Part 5.
Sungguh, imajinasiku sama sekali tak sampai. Aku memang payah dalam hal seni. Rasanya yang kamu jelaskan tadi jauh lebih rumit daripada pembuatan sasis kereta api.
***
Sehari menjelang chuseok, Seoul tak seramai biasanya. Sebagian penghuninya yang berasal dari kota lain pulang dari perantauan. Pengecualian mungkin hanya pada kawasan industri saja, di mana pekerjanya banyak non Korea, yang itu berarti mereka tak turut merayakan hari raya.
Bagi orang Korea, chuseok seperti halnya lebaran di negara muslim. Libur nasional tiga hari diberlakukan, dan ini menjadi kesempatan bagi setiap perantau untuk pulang ke kampung halaman.
Chuseok dirayakan setiap tanggal 15 pada bulan ke delapan kalender lunatic. Dalam sejarahnya, chuseok dahulu disebut sebagai hangawi atau pertengahan agung, sebab biasanya jatuh pada pertengahan musim gugur. Digelar sebagai ungkapan syukur atas panen yang dihasilkan.
Ara sendirian saja. Chun Ae sudah pulang sejak kemarin sore. Setahu Ara temannya itu pulang sendiri, tapi baru saja ia melihat unggahan di media sosial Chun Ae yang menunjukkan bahwa ia pergi bersama Yeo Joon. Ara sedikit sedih, merasa Chun Ae menyembunyikan sesuatu darinya. Ia melamun, hingga dering nada panggil mengagetkannya.
Sung Jae Won, nama yang tertera sebagai pemanggilnya.
"Yeoboseo. Assalamualaikum, Ara."
"Waalaikumussalam, Oppa."
"Annyonghaseyo?"
"Alhamdulillah. Aku baik."
"Hari ini kamu ingin ke mana? Aku sudah di lobi apartemen Chun Ae. Kalau kamu mau, aku akan menjemputmu di depan pintu. Kita jalan-jalan, ke mana pun kamu mau."
"Eh, emm, aku belum siap-siap. Apa Chun Ae yang menyuruhmu?"
"Tidak. Aku sendiri yang ingin menemanimu."
"T-tapi ...." Ara ragu-ragu. Ia sendirian di rumah orang, apa pantas menerima tamu, lawan jenis pula.
"Tenang saja, kamu bisa mempercayaiku. Aku tak akan macam-macam, karena ancamannya Yeo Joon akan memecatku. Kamu bersiaplah. Kalau sudah, kabari aku. Aku akan segera ke atas dan menunggumu di depan pintu."
Mau tak mau Ara setuju. Ia segera bersiap. Hendak meminta tolong Jae Won untuk mengantarnya membeli papan kayu potong. Sewaktu-waktu ia ingin mengerjakan hobinya, ia tak perlu bingung mencari bahan utama.
Ara membuka pintu. Benar, si penunggu sudah berada di depannya dengan senyum selebar gerbang Gyeongbokgung yang terbuka.
"Hai," sapa Ara canggung.
"Hai. Jadi kita mau ke mana?"
"Emm, aku mau minta tolong."
"Aku siap mengantarmu ke mana saja."
Berdua melangkah menuju lift. Jae Won menekan tombol logam berukir huruf B. Mereka pun meluncur ke bawah, langsung menuju parkir untuk tamu selain penghuni apartemen.
"Terima kasih. Aku mau mencari potongan papan kayu."
"Untuk apa?"
"Untuk membuat kerajinan tangan. Aku suka semua kegiatan yang berhubungan dengan handcrafting. Yang paling aku suka adalah decoupage. Kamu pernah dengar tentang decoupage?"
"Hehe, sayangnya belum." Jae Won nyengir.
"So, apa itu decoupage? Kamu bisa jelaskan padaku di mobil." Sambung Jae Won lagi.
"Kamu bawa mobil?"
"Ya."
Jae Won berjalan santai, Ara mengikuti. Mereka berhenti pada satu SUV Korea yang sering Ara lihat di Jakarta.
"Kenapa nggak naik subway saja? Sekalian latihan, biar aku cepat pintar."
"Hemm, begitu ya? Tapi kalau ada libur besar nasional, jalanan Seoul sedikit lebih sepi. Jadi aku bawa mobil saja. Lagipula, tempat yang akan kita tuju agak masuk-masuk ke jalan kecil. Membawa mobil jauh lebih mudah buat kita."
"Tempat apa maksudmu?" Ara keburu curiga.
"Katamu mau mencari potongan kayu. Aku tahu tempatnya. Tokonya pasti buka. Dia imigran, orang Inggris, jadi nggak merayakan chuseok. Di sana banyak kerajinan kayu. Kamu pasti suka."
"Eh, t-tapi, aku mencari kayu yang murah-murah saja, Jae Won." Pipi Ara memanas. Sebenarnya ia malu, kelihatan sekali kalau ia harus berhemat untuk itu.
"Memangnya aku bilang kalau di sana harganya mahal-mahal?"
"Tapi kamu bilang dia orang Inggris. Kamu juga bilang kalau di sana banyak kerajinan kayu. Kerajinan yang dibuat oleh profesional pasti bernilai seni tinggi, dan itu mahal."
"Hemm. Rupanya selain pintar menghitung harga *pulley dan *roller, kamu juga pintar membuat kesimpulan sendiri ya?" Jae Won terkekeh.
Totebag di pangkuan Ara bergetar. Sebuah pesan ia terima. Ia mengintip sekilas, lalu menahan napas.
Sajangnim? Ngapain dia kirim pesan segala?
Ara menarik napas, lalu mengeluarkan handphone-nya. Mencoba tetap tenang agar pria di sebelahnya tak curiga.
Lah, kenapa juga aku kudu begini, orang Jae Won juga nggak ngerti. Malah mungkin nggak peduli.
[Kamu di mana?]
Kamu itu siapa? Apa jangan-jangan dia mau kirim pesan ke Chun Ae tapi salah kirim ke aku?
[Saya Ara, Sajangnim. Maaf, mungkin salah kirim.]
[Kamu di mana?]
[Jadi, tidak salah kirim?]
Tak ada balasan, hanya ada panggilan.
Ara tak enak hati. Ia memandang Jae Won, lalu mereject panggilan. Terpaksa.
[Maaf, Sajangnim. Saya sedang di luar.]
[Dengan siapa?]
Ara tak membalas.
[Jae Won?]
[Iya.]
[Oke. Aku percaya padanya. Kalau dia macam-macam, beritahu aku.]
[Baik, Sajangnim. Terima kasih.]
[Oh ya, maaf. Seharusnya Sajangnim tidak perlu mengkhawatirkan saya.]
[Selama di sini, aku yang bertanggungjawab atas kamu.]
[Baik, Sajangnim. Maaf.]
[Dan terima kasih.]
"Bos besar?" tanya Jae Won. Lebih tepatnya menebak.
"Eh, emm, iya."
"Sepertinya dia menyukaimu."
"Bukan begitu. Dia bilang kalau selama di sini aku menjadi tanggungjawabnya."
"Kalau dia menyukaimu?"
"Impossible."
"Kalau aku yang menyukaimu?"
"Kidding."
"Kamu sudah punya pacar?"
"Bisakah kita bicara yang lain saja? Tentang chuseok misalnya?"
"Kita lanjutkan nanti, tujuan kita sudah di depan mata."
Jae Won menghentikan mobilnya di depan bangunan cukup antik yang didominasi oleh ornamen potongan kayu. Sebuah papan nama bertuliskan London Wooden - Craft and Art menyambut mereka berdua. Begitu masuk ke dalamnya, Ara merasa begitu gembira. Kerajinan tangan memang selalu menjadi daya tarik tersendiri baginya.
Sementara Jae Won menemui dan berbincang akrab dengan pemilik toko berwajah khas orang Britania Raya. Phil, begitu ia dipanggil. Mungkin namanya Philip.
Tak lama bicara, Jae Won memanggil Ara. Menanyakan padanya kayu-kayu seperti apa yang ia maksud dan ia inginkan. Phil langsung paham begitu Ara menyebut decoupage. Ia menjanjikan akan membuatkan potongan-potongan papan kayu yang pas untuk membuat karya decoupage.
"Aku akan membuatkannya segera. Kalian kembalilah ke sini besok pagi."
Jae Won menyetujui. Phil menyebutkan nominal, kemudian Ara menyodorkan uang cash dalam jumlah yang tak besar. Ia merasa senang, potongan kayu-kayu polos yang cantik akan ia dapatkan untuk membuat kerajinan yang baginya sungguh menarik. Dan ia tak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk itu. Jae Won memang sangat bisa diandalkan.
"Jadi, apa itu decoupage?"
Ara tertawa. Ia mulai menjelaskan dengan semangat menyala. Begitulah ia saat berbicara tentang sesuatu yang menjadi kesukaannya.
Belum selesai ia bicara, Jae Won meminta maaf karena hendak menyela.
"Sungguh, imajinasiku sama sekali tak sampai. Aku memang payah dalam hal seni. Rasanya yang kamu jelaskan tadi jauh lebih rumit daripada pembuatan sasis kereta api."
Ara tergelak. Perbandingannya sungguh tak seimbang.
"Berarti kamu terlalu pintar, Oppa. Level kapasitasmu terlalu tinggi untuk hanya membahas hal seremeh ini."
Jae Won ikut terbahak.
"Begini saja. Besok kita ambil bersama kayu dari tempat Phil. Kamu bawalah alat dan bahan untuk membuat decoupage. Sesuai yang kamu katakan tadi, bahwa butuh proses pengeringan dalam membuatnya, aku akan menemani dan belajar darimu bagaimana membuat kerajinan itu.
"Ada satu tempat yang pas untuk kegiatan ini. Sebuah taman yang nyaman, ada pohon-pohon yang meneduhkan, juga tempat di mana sinar matahari cukup untuk bisa mengeringkan.
"Sekarang aku akan mentraktirmu makan siang. Ada bibimbap yang enak dan halal. Kamu harus mencobanya. Setelah itu aku antar kamu pulang. Besok pagi kujemput di waktu dan tempat yang sama."
Deal! Satu janji tersepakati. Ara mendadak tak sabar menunggu esok hari.
***
Kalian, masih sabar kan menunggu part berikutnya?
See you soon.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro