Chapter 8 | Bukan Keadilan Sosial
Spadaaa ketemu lagii😎
Khusus di chapter ini, aku terinspirasi dari bapak guru di sekolah yang kadang membuatku naik darah dan kadang juga buat kelas jadi pecah. Wkwk.
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian yak🌟
Chapter 8 | Bukan Keadilan Sosial
"Hidup itu Memang seringkali tidak adil, apalagi jika paras dan adanya 'orang dalam' masih menjadi standar keadilan."
- Ranya yang tidak punya orang dalam
🎶Now playing : Drag Me Down - One Direction🎶
"Kalian bertiga sejak tadi kenapa berisik?" tanya Pak Noto mulai mengintrogasi.
"Eum, tadi ada gerakan yang kurang tepat, Pak," jawab Meimei beralibi. Otak Meimei memang lancar jika diminta untuk berbohong di saat genting seperti ini.
"Gerakan yang mana?" tanya Pak Noto tak percaya.
"Yang ini, Pak." Meimei langsung memeragakan gerakan meregangkan tangan. "Seharusnya ke kanan, kiri, depan, belakang, atas, dan bawah, Pak. Tapi kita tadi cuma atas, bawah, dan depan."
Ranya menggeleng pelan. Ada saja akal-akalan gadis itu. Untungnya Pak Noto hanya mengangguk-angguk percaya.
"Siapa nama kamu?" tanya Pak Noto yang kini berdiri di depan Meimei.
"Meimei, Pak," jawab Meimei.
"Pintar kamu. Anak kaya gini, nih, yang paling disenangi guru di sekolah. Meralat jika guru berbuat kesalahan," ujar Pak Noto sambil tersenyum bangga.
"Tapi lain kali, kalau ada kesalahan langsung bilang ke Bapak, ya, cantik. Jangan tertawa sendiri di belakang," kata Pak Noto menasihati, "Do you understand?"
"Yes, understand!" sahut Meimei dengan semangat 45.
Tatapan Pak Noto beralih pada gadis di sebelah Meimei, Alkuna. Gadis itu nampak tersenyum kaku kala Pak Noto memperhatikannya dengan intens.
"Siapa nama kamu?" tanya Pak Noto setelah beberapa menit sibuk mengamati Alkuna.
"Alkuna, Pak," jawabnya pelan.
"Muka kamu kayanya tidak asing, ya," ujar Pak Noto lagi sambil mangut-mangut memikirkan sesuatu.
"Ya, iyalah, Pak. Kan setiap hari Kamis kita ketemu," timpal gadis berjilbab itu.
"Bukan itu maksud bapak. Wajah kamu seperti ... Siapa ya?" tanya Pak Noto sambil berpikir keras.
"Agnes Monica, Pak," celetuk Alkuna sambil mneyengir lebar.
"Sembarangan kamu!" sahut Pak Noto tidak terima. Tawa Alkuna mendadak pecah ketika melihat wajah kesal Pak Noto.
"Saya bercanda, Bapak Ganteng," ucap Alkuna diakhiri pujian yang meluncur dari mulut manisnya.
Kini, Pak Noto ikut tertawa mendengarnya. Pria paruh baya itu sudah biasa mendapatkan candaan seperti ini. Terlebih lagi Pak Noto memang sedikit gila pujian. Beruntungnya, Pak Noto termasuk guru yang asik dan tidak mudah terbawa perasaan, meskipun terkadang jatuhnya justru membuat kesal.
"Memang kok, seluruh SMA Pertiwi pun mengakui kalau Bapak adalah guru olahraga terganteng di sekolah ini," ujar Pak Noto dengan kepercayaan diri setinggi langit.
"Ya, iyalah, Pak. Bapak kan satu-satunya guru laki-laki yang ada di sekolah ini! Gimana mau gak ganteng coba?" celetuk salah satu laki-laki teman sekelas Ranya.
"Wah, sepertinya kamu iri sekali dengan bapak ya!" sahut Pak Noto sambil mengangkat dagu dan berjalan ke arah anak itu. Ranya terus memperhatikan pergerakannya melalui ekor mata.
"Dengar ya Anak-anak, kita itu tidak boleh iri kepada orang lain, karena iri itu datangnya dari bisikan se ...." Pak Noto sengaja menggantungkan perkataannya agar dijawab oleh para muridnya yang teladan.
"SETAN!!" jawab mereka kompak.
Mereka jawabnya ngegas banget, kaya ada dendam kesumat, gumam Ranya dalam hati. Sesekali dia terkekeh pelan.
"Ternyata anak-anak bapak pintar semua ya. Maka dari itu, kita harus–"
"Maaf, Pak, maaf banget," sela Alkuna. "Ini bapak kalau mau lanjut kultum, kami boleh balik ke barisan tidak Pak? Biar lebih nyaman mendengarnya, Pak."
"Oh, iya, Bapak sampai lupa dengan kalian. Tunggu dulu," jawab Pak Noto seraya kembali berjalan ketiga perempuan yang belum lama tadi diintrogasi.
Pak Noto adalah sosok pria paruh baya dengan usia yang mendekati kepala 6. Rambutnya telah diselimuti uban, namun tubuhnya masih bugar dengan jiwa muda yang tak pernah padam. Wajahnya selalu tersenyum, tidak pelit nilai —karena ketika pengambilan nilai, daftar nilai bisa dimanipulasi oleh sekretaris kelas— dan juga ramah. Tapi sayangnya, dikarenakan faktor usia yang semakin bertambah, beliau jadi mudah lupa. Pembicaraan dalam kelas jadi sering melebar ke mana-mana.
Beruntung Ranya masih memiliki stok kesabaran yang ekstra, jadi dia masih mampu tersenyum manis pada Pak Noto yang katanya paling ganteng satu sekolahan.
"Nama kamu siapa tadi?" tanya Pak Noto pada Alkuna.
"Alkuna, Pak. Saya anaknya Bu Alsa" jawab Alkuna.
"Oh, iya, anaknya Bu Alsa. Ya, sudah kalau begitu, kamu balik saja ke barisan," titah Pak Noto.
"Lho, Pak, kok Alkuna boleh balik?" tanya Ranya dengan bola mata membesar.
"Iya, tadi Bapak liat ketawanya dia gak senyaring kalian," jawab Pak Noto beralasan.
Bener-bener keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang memiliki orang dalam, batin Ranya mendesis.
"Wah, gak bisa gitu dong, Pak. Saya tadi meralat kesalahan Bapak, tapi saya kok gak disuruh balik juga?" tanya Meimei tak terima.
"Oh, iya, kamu yang meralat Bapak tadi, ya? Kalau begitu, kamu balik ke barisan juga," ujar Pak Noto.
Dengan penuh semangat, Meimei langsung mengucap terimakasih dan melenggang pergi bersama Alkuna untuk kembali ke barisan.
Sebelum pergi, kedua perempuan itu sempat menjulurkan lidah ke arah Ranya. Gadis itu menatap kedua sahabatnya dengan kesal.
Sekarang justru keadilan sosial bagi seluruh rakyat good looking, gumam Ranya dipenuhi kekesalan.
"Siapa namamu?"
Ranya tersentak mendengarnya.
"Raina, Pak. Raina Anyaline," jawabnya.
"Karena kamu tertawa terus tadi di belakang, jadi saya minta kamu lari keliling lapangan ini sepuluh kali!" titah Pak Noto.
Ranya langsung mendelik kaget. Tanpa memberi pertanyaan dan juga meminta penjelasan, Pak Noto langsung memberikannya hukuman begitu saja. Ingin rasanya ia melawan, tetapi Ranya tidak berani. Hidup di bawah aturan yang telah ditegakkan oleh sang ayah untuk tidak melawan guru, membuat Ranya harus menahan diri sekarang.
"Atau mau Bapak tambah?" tanya Pak Noto dengan nada yang terdengar menyebalkan di telinga Ranya.
"Tidak, Pak. Sepuluh saja cukup," sahut Ranya cepat.
Gadis itu segera berlari kecil mengelilingi lapangan dengan raut wajah masam. Sesekali tatapan mata tajamnya menghunus dua insan yang tengah cekikikan karena tidak ikut mendapatkan hukuman.
***
Manik mata hitam milik Zerda kini menyorot penuh pada keributan yang terjadi di ujung lapangan. Ia mendapati gadisnya berdiri dengan kaku di baris paling depan bersama kedua sahabatnya.
Saat kedua sahabat gadis itu kembali ke barisan, gadis dengan kuncir kuda itu justru berlari kecil meninggalkan kumpulan teman sekelasnya. Zerda merasa ada sesuatu yang aneh. Tatapan matanya tak pernah luput dari pergerakan gadis itu. Matanya terus mengikuti ke mana pun ia pergi.
Hingga akhirnya, dua putaran telah terlewati. Zerda baru bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Gadis yang bernama Ranya itu sedang dihukum oleh guru olahraga kesayangan angkatan mereka.
Tapi, kenapa? tanya Zerda penasaran.
Ia tahu, Ranya berasal dari keluarga yang menjunjung tinggi pada tata krama. Tidak mungkin rasanya jika Ranya berani melawan Pak Noto.
Pikirannya berkecamuk setiap kali Ranya melintas di hadapan Zerda dengan wajah masam, teman-temannya langsung bersorak heboh hingga menarik perhatian beberapa orang dari kelas tetangga.
Sebuah ide cemerlang mendadak terlintas di benaknya. Jika digambarkan dalam sebuah film, sudah bisa dipastikan kini ada bola lampu yang berpijar di atas kepalanya.
Zerda berlari kecil mendekati Bu Ulan yang tengah mengamati mereka dari depan pintu ruangannya.
"Lapor, Bu Ulan!" panggil Zerda sambil berlagak seperti tentara yang tengah melapor pada komandan.
"Iya, ada apa, Zerda?" tanya Bu Ulan.
"Saya izin untuk mengganti hukuman. Lari keliling lapangan sepuluh kali putaran. Apa boleh, Bu?"
"Kamu laki atau bukan?" tanya Bu Ulan dengan nada menantang.
"Cowok, Bu," jawab Zerda asal.
Bu Ulan yang tadinya hendak mengikuti permainan Zerda mendadak jadi kesal. Bukannya menjawab dengan serius, anak laki-laki itu justru menjawabnya dengan candaan. Ditambah lagi dengan kekehan di akhir ucapannya.
"Saya tanya serius. Jika tidak dijawab, saya tidak akan mengijinkan."
"Siap, laki, Bu!" jawab Zerda kembali ke mode prajurit yang melapor pada komandan.
"Kalau gitu lari keliling lapangan dua puluh putaran, kerjakan!" titah Bu Ulan.
"SIAP, KER–eh?" ucapnya terkejut. "Kurangin lah, Bu. Saya masih ada pelajaran setelah ini, Bu, kalau saya ada apa-apa gimana?" pinta Zerda.
"Ya sudah, lima belas," jawab Bu Ulan.
"Sepuluh aja gak bisa, Bu?" tawar Zerda lagi seperti saat ibunya menawar ikan di Pasar Pagi.
Bu Ulan menghela napas lelah. "Lima belas atau tidak sama sekali."
Zerda nampak berpikir keras. Meskipun dia laki-laki, tetapi putaran sebanyak itu tetap saja akan melelahkan.
"Penawaran terakhir, nih. Lima belas itu sudah final. Dapat bonus lari bareng doi," tawar Bu Ulan lagi. "Mikirnya jangan lama-lama, nanti doi selesai duluan gagal lah niatmu itu."
"Siap, Bu Ulan, perintah akan segera dilaksanakan!" sahutnya dengan cepat, lalu ia berlari menyusul Ranya.
"RANYA, TUNGGUIN GUE!"
Seketika pandangan seluruh manusia di lapangan langsung tertuju padanya.
Bau-baunya bakal ada yang bucin, nih! Nanti kan terus chapter selanjutnya yaa🙈
Buat yang mau bocoran visual dari Zerda, stay tuned di ig @coretanfika ya, nanti aku bakal spill di sana. Xixi😉
See you next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro