Kepada A
Suatu ruangan, 11 Juni 2024 (10 hari lagi ulang tahunmu yang ke 26).
Halo, A! Ini aku. Hanya aku.
Entah mengapa aku harus menulis surat yang takkan pernah kukirim padamu ini. Tapi, aku harus menulisnya sebab aku takkan tenang jika aku terus-terusan memiliki perasaan aneh semacam ini.
Well … kupikir, aku baik-baik saja. Bertahun-tahun tidak mengencani siapa pun, bahkan tidak sekalipun dekat dengan laki-laki lain.
Kupikir, aku baik-baik saja. Sebab saat mendengar kabar dari laki-laki—yang pernah dekat atau mantan kekasih sekalipun—telah mempersunting perempuan pilihan mereka, aku mungkin hanya akan terkejut dan merasa, “ah, semoga mereka diliputi kebahagiaan tak terbatas.”
Tapi … saat kudengar kabarmu yang akan mempersunting perempuan pilihanmu, aku … senang, tapi … ada sedikit rasa tidak nyaman di dalam sini.
Kupikir aku akan melupakannya sehari, atau dua hari; sama seperti bagaimana aku menyikapi kabar semacam ini sebelumnya dari orang lama—yang pernah menjadi spesialku dulu. Bahkan pada hari itu, pertama kali aku mengetahuinya, aku sempat menangis. Hal yang tak pernah kulakukan pada kabar bahagia orang lama lainnya.
Tapi ini sudah hari ke tiga belas dari kabar bahagiamu itu, dan aku masih … sendu ….
Aku sempat berpikir;
Apakah ini hanya perasaan galau sesaat?
Atau mungkin karena aku dan kamu selesai dengan cara kurang baik?
Atau karena lama dan banyaknya hal yang pernah aku dan kamu lewati?
Atau karena aku merasa, aku pernah menjadi spesial untukmu?
Atau aku yang terlalu menggantungkan kenangan lalu, dan menjadikan itu sebagai “alasan untuk hidup, sebab aku pernah dicintai sebesar itu”?
Atau aku hanya … berpura-pura?
Apakah mungkin yang kurasakan adalah hal semu, yang sebenarnya tidak ada?
Apa alasannya aku harus larut dalam kesedihan ini?
Harusnya, aku berbahagia atas kabar baikmu.
Harusnya aku bersyukur, kamu yang berulang kali berada pada hubungan sesaat, akhirnya menemukan pelabuhan terakhirmu.
Harusnya aku tidak merasakan hal seperti ini.
Mengapa kamu harus hadir—bahkan sebelum hari di mana aku tahu tentang kabar bahagiamu—di mimpiku, berulang kali, dengan kisah yang sama? Mengapa seolah memberi harapan?
Kali terakhir aku memimpikanmu, aku berakhir dengan menuliskan cerita yang menuangkan cukup banyak tentang kamu di sana. Hampir setengah bagian cerita itu adalah kamu. Kemudian aku merasa tenang sebab aku punya tempat menuangkan perasaan tak karuan setelah memimpikanmu—dan mungkin merindukanmu.
Tapi, setelah kabar bahagiamu, dan perasaan gundah berhari-hari ini, aku kembali memimpikanmu, dengan kisah yang sama. Mengapa harus dimimpikan lagi? Mengapa memberi harapan lagi?
Aku semakin gundah? Tentu saja.
Bagian dirimu di ceritaku itu, sudah berlalu. Aku tidak punya bagian dari dirimu yang lain, yang bisa aku berikan pada cerita yang khusus kutulis karena gundahnya diriku atas mimpi yang ada kamu.
Aku bahkan butuh ditampar oleh perkataan temanku, sebab aku berniat menghubungimu; “Iya bagus, kalau saat kamu menghubungi kembali, kemudian selesai perasaanmu dan dia kembali pada kebahagiannya. Kalau dia merespons berbeda? Kalau kamu tidak bisa menahan diri? Coba bayangkan bagaimana posisi calon istrinya?”
Temanku yang bijak ini … membaca pikiranku.
Sisi jahat diriku, sering berkata, “Coba raih kembali, barangkali dia bisa kembali padamu.”
Tapi sisi lainku yang baik, masih bisa menahan diri sehingga aku memilih bercerita pada teman bijakku itu. Aku berterima kasih padanya.
A, sampai kata ini diketik. Aku merasa … cukup dapat melepaskan rasa sesak yang mengekang berhari-hari ini (aku harap, bisa bertahan lama, atau lupa saja tentang kamu sepenuhnya).
Aku berjanji pada diriku untuk berhenti mencari kabarmu setelah hari pernikahanmu dan perempuan yang kamu sunting nanti datang. Aku hanya ingin melihat kamu benar-benar telah dimiliki orang lain di atas rida Yang Maha Kuasa. Setelah itu, (semoga) aku juga akan melepas perasaanku.
A, aku tidak menuntut permintaan maaf, sebab tidak ada yang salah—semua hanya masa lalu, aku sudah lupakan hal sakitnya. Justru, aku ingin berterima kasih sebab kamu sempat mencintaiku, bahkan apa yang pernah kita lalui masih seperti ingatan hari kemarin.
Tapi … aku tidak boleh terjebak terlalu lama. Aku harus berjalan maju, karena kamu juga, kan? Aku (mungkin) harus mencari orang baru untuk merangkai kenangan lain dan mengubur kenangan tentang dirimu.
Aku … ingin lepaskan kenangan tentang dirimu agar aku bisa lepaskan perasaan ini.
Tapi bagaimanapun, aku tidak menyesal memilikimu sebagai cinta pertamaku. Terima kasih karena sempat memiliki perasaan yang sama denganku dulu.
Berbahagia, ya?
Aku juga.
Salam,
Aku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro