☆» delapan
Mungkin aku tak akan pernah terbiasa melihat wajah sendu Hinata tanpa senyumannya. Pemuda itu dilahirkan dengan sifat matahari. Cerah dan meriah. Melihatnya sedih seperti itu entah kenapa membuatku sakit.
"Kalau boleh tahu ... boleh ceritakan tentang Natsu sedikit, Hinata?"
Ah, seharusnya aku jangan menanyakan hal ini. Pasti akan menambah kesedihannya. Bodoh sekali.
"Natsu ya ..."
Pemuda jingga itu tampak menghela napas sambil tersenyum tipis. Aku memutuskan untuk diam sambil menunggu Hinata lanjut bicara.
"Dia adalah adik yang sangat aku sayangi. Kami bahkan memiliki mimpi yang sama, yakni keliling dunia. Natsu ingin berkunjung ke Belanda untuk melihat kincir angin dan tulip. Tapi, sayangnya keinginannya itu tak bisa terwujud. Dia ... sakit."
"Sakit apa?" tanyaku murni penasaran.
"Paru-paru. Kanker paru-paru."
Ah, kanker paru-paru rupanya. Aku jadi teringat ibuku. Beliau memiliki penyakit yang sama dengan Natsu. Setelah Hinata berucap demikian, aku terdiam tak tahu harus menanggapi apa.
"Aku masih ingat kata-kata terakhir Natsu. Dia bilang 'Kak, keliling dunia sendirian tidak apa-apa, kan? Aku akan mengawasi kakak dari atas.' Dia menitipkan mimpinya padaku."
Aku hanya mengangguk-angguk sebagai tanggapan. Angin sore menerpa taman belakang sekolah. Membuat helaian rambutku beterbangan. Taman belakang sekolah sepi, hanya ada kita berdua.
"Kau tahu Hinata ... Natsu membuatku bisa menggambar lagi."
"Eh?"
Aku menoleh ke arahnya sambil menyunggingkan senyum. "Sebenarnya aku sudah berhenti menggambar dua tahun lamanya. Semenjak kematian ibuku, aku tak bisa menggambar lagi. Beliau ... memiliki penyakit yang sama dengan Natsu. Sebenarnya aku pun ingin menolak permintaanmu saat itu, tapi entah kenapa tak bisa. Aku tak bisa menolakmu. Lalu saat melihat foto Natsu .... tiba-tiba saja kemampuan menggambarku kembali lagi. Aku tak mengerti mengapa bisa demikian. Saat itu aku tak memikirkan apapun selain melukis potret Natsu. Saat itu, aku seakan lupa kenyataan jika aku sudah tak bisa menggambar lagi selama dua tahun. Natsu ... ia telah menolongku. Aku berterima kasih atas hal itu."
Entah kenapa jika berbicara terbuka dengan Hinata akan seringan ini. Aku merasa lega.
"Ah, syukurlah adikku telah menolong seseorang sebelum kepergiannya," Hinata berucap sambil tersenyum lebar. Aku hanya ikut tersenyum mendengarnya.
"Ibumu ... pasti sangat berperan besar ya dalam bakat menggambarmu sampai-sampai kau tak bisa menggambar lagi setelah kematiannya?" tanya Hinata. Aku hanya tersenyum kecil sambil menatap langit jingga.
"Begitulah ..." jawabku enggan menjelaskan lebih lanjut. Jika mengingatnya kembali, aku masih sering merasa sesak.
"(Name)-san masih tidak rela, ya?"
Aku menoleh ke arah Hinata yang menatapku dengan tatapan damai. Bingung hendak menjawab apa.
"Dengan kematian ibumu? Kau masih tidak rela, ya, sampai-sampai begitu?"
Rela? Apakah aku rela dengan kematian ibuku?
Sampai saat ini aku masih terus mengingatnya. Ingatan saat kematiannya pun terus menghantuiku. Ada penyesalan dalam diriku terkait kematiannya. Apakah itu tandanya aku masih tidak rela?
"Aku ... pernah bertanya kepada Natsu. Saat itu dia habis menjalani kemoterapi. Aku berusaha menyemangati dia dengan kata-kata 'kau ingin sembuh, kan?'. Tapi, dia malah menjawab 'Kalau ingin sembuh harus melewati rasa sakit seperti ini, aku tidak akan sanggup, Kak.' Saat itu aku tersadar bahwa aku memang harus mempersiapkan diri untuk kehilangan. Aku tak bisa memaksakan kehendakku yang mengingingkan Natsu sembuh. Itu akan semakin menyakitinya dan ... membuatnya lelah. Saat itu aku pun mengubah pikiranku. Daripada melakukan segalanya agar dia sembuh, aku akan melakukan segalanya agar dia bahagia selama perjuangannya untuk melawan rasa sakitnya."
Tuturan panjang dari Hinata itu pun sukses menjatuhkanku dalam perenungan masa lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro