapit oleh lutut-lututnya. Sekarang dia duduk membungkuk.

"Iya Qispi. Mungkin dia begitu karena sama orang dewasa, gak sama anak-anak seumuran dia. Tapi punya interaksi sama orang lain itu penting."

"Dan gimana aku harus bantu kamu? Masalahnya aku bukan ahlinya bikin teman, tahu kan? Lagipula cuma kamu yang dekat sama aku."

"Oh itu..." Samin tersenyum padanya. "Gak kok, kamu gak harus banyak-banyak ngomong sama dia, atau mulai percakapan sama dia."

"Terus gimana?" Qispi menoleh pada Samin lagi, kali ini dengan penasaran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro