
1
₪
Keramaian pasar mengisi pemandangan Yuraq. Di sisi kirinya, orang-orang yang mengenakan tunik warna-warni lalu-lalang melalui plaza dan jalan yang terbuat dari ubin tak beraturan itu. Kios-kios dipenuhi oleh sayuran, jagung, dan daging segar, sementara pemiliknya dan para pengunjung saling bertukar pangan. Di sisi kanannya, terdapat dinding batu setinggi pinggul orang dewasa, yang memisahkan keramaian pasar dari lereng bukit yang dipenuhi pepohonan hijau.
Yuraq sendiri berpakaian layaknya gadis-gadis Tawantinsuyu: tunik tanpa bahu. Rambutnya yang lurus, panjang, hitam mengkilap menyembunyikan kedua bahunya.
Sang gadis kecil dapat melihat pemandangan itu dengan jelas, meskipun badannya masih belum seberapa tinggi. Semua itu karena dia tengah mengendarai seekor lama yang adalah satu-satunya kepunyaan keluarga mereka. Yura suka dengan lama, baik karena penampilan atau tingkah laku mereka yang lucu, asyiknya duduk di punggungnya, maupun kelembutan bulunya yang tebal dan seputih salju.
Sayangnya, mungkin ini adalah saat terakhir dia dapat mengendarai seekor lama. Lagipula dia sudah beranjak umur 9 tahun. Ayahnya sudah mengingatkan bahwa sebentar lagi dia tidak diperbolehkan untuk duduk di atas hewan berbulu lebat itu, karena punggung mereka hanya bisa menahan beban seringan anak kecil atau lebih ringan dari itu. Sungguh menyebalkan.
Oleh karena itu, Yura ingin menikmati berkendara lama selama mungkin. Perjalanan yang panjang bersama ayahnya ini juga cukup membantunya dalam hal itu. Yuraq suka jalan-jalan seperti ini.
Namun, kegembiraannya sirna saat dia teringat untuk apa mereka datang ke daerah ini: mencari obat untuk penyakit sesama warga desa, terutama ibu Yuraq sendiri. Ibunya mendapat penyakit aneh itu sejak beberapa bulan yang lalu. Sekujur tubuhnya diisi oleh bintik-bintik berair yang menyakitkan. Sejak mendapat penyakit itu, dia tidak bisa bangkit dari kasurnya tanpa merintih, dan mereka tidak bisa menyentuhnya agar tidak ketularan.
Lebih buruk lagi, penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Yura mendengar bahwa beberapa tetangganya pernah mengidap penyakit aneh tersebut. Sekarang, hanya satu dari mereka yang masih hidup. Yang lainnya sudah tiada. Dan kabarnya, penyakit inilah yang menyebabkan kaisar mereka, Wayna Qhapaq, wafat.
Meskipun demikian, obat-obatan yang dipercaya ampuh dalam mengobati penyakit ini — kumpulan dedaunan, buah-buahan, dan bagian tumbuhan lain yang Yuraq tidak pernah lihat sebelumnya dan tidak tahu apa — ada dalam tas-tas yang juga diangkut oleh sang lama. Setidaknya pikiran Yuraq menjadi sedikit lebih tenang mengetahui bahwa masih ada harapan buat ibunya, meskipun dia masih terganggu akan hal itu.
Sementara Yuraq asyik merenung sambil melihat-lihat sekitar, Kusi berjalan di sampingnya. Pria itu mengenakan tunik berwarna sawo pucat, dan rambutnya dipotong pendek hingga membentuk kepalanya.
Dia memperhatikan bahwa raut muka putrinya nampak agak muram.
"Ada apa, Yuraq?"
Yuraq menoleh kepadanya dari atas punggung lama. "Anu... Ayah... kamu yakin... obat-obatan ini bakal nyembuhin Ibu?"
"Oh, itu yang kamu pikirin?" Kusi kembali menoleh ke depan sambil cemberut sejenak, seakan ikut merasakan kekhawatiran Yuraq. Kemudian, pria itu memandang anaknya kembali.
"Harusnya iya, Yuraq." Kusi menjawabnya dengan nada serius. "Tapi obat-obatan seperti ini... gimana ya jelasinnya... efeknya... keampuhannya bisa gak sama buat orang-orang yang berbeda."
"Maksudnya Yah?"
"Jadi," Kusi menaikkan kedua tangannya. Keduanya dalam posisi menengadah, dan jari masing-masing setengah menguncup. "Misal obat ini ampuh di orang yang ini." Dia menggerakkan tangan kirinya sedikit, mengisyaratkan bahwa tangan itu menandakan orang yang dia maksud. "Dia benar-benar sembuh. Dia sehat sudah. Tapi di orang yang ini," dia menggerakkan tangan kanannya, mengalihkan fokus itu dari tangan kirinya. "Obatnya gak berefek. Gak ampuh dia. Makanya dia masih sakit."
"Ah, gitu ternyata..."
"Intinya, kita manusia berbeda-beda, jadi bisa aja obat yang kita butuhkan berbeda-beda juga." Kusi mengambil nafas sejenak. "Mudah-mudahan Ibu kita termasuk yang beruntung, termasuk orang-orang yang ada di tangan kiri. Kita hanya bisa pasrah pada Tuhan."
Yura kembali memandang ke depan, masih muram. Kusi tidak tahu apa lagi yang harus dia katakan pada Yura untuk menghiburnya.
Namun, sesuatu terlintas di pikiran Kusi.
"Yuraq." Kusi memanggil lagi. Gadis kecil itu memandangnya lagi dari atas llama.
"Iya Yah?"
"Omong-omong, kamu ingat besok ada ibadah di desa?"
"Ah, aku baru ingat. Kenapa Yah?"
"Ini bisa jadi cara buat nyembuhin Ibu. Kita bakal berdoa dan memberi persembahan pada Tuhan, dan mudah-mudahan Dia akan menjawab doa kita dengan memberi kesembuhan bagi orang-orang di desa."
"Tapi... kalau Tuhan bakal begitu... kenapa tetangga kita akhirnya meninggal?"
Kusi terdiam sejenak. Suatu pertanyaan yang berat datang dari seorang anak kecil.
"Barangkali... kita kurang memohon agar mereka disembuhkan. Mungkin cuma sedikit yang meminta agar mereka disembuhkan, jadi Tuhan mengizinkan mereka untuk mati. Tapi– tapi hidup sesudah kematian gak buruk-buruk amat kok! Kita masih bisa jalan-jalan, berbincang, dan lain-lain kayak orang hidup."
"Tapi Yah... hidup sesudah kematian... apa mumi-mumi itu beneran hidup? Apa orang cuma pura-pura mewakili kehendak–"
"Hus!" Kusi berbisik padanya. "Benda mati yang gak pernah hidup aja bisa punya nyawa, apalagi mumi yang pernah hidup. Lagipula, jangan bilang gitu di depan umum. Nanti kamu bisa dikeroyok massa loh."
"Ah, iya, maaf." Yuraq kembali diam. Dalam hatinya, Yuraq kesal: dia merasa skeptisismenya dibungkam. Lagipula, apa jaminan orang yang berbicara untuk mumi, mengutarakan keinginan sang pemilik tubuh itu, bukannya keinginan orang itu sendiri? Yang Yuraq percaya tentang hidup sesudah kematian adalah, raganya mati namun jiwanya masih hidup. Namun jiwa itu harusnya tak bisa berbincang, bersulang, ataupun berpesta layaknya orang hidup; sudah beda dunia. Wak'a saja tidak begitu.
Kusi kembali berbicara padanya. "Omong-omong, ibadah nanti bakal jadi kesempatan kita. Kalau permintaan kita seberat ini, Tuhan pasti mengharapkan kesungguhan kita. Makanya, Yuraq, nanti kamu harus rajin membantu kita mempersiapkan ibadahnya."
Yuraq memberinya senyum kecil. "Iya, Yah." Perkataan Ayahnya itu memberinya semangat dan harapan.
Yuraq sangat menyayangi ibunya, layaknya dia menyayangi ayahnya. Dia tidak terbayang bagaimana rasanya jika sang ibu wafat.
Yang jelas, sang ibu bakal dijadikan mayat kering yang hanyalah sekedar kehadiran raga tanpa jiwanya. Kemudian keluarganya — salah satu dari mereka — akan berpura-pura berbicara sebagai ibunya.
Yuraq bukannya takut sama mumi: dia biasa-biasa saja sama mereka dan tidak masalah dengan hal itu, layaknya seorang warga negara Tawantinsuyu yang baik. Bagaimana mereka sudah tiada namun diperlakukan seperti masih adalah yang mengganggu dirinya. Sebab, jika sang ibu meninggal, tidak ada lagi ibu yang menyayangi dan mengajarnya, hanya ada setengah dari esensinya yang terdiam kaku dan dipajang di rumah.
Yura berharap sang ibu sembuh lalu hidup cukup panjang untuk melihat dirinya menjadi dewasa.
ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ ᴥ
Cek juga karya-karya berikut di Wattpad! Di sini ada setting dan tema yang beragam,
Seperti terpisahnya dua orang kekasih oleh umur yang singkat oleh Ahzanysta,
Dan zaman Tiongkok kuno oleh .
C
ek karya mereka dan berikan banyak vote dan comment!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro