Chapter 9 | Lari Pagi
Halooo!
Balik lagi, nih, sama Zerda dan Ranya! Kali ini, aku bakal kasih yang manis-manis untuk menemani malam minggu kalian✨
Jangan lupa tinggalkan jejak karena satu vote aja dari kalian, bakal jadi support sistem yang besar buat aku💙
“Lo tau apa yang paling terlarang dalam mendekati seseorang? Lo mendekati orang yang masih terikat dengan masa lalunya. Pilihan lo cuma ada dua, lo yang jadi pelarian atau lo yang akan dibuang.”
- Lezada buaya darat kelas kakap
🎶Now playing : Making A lover - SS501 🎶
Ranya berlari kecil menyusuri tepi lapangan dengan peluh yang terus mengalir di pelipisnya. Sesekali nafasnya tersengal-sengal karena kelelahan. Ini sudah putaran ke lima, itu artinya lima putaran lagi hukumannya akan selesai.
Hatinya masih belum bisa berdamai dengan keadaan. Dua orang sahabatnya mendapatkan keringanan karena memiliki orang dalam dan kecantikan. Berbeda dengan dirinya yang sekedar siswa biasa.
Rambutnya yang diikat kuda menari-nari, seirama dengan kakinya yang terus melangkah. Wajahnya datar, terlebih lagi ketika melewati Zerda dan kawan-kawan.
Matanya sedikit melirik saat mendengar keributan dari dekat tiang bendera. Rupanya laki-laki bernama Zerda itu berulah lagi. Entah apa yang akan ia lakukan, sungguh Ranya tidak peduli.
"Halo, cantik. Semangat, yuk! Sisa empat putaran lagi," ujar seseorang secara tiba-tiba.
Ranya menengok ke sisi kanan, ia terkejut mendapati laki-laki berseragam batik itu sudah berada di sebelahnya. Ikut berlari, entah apa tujuannya. Lalu ia mengalihkan matanya menuju tiang bendera berada. Baru selang beberapa menit ia melirik, laki-laki itu sudah berpindah tempat seolah memiliki kecepatan cahaya.
"Lo?" ucap Ranya dengan mata melebar. "Ralat, lima putaran."
"Jangan syok gitu, lah. Gue tau, gue ganteng. Makanya, lo beruntung lari pagi ditemenin sama orang ganteng kaya gini," ucapnya percaya diri.
Ranya memutar bola mata malas. Dia tak ingin meladeni ucapan laki-laki itu lagi. Gadis itu mempercepat langkahnya sehingga Zerda tertinggal beberapa meter di belakangnya.
"Ranya, Ranya!" panggil laki-laki itu lagi setengah berteriak hingga menarik perhatian beberapa orang.
Ranya menarik napas kesal. Ia menggembungkan pipinya sebentar, lalu menghembuskannya dengan sangat kasar. Setelah Zerda berbuat onar di kantin, lorong kelas, sekarang di tepi lapangan. Lalu, besok dia akan melakukan di mana lagi? Ruang kepala sekolah? Tidak, jangan sampai itu terjadi dan jangan sampai Zerda mendengarnya. Laki-laki itu bisa bertindak gila sesuai kemauannya.
Tak ingin menghiraukan, Ranya terus berlari menjauhi Zerda. Berpura-pura tuli jauh lebih baik daripada menjadi tontonan gratis teman-teman kelasnya.
"Nya, gue kok ditinggal, sih?" keluh laki-laki itu dari belakang.
Lah, memangnya lo siapa sampai-sampai gue harus nungguin lo? cibir Ranya dalam hati.
"Tunggu, Nya!" Tangan Ranya ditarik dengan keras dari belakang hingga gadis berkuncir kuda itu membalikkan tubuh dengan terpaksa.
"Zerda, lo ngapain, sih?" tanya Ranya dengan emosi tertahan.
"Nemenin lo, tadi kan gue udah bilang," jawab Zerda santai. Saat ini, keduanya berhenti berlari di tepi lapangan. Posisinya strategis, berada di tengah, antara kumpulan kelas Ranya dan para anak terlambat yang sedang hormat bendera.
"Kapan lo bilang? Gue aja baru tanya," balas Ranya sedikit menyolot.
"Gue bilang dalam hati. Hehe." Laki-laki itu terkekeh.
"Bodo amat. Gue gak peduli," sinis Ranya.
"Berarti gue boleh dong temenin lo lari? Kapan lagi coba, gue bisa lari bareng sama pacar," sahutnya senang.
Ranya mendelik saat mendengarnya. "Apa?!"
"Ma-maksud gue, calon pacar, Ranya. Masih diperjuangin ini," ralat Zerda sedikit terkejut.
"Gue gak bakal sudi jadi pacar lo," balas Ranya dengan sinis.
"Hati-hati makan omongan sendiri," sahut Zerda sambil tersenyum tipis. Kemudian, tangannya terulur menyentuh pundak gadis itu dan mengajaknya untuk segera kembali berlari.
"Untung Pak Noto gak jadi marah," ujarnya pelan. Tadi, netranya sempat menangkap Pak Noto yang telah bersiap mengeluarkan amukan. Beruntung dirinya lebih peka dengan keadaan daripada Ranya yang terus marah-marah.
"Gak usah pegang-pegang!" ketus Ranya.
"Astaga, gue gak sengaja," ucap Zerda.
"Bilang aja lo modus!" cibir Ranya.
"Siapa juga yang mau modusin lo? Lo pengen banget, ya, dimodusin cowok ganteng kaya gue?" goda Zerda sambil menaik turunkan alis.
"Gak!" sahutnya kemudian berlari meninggalkan Zerda lagi.
Zerda menatap nanar punggung Ranya yang semakin menjauh. Senyum yang sejak tadi terpatri di wajahnya, perlahan meredup. Sepertinya perjuangannya akan lebih berat. Dan hatinya harus sekuat baja agar tak mudah patah dengan perlakuan Ranya.
"Sabar dulu ya hati, lo harus kuat. Ini baru awal, perjuangan lo masih panjang. Demi calon masa depan!" ujarnya bermonolog.
Setelah mendapatkan semangat kembali, Zerda segera menyusul Ranya yang sudah jauh meninggalkannya.
"Nya, lo gak kasihan apa lihat gue yang terus ngejar-ngejar lo?" tanya Zerda setibanya di sebelah Ranya.
Nafas laki-laki itu tersengal. Dengan susah payah, ia menyamakan langkah dengan Ranya.
"Ngapain gue harus kasihan? Gue kan gak peduli," ucap Ranya sarkas.
"Kalau hati gue retak karena sikap lo, gimana?" tanya Zerda lagi.
"Ya ... Nanti gue bantu perbaiki," jawab Ranya tak acuh.
Zerda yang mendengarnya langsung berbinar. "Seriusan lo? lo bakal bantu?"
"Iya. Nanti gue bakal bantu beli Semen Tiga Roda, terus gue tambal deh retakan yang ada di hati lo itu. Gampang, kan?" Ranya tersenyum mengejek.
Kaki Zerda langsung terhenti di tempatnya. Senyumnya luntur, tergantikan dengan bibirnya terjatuh hingga terbuka sedikit. Mata berbinarnya berubah kosong setelah mendengar jawaban gadis itu.
"Maksud dia, hati gue sama dengan bangunan rumah gitu?" gumamnya pelan.
"ZERDA, KENAPA KAMU DIAM SAJA DI SITU?!" teriakan Bu Ulan menyadarkan Zerda yang sejak tadi terpaku di tempatnya.
"Sebentar, Bu, saya habis kena serangan jantung!" sahut Zerda, kemudian ia segera berlari menyusul Ranya.
Tanpa ia ketahui, di sisi lain, Ranya sedang tersenyum mengejek setelah mendengarnya. "Mampus lo. Ganggu hidup orang terus, sih."
"Sisa berapa putaran lagi?" tanya Zerda tiba-tiba.
"Sekali putaran," jawab Ranya cuek.
"Setengah putaran, bersihkan sel kulit mati dan kotoran. Putar-putar di wajah, bilas, multivitamin. Tet–AW, RANYA!?"
Sebuah cubitan mendarat mulus di lengan kanannya yang terbalut seragam tipis. Rasa panas mendadak menjalar ke seluruh bagian tubuh. Laki-laki itu langsung meringis kesakitan menyadari salah satu bagian tubuhnya telah mendapat kekerasan.
"Lo kenapa, sih?" tanya Zerda sambil mengelus tangannya.
"Lo berisik. Jauh-jauh, deh, lo!" usir Ranya kejam.
"Gue kan cuma tanya," keluh Zerda merasa tak bersalah.
"Bodo."
Selanjutnya, acara lari pagi itu diteruskan dengan perkelahian antara kedua manusia yang seolah lupa sedang menjalani hukuman itu.
🌵 🌵 🌵
Selesai menjalani hukuman, Zerda dan teman-teman langsung beristirahat di kelas saat pergantian jam. Olivia baru saja kembali dari kantin dengan membawa dua botol mineral dingin. Lalu ia menempelkan salah satu botol itu di dahi Zerda hingga membuat Zerda berjingkat kaget.
"Opi, dingin!" geramnya.
Olivia terkekeh. "Habisnya muka lo kusut banget!"
"Capek gue," balas Zerda mengambil botol minum yang ada di tangan kanan Olivia.
"Eh, eh, itu minumnya Dans," ucap Olivia sambil menahan tangan Zerda yang hendak membuka tutup botol.
"Bilang sama Dans, suruh dia beli lagi. Titip fans-nya aja, dia kan artis," sahut Zerda santai.
"Iya, gue artis, tapi bukan tukang palak. Sahabat kaya lo, nih, yang suka bikin reputasi sahabatnya sendiri hancur," cibir Dans yang baru saja duduk di sebelah Zerda.
"Gue haus, Dans. Lo gak kasihan apa gue habis lari-lari," keluh Zerda, lalu ia menandaskan sebotol mineral itu hingga tersisa separuh.
"Lari apa?" tanya Dans pura-pura tidak tahu.
"Lari dari kenyataan! Hahaha!" sahut Lezada diiringi derai tawa yang memecahkan keheningan kelas.
"Asem lo pada," desis Zerda dengan wajah masam.
"Lagian lo gak tau apa, kalau si Ranya belum bisa move on dari mantan?" tanya Olivia.
"Kan ada gue yang bisa bikin dia move on," sahut Zerda meyakinkan.
"Itu namanya lo jadi pelarian, dodol!" timpal Dans sambil menimpuk kepala Zerda dengan buku tulis.
"Memang bener ya, orang bucin IQ-nya mendadak jongkok," ejek Olivia sambil tersenyum miring.
"Bully terus! Gue emang enak jadi bahan bully-an kalian," balas Zerda kesal.
Tawa ketiga orang itu langsung pecah seketika, sedangkan Andi, laki-laki pendiam itu hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Tawa mereka terhenti saat guru pengisi jam berikutnya masuk ke kelas. Sebelum kembali ke tempat duduk, Leza sempat membisikkan sesuatu di telinga Zerda.
"Lo tau apa yang paling terlarang dalam mendekati seseorang? Lo mendekati orang yang masih terikat dengan masa lalunya. Pilihan lo cuma ada dua, lo yang jadi pelarian atau lo yang akan dibuang."
Ucapan Leza seolah bagaikan kata-kata bijak yang disampaikan oleh motivator cinta terkemuka. Memang pengalamannya dalam menjadi seorang buaya darat sudah tidak perlu diragukan lagi. Wajar saja jika mulutnya sering meluncurkan kata-kata yang mengena pada hati pendengarnya.
Sampai bertemu lagi di chapter berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro