Inheritance
"Kau curang!"
"Tentu saja tidak, ini memang bagianku."
"Sial, mereka butuh makan. Sedangkan kau hanya bermain perempuan setiap hari."
"Nah, kau mau bermain denganku?"
"Dalam mimpimu!"
Leandra berdecak kesal. Sudah cukup ia berdebat dengan Astares, mandor pekerja tambang, yang keras kepala. Leadra berbalik dan segera menuju rumah. Ia masih bisa mendengar Astares tertawa di belakangnya.
Awan kelabu menutupi langit malam. Bukan karena akan turun hujan, tapi akibat polusi berlebihan yang dihasilkan pabrik tambang terbesar di kota Thanos. Leandra mengusap peluh di dahinya. Rambutnya yang pendek tidak terlalu membantu mengurangi rasa gerah. Udara selalu terasa panas dan menyesakkan. Di kota ini, tidak ada pepohonan yang tersisa. Sejauh mata memandang, hanya ada padang gersang, sebuah pabrik besar berwarna hitam, dan kawah besar bekas galian tambang.
Leandra berjalan menuju pemukiman warga. Rumah-rumah kecil terbuat dari beton tanpa cat, berjajar rapi di sebuah jalan kecil. Ia melewati kumpulan penjaga malam tanpa memandang mereka. Pandangan para penjaga tetap lurus ke depan namun mereka sangat waspada terhadap gerakan mencurigakan sedikit pun. Leandra mendengus. Para penjaga itu seolah-olah menjaga keamanan warga, tapi yang sebenarnya terjadi adalah mereka mencegah para warga melakukan pemberontakan.
"Kau sudah pulang." Nyonya Camilo membukakan pintu untuk Leandra. Di belakang wanita ini, tampak anak laki-laki kecil yang sedang tersenyum lebar melihat kakaknya pulang.
"Iya bu, aku sedang kesal." Leandra masuk ke rumah dan meletakkan alas kakinya di ujung rak. Ia menuju ke tempat adiknya, Alair, yang sedang bermain dengan batu kapur. Alair menggambar bentuk manusia di dinding beton rumah mereka.
"Kau menggambar apa?" tanya Leandra sambil mengacak rambut hitam tebal Alair.
"Entahlah, kak. Aku membayangkan ada seorang manusia yang mengalahkan orang-orang jahat di sini, menghancurkan truk-truk tambang, dan menanam tumbuhan."
"Ah, memangnya kau tahu bentuk tumbuhan?"
Alair menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu. Tapi ayah sering bercerita, jadi sepertinya aku bisa membayangkan. Ada yang disebut daun berwarna hijau, batangnya berwarna cokelat, dan ada bunga atau buah di atasnya. Hmm, bagaimana bentuk bunga dan buah, kak?"
Leandra tersenyum. "Sini aku gambarkan." Ia menggambar bentuk bunga dan buah sesuai permintaan adiknya. "Aku juga tidak pernah tahu bentuk yang sebenarnya." Ia menggambar hanya berdasarkan ingatannya tentang bentuk tumbuhan yang pernah diceritakan ayahnya.
Rasa sedih merasuk ke hatinya. Ayahnya belum pernah pulang sejak lima tahun lalu ditangkap oleh para penjaga. Tuan Camilo ketahuan mengajari anak-anak di sekitar rumahnya tentang membaca, menulis, dan berhitung. Ia juga sering bercerita tentang bumi pada masa lalu. Bumi yang indah dengan banyak tumbuhan dan hewan. Tidak sama dengan masa sekarang, bumi menjadi gersang, terutama di kota buruh seperti Thanos ini. Penduduk Thanos dilarang bersekolah, kecuali anak-anak pimpinan pabrik.
Awalnya, Tuan Camilo adalah penduduk asli Kota Carmin, satu-satunya kota yang masih sama seperti bumi di masa lalu. Karena itu, Tuan Camilo memiliki pemikiran yang kritis. Namun, ia jatuh cinta pada wanita buruh yang sekarang menjadi istrinya, sehingga ia dibuang ke Thanos. Leandra tahu ayahnya sangat ingin meningkatkan derajat penduduk Thanos yang malang. Mereka tidak bisa membaca, menulis, bahkan berhitung. Sangat primitif. Mereka hanya bekerja dan mendapatkan uang untuk makan, itupun jika uang mereka tidak dicurangi oleh mandor pekerja.
Leandra melihat langit mulai gelap di luar. Sudah waktunya ia berangkat mengajar. Saat malam hari, ia akan mendatangi rumah tetangganya satu per satu untuk mengajari mereka membaca dan menulis. Leandra harus sangat berhati-hati agar tidak ketahuan para penjaga. Selama beberapa bulan, ia telah melakukan hal ini tanpa ketahuan.
"Makan dulu, Nak," kata Nyonya Camilo. Ia meletakkan sepiring daging kering yang sudah dibumbui seadanya.
"Hore, daging." Alair mengambil daging dengan tangan dan mulai memakannya dengan lahap. Setiap hari, penduduk Thanos makan makanan yang disediakan oleh penjaga. Makanan itu dibawa dari luar kota, karena di Thanos tidak ada sumber makanan yang bisa mereka olah. Sangat jarang mereka mendapatkan roti ataupun sumber karbohidrat lainnya. Makanan seperti itu sangat mahal harganya dibandingkan dengan daging.
Leandra memakan sepotong daging dan minum sebotol air putih. Untunglah air di sana masih belum tercemar, satu-satunya hal baik yang tersisa di Thanos. Ia berpamitan pada ibu dan adiknya lalu segera keluar rumah.
Setelah kakaknya pergi, Alair beringsut mendekati ibunya. "Bu, apa itu superhero?"
"Darimana kau tahu kata-kata itu?"
"Aku melihat anak-anak para pemimpin yang sedang bermain. Mereka membawa benda berbentuk manusia yang mereka panggil superhero. Apakah superhero itu mainan?"
Nyoya Camilo mendekap anaknya dengan penuh kasih sayang. "Coba kau lihat ayah dan kakakmu."
Alair menatap ibunya bingung.
-------****--------
"Astares, jangan kau permainkan mereka lagi."
Astares menoleh pada Leandra. Ia sedang membagikan gaji pada anak-anak di depannya. Anak yang berusia lebih dari tiga belas tahun harus bekerja di tambang, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka bertugas mengangkut hasil tambang ke truk-truk besar yang akan membawa hasil itu ke luar kota untuk diproses. Tapi, penduduk Thanos tidak pernah mendapatkan hasil produksi dari penambangan di tanah mereka.
"Kau cerewet sekali."
"Aku tidak akan cerewet kalau kau jujur," tuntut Leandra. Ia mengawasi pria berkulit putih dan berambut pirang di depannya itu. Astares mungkin sudah berumur tiga puluh tahun, tapi gayanya masih seperti pemuda berumur dua puluhan. Hal ini membuatnya banyak disukai oleh wanita-wanita Thanos, kecuali Leandra tentu saja.
"Kali ini aku jujur, puas?"
"Bagus." Leandra tersenyum senang. Hari ini anak-anak itu bisa membeli makanan lebih layak dengan uang yang mereka terima.
Astares duduk di bangku kecil sambil menyilangkan kaki. Ia melihat Leandra yang tampak senang. Sangat jarang ia melihat gadis itu tampak bahagia.
"Hei, kenapa kau begitu peduli pada mereka?" tanya Astares sambil mengedikkan kepala ke arah anak-anak yang sedang berlari pulang.
"Perlukah alasan untuk peduli? Mereka hanya anak-anak. Tempat ini tidak tepat untuk mereka," kata Leandra, "mereka harusnya pergi ke sekolah. Mendapatkan ilmu untuk membangun Thanos lebih baik."
Astares tertawa terbahak mendengar alasan Leandra. "Kau begitu naif. Aku lupa usiamu masih sangat muda, hmm, enam belas? Atau delapan belas?"
"Delapan belas," jawab Leandra ketus.
"Pimpinan Thanos tidak akan memikirkan hal sebaik yang kau pikirkan. Kau kira untuk apa para pimpinan melarang kalian untuk bersekolah? Untuk menghancurkan kota ini. Saat tambang ini habis, kalian juga habis. Kalian tidak ada gunanya lagi."
Leher Leandra tercekat. "Maksudmu?"
"Thanos dihancurkan dari akarnya, yaitu anak-anak. Ketika mereka tumbuh dewasa, mereka tak lebih hanyalah suruhan. Jika tambang ini tak bersisa, kalian semua akan dimusnahkan."
"Kalian jahat."
"Mau bagaimana lagi. Dunia ini sudah tak sama lagi seperti dulu. Asal kau tahu, aku pun akan dihancurkan sama seperti kalian. Nasehatku, lebih baik kau hentikan kegiatanmu setiap malam. Itu sia-sia."
Hati Leandra mencelos. Jantungnya berdegup kencang. Astares tahu kegiatannya. Ia merasa bodoh karena bisa ketahuan oleh mandor yang paling dibencinya itu. Rasa takut menyusup ke hatinya. Mungkinkah para penjaga juga tahu?
"Aku tidak memiliki kegiatan apa pun," kata Leandra, "aku harus pulang." Ia segera berlari secepat yang ia bisa. Debu yang beterbangan di sekitarnya tak diacuhkan.
Leandra terengah-engah ketika sampai di depan rumahnya. Ibunya menatapnya cemas. Leandra segera menghampiri adiknya.
"Alair, dengarkan aku."
"Ada apa kak?" tanya Alair. Leandra menjelaskan sesuatu. Bocah berusia sepuluh tahun itu berusaha memahami penjelasan kakaknya. Alair membelalakkan matanya saat mengerti bagian paling akhir yang diucapkan kakaknya.
"Kakak jangan pergi," serunya.
"Tidak tidak. Kakak tidak akan pergi. Tapi, kau harus melakukan apa yang kakak katakan tadi. Janji?"
Alair ragu-ragu. Ia bingung dengan perintah mendadak ini. Namun, ia percaya pada kakaknya. Ia mengangguk perlahan. "Aku janji."
Leandra tersenyum lega sebelum pintu depan terbuka keras dan menampakkan para penjaga yang membawa senjata laras panjang. Para penjaga itu berpakaian cokelat militer dengan penutup kepala dan wajah.
"Apa yang akan kalian lakukan?" jerit Nyonya Camilo. Ia menghampiri kedua anaknya dan memeluk mereka.
"Leandra, ikut kami!" Salah satu penjaga berteriak dengan suara keras yang memenuhi seluruh rumah kecil itu.
"Jangan!" teriak Alair, "jangan ambil kakakku."
Dua orang penjaga masuk lalu menarik Leandra dari pelukan keluarganya. Leandra hanya bisa pasrah sambil berusaha menenangkan ibu dan adiknya. "Tenanglah, aku tidak apa-apa. Para penjaga busuk ini akan mendapatkan akibatnya."
Rasa sakit menghantam kepala kiri Leandra. Ia berusaha memahami yang terjadi. Kepalanya terasa berputar. Belum sempat ia pulih, perutnya terasa tertohok. Darah mengalir keluar melalui mulutnya. Leandra berusah meludahkan cairan gelap itu dari lidahnya.
Ia mendengar adiknya menjerit dan ibunya menangis. Leandra berusaha melihat mereka ditengah seretan brutal para penjaga. Dua orang penjaga menahan mereka yang ingin menyelamatkan dirinya. Ia tersenyum. Ibunya sangat baik, semoga ia tidak lelah menjaga adiknya yang sangat manis. Ia juga berharap Alair dapat meneruskan perjuangannya.
Pintu ditutup. Ia dipaksa berlutut. Rambutnya ditarik dengan keras sampai kepalanya tersentak ke belakang, tapi ia menolak untuk berteriak. Sesuatu yang dingin menempel di pelipis kanannya. Leandra memandang tajam semua penjaga yang mengerumuninya.
"Suatu saat, kalian akan kalah."
Suara letusan senjata menjadi penutup malam mengerikan itu di Kota Thanos.
-----****-----
"Serang mereka!"
Teriakan bercampur dengan ledakan granat mewarnai siang hari yang panas di Kota Thanos. Alair meneriakkan perintah kepada pasukannya. Wajahnya penuh keringat dan debu yang menempel. Tak kenal lelah, ia dan pasukan pemberontak memberondong para penjaga dengan senjata rakitan yang mereka produksi sendiri.
"Gudang senjata berhasil diamankan."
"Terimakasih, Astares. Lanjutkan rencana." Alair menepuk punggung Astares, yang segera berlari memimpin anak buahnya.
Lima belas tahun berlalu, sejak Leandra dibunuh. Alair berhasil mengajari seluruh teman-temannya membaca dan menulis, menggantikan kakaknya. Setelah teman-temannya bisa membaca dan menulis, mereka menjadi semakin kritis. Mereka sering berdiskusi untuk menyelesaikan masalah di Thanos. Mereka menuntut keadilan ditegakkan di kota.
Alair tidak menyangka mereka bisa berhasil sejauh ini. Mereka memberontak para penjaga dan pimpinan Thanos. Bahkan Astares, yang Alair pikir jahat dari cerita kakaknya, membelot menjadi pendukung mereka.
Ia melihat pasukannya yang berjuang keras memertahankan diri. Sampai saat ini, strateginya selalu berhasil. Bukan hanya menggunakan otot untuk berontak, tapi juga otak. Alair tersenyum sambil memandang langit.
"Ayah, kakak, doakan aku. Kalian lah superhero-ku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro