
1. Skylar Marrow
Namanya Skylar, usianya enam belas tahun pada bulan Desember besok, dan dia benci musim panas.
Pertanyaan terbesarnya, kenapa Skylar sangat benci dengan musim panas? Jawabannya ada banyak, dan salah satunya adalah meninggalnya ibu Skylar pada musim panas dua tahun yang lalu.
Kala itu Skylar masih berusia tiga belas tahun di bulan akhir bulan Juni. Ibunya meninggal akibat kegagalan dalam operasi jantung dan ayahnya sama sekali tidak berada di sisinya walau hanya untuk sekedar menenangkan. Skylar melewati semuanya sendiri. Kedua orangtuanya adalah anak tunggal yang sudah yatim piatu, jadi Skylar hanya seorang diri dan tidak ada tumpuan di kala dirinya berlarut dalam kesedihan hingga dirinya dinyatakan menderita prolonged grief disorder. Penyakit yang Skylar derita karena suatu kondisi dimana seorang merasa sedih dan berduka untuk waktu yang lama karena orang terdekat yang meninggal dunia.
Sejak menderita penyakit itu, keseharian Skylar tidaklah sama lagi, Skylar bukan orang yang sama lagi. Di sekolah dia lebih memilih untuk mengasingkan diri, dia menarik diri dari kegiatan sosial, depresi, selalu menangis hampir di tiap malam karena sangat merindukan ibunya, dan terkadang menyalahkan diri sendiri atas kepergian ibunya. Karena itu semua, Skylar juga menjadi sedikit ketergantungan pada obat penenang.
Di sisi lain, Ayah Skylar tahu dirinya bukanlah ayah yang baik, tapi dia juga bukan seorang ayah yang jahat dan tidak tega melihat satu-satunya anak yang dimiliki menderita seperti itu. Jadi empat bulan setelah kepergian ibu Skylar, ayahnya memboyongnya dari tempat tinggal mereka di Texas untuk pindah dan tinggal di Manhattan.
Sebastian Marrow, Ayah Skylar, ingin ada nuasa baru yang bisa membangkitkan gairah hidup Skylar kembali, serta dia juga punya kenalan psikiater yang bagus di sana. Jadi pengurusan pindah berlangsung dengan cepat, dan keadaan Skylar juga bisa ditangani dengan baik oleh psikiater.
Kabar bagus, keadaan Skylar menjadi sedikit demi sedikit membaik. Kabar buruknya, dia mengalami alexithymia--- suatu kondisi yang berkaitan dengan kesulitan mengidentifikasi, mengekspresikan, dan memahami emosi. Jon, teman dekat dari ibunya sekaligus psikiater yang menangani Skylar berkata bahwa alexithymia bukanlah hal yang berbahaya tapi tetap bisa mempengaruhi masalah yang berkaitan dengan hubungan sosial dan intrapersonal. Penyebab utama Skylar sampai bisa terkena alexithymia dikarenakan trauma dukanya serta depresi yang dia miliki.
Sungguh sangat disayangkan. Di usia muda Skylar kehilangan ibunya, lalu duka yang membuatnya depresi, ketergantungan obat penenang, dan sekarang dia terkena alexithymia. Hal buruk banyak menimpanya sejak berusia tiga belas tahun.
Dan... bukan hanya sampai situ saja.
Setelah setengah tahun lebih tinggal di Manhattan, diusainya yang ke lima belas pada bulan Juli ini, ayah Skylar memutuskan untuk pindah lagi ke daerah kecil bernama Green Hills di Vermont--- negara bagian yang berada di kawasan New England di Amerika Serikat Timur Laut. Itu adalah hal yang sama sekali tidak direncanakan dan tidak diharapkan oleh Skylar, mendadak saja terjadi dan secepat mungkin dilakukan oleh ayahnya.
Skylar sangat tidak suka dengan yang namanya acara pindah rumah, apalagi jika sudah harus sampai pindah ke negara bagian Amerika Serikat yang berbeda--- bahkan sewaktu kepindahan ke Manhattan seperti itu juga. Yang dia pikirkan jika harus pindah hanyalah malas untuk bersosialisasi dengan orang baru, terlebih dengan kondisi khususnya sekarang ini. Di Manhattan Skylar tidak punya banyak teman--- atau sebenarnya, tidak punya sama sekali. Lalu dengan tanpa persetujuan ayahnya memutuskan untuk pindah, dan alasannya hanya ingin mendapat nuasa yang baru.
Sumpah, demi apapun. Perasaan Skylar bercampur aduk dan itu membuatnya bingung. Dia hendak marah pada ayahnya atas semua hal yang dilakukan atas semaunya sendiri, tapi di sisi lain Skylar bahkan tidak tahu bagaimana caranya untuk mengespresikan marah itu seperti apa. Skylar yang baru, dia kaku dan hanya memikirkan secara logika tanpa mengikut sertakan emosi.
Jangankan untuk marah, bahkan untuk tersenyum saja Skylar harus mengikuti tutorial dari psikiaternya.
.
.
.
Denting jam terdengar sangat nyaring di telinga Skylar. Bergema dengan cara yang menyebalkan dan sekaligus membuatnya gugup, tapi wajahnya tetap saja datar dan hanya menatap kertas pertanyaan di depannya.
Ayahnya membuatnya harus ikut dalam sesi terapi di pagi hari sebelum pergi ke sekolah baru. Skylar harus mengikuti sekolah musim panas untuk mengejar ketertinggalan pelajaran, salah satu efek samping dari kondisinya yang menyebabkan kegiatan edukasi sedikit terganggu karena terapi yang lumayan intensif.
Seorang psikoterapis lokal di Green Hills, bernama Alice--- wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahunan dan memakai kacamata, memberikan sebuah lembar kuisioner padanya sembari tersenyum manis. Skylar diminta untuk mengisi semua pertanyaan dan itu sungguh sangat merepotkan.
Pertanyaan demi pertanyaan, semuanya hanya meliputi tentang bagaimana perasaan Skylar ataupun bagaimana hubungannya dengan ayahnya saat ini--- yang jujur saja, Skylar bahkan bingung bagaimana harus menjawabnya. Hubungan Skylar dan ayahnya datar-datar saja. Mereka jarang berkomunikasi karena Skylar cenderung mengacuhkannya. Satu-satunya kegiatan yang membuat mereka bertatapan wajah satu sama lain adalah makan bersama. Sebastian adalah seorang juru masak dan sejak dulu sudah menjadi tradisi untuk makan bersama, setidaknya sarapan ataupun makan malam dan tidak boleh ada yang melanggarnya--- selama makan bersama pun tidak ada ajang ajak berbicara atau apapun, hanya denting perkakas makan yang berbunyi.
Jadi sebagai jalan pintas, Skylar hanya mengisinya dengan jawaban penuh kemunafikan, jawaban-jawaban yang akan sangat ingin di dengar oleh psikolog itu.
Aku baik.
Belakangan aku merasa sangat senang.
Ayah dan aku menikmati waktu dengan bagus.
Ayah sebagai koki restoran mewah di sini selalu memasakan makanan yang enak untukku, aku sangat suka itu.
Aku suka macaroni keju, Ayah selalu membuat yang spesial untukku.
Lalu Skylar meletakkan kertas tersebut di hadapan Alice. Dia menatap Alice dengan matanya yang hampa. "Apa kau akan memberikanku obat."
Alice tersenyum tipis, terlihat sedikit kikuk. "Aku bukan psikiater. Bukan hakku untuk memberikanmu obat." Dia mengambil kertas tersebut, melihat isinya sejenak kemudian tersenyum kembali. "Ya... ini lumayan bagus," katanya. "Apa yang ayahmu masak kemarin malam?"
"Aku tidak terlalu ingat," jawab Skylar. Matanya memandang jam yang tepat di depan matanya, dia tidak terlalu ingat kapan dia masuk ke tempat ini tapi rasanya sudah lama sekali. Skylar ingat Jon pernah berkata bahwa jam yang diletakan tepat di depan mata pasien hanya akan membuat pasien memikirkan kapan selesainya sesi terapi tanpa berpikir apakah masalah milik mereka tersampaikan dengan benar ataupun tidak. Saat ini, Skylar benar-benar merasakannya, perasaan tidak tenang yang dipelajarinya dari buku panduan dasar: dia tidak fokus dan sangat berhasrat untuk kabur.
"Coba kau ingat kembali." Alice berkata kembali. Dia tersenyum mencoba memberi ketenangan agar Skylar tidak terlalu tampak tertekan. Tapi itu tidak berpengaruh apa-apa.
Skylar lalu bangkit. "Kurasa sesi sudah seharusnya selesai," katanya. "Permisi." Itu adalah tolakan keras dari Skylar. Alice tidak bisa memaksa dan pada akhirnya membiarkan Skylar pergi.
Sebastian menunggu di luar klinik ketika Skylar membuka pintu. Dia menyusul anaknya. "Bagaimana hasilnya?" bertanya basa basi.
"Bagus," jawab Skylar. Kakinya melangkah pada mobil mereka yang terparkir. Dia merangkak masuk di kursi sebelah pengemudi, dan ayahnya juga turut masuk di kursi pengemudi. Mobil dinyalakan dan mereka pun bergerak menuju sekolah. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro