🌻 Chapter 01 🌻
Keadaan ruang makan saat ini sangatlah tenang. Hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar serta suara kunyahan. Semua suara itu pun sangat kecil. Mata Helia sesekali melirik jam tangan, merasa waktu berjalan sangat lambat. Makannya juga menjadi lambat.
Suara deru motor yang tak asing membuat Helia langsung menjauhkan piringnya seraya bangun. Ransel yang sudah disiapkan di samping kursinya langsung diraihnya.
"Reta udah dateng. Lia berangkat dulu, Ma, Pa."
Helia menyalimi kedua orangtuanya kemudian berlalu begitu saja menuju dapur. Di sana terlihat mbak Jeni sedang membereskan peralatan masak. Helia mendekati wanita yang baru saja memasuki umur tiga puluh tahun itu.
"Mbak."
Mbak Jeni langsung membalikan tubuhnya. "Non Lia, udah mau berangkat?"
Helia mengangguk kemudian berkata, "iya, aku pamit berangkat."
"Iya, Non. Hati-hati dijalan."
Helia langsung berjalan cepat keluar rumah. Sebelum mendekati Reta, Helia berpamitan kepada Kang Amar, tukang kebun dirumahnya. Sahutan yang diberikan juga tak jauh berbeda dari yang mbak Jeni tadi.
"Pagi, beb. Makin cantik aja."
Bukannya senang, Reta cemberut dibalik maskernya. Gadis itu lebih berharap jika yang memberikan ucapan tadi adalah kakak kelas cogan yang dipuja banyak cewek di sekolahnya.
"Pagi-pagi ngga usah gombal," Reta memberikan helm, "pake helmnya."
Tawa kecil terdengar dari mulut mungil Helia sambil mengenakan helm yang diberikan Reta tadi. Setelah itu, Helia menaiki motor Reta. Helia memberikan kode siap, Reta langsung menjalankan motor.
Selama kurang lebih setengah jam perjalanan mereka, tak ada percakapan antara keduanya. Reta harus fokus pada jalanan dan Helia tak mungkin menganggunya hanya untuk membicarakan hal sepele.
Ketika di parkiran, barulah Helia berulah dengan merengek ke Reta untuk segera menuju kelas. Karena selalu mendengar hal ini membuat Reta mulai tahu jika mengabaikan Helia saat ini adalah pilihan yang tepat.
Mereka menuju kelas dengan celotehan hari Minggunya yang terasa panjang karena Reta sedang berlibur bersama keluarganya. Dari yang biasa sampai tak penting pun diceritakan oleh Helia. Reta hanya mendengarkan saja, dia tak memiliki sesuatu yang harus disampaikan. Juga, mendengarkan cerita Helia seperti mendengarkan adiknya yang berumur lima tahun menceritakan harinya di taman kanak-kanak.
Memasuki kelas, Helia melakukan kebiasaannya. Mengambil nafas dalam lalu bersiap mengeluarkan suara terbaiknya.
"Halo, Gaes. Apa kabar?"
Semua mata menatap Helia dan membalas sapaannya. Sebelum menuju kursinya, Helia menyempatkan diri berbincang dengan yang lain. Sekedar menanyakan weekend mereka atau pr hari ini.
"Lia."
Helia menengok ke Reta yang sudah berada dibangkunya. Helia menghampiri sahabatnya tersebut.
"Kenapa, Retaku sayang?"
"Lo liat buku Bahasa Indonesia gue, ngga?"
Helia tak menjawab. Dia melihat kolong mejanya yang bersebelahan dengan Reta dan menemukan satu buku tebal yang seharusnya tak ada di sana. Alis Helia bertautan, tangannya mengambil buku tersebut.
"Ini bukunya bu--"
Pertanyaan Helia terpotong menemukan satu amplop kuning yang menempel pada buku yang diambilnya. Motif yang sama seperti yang diterimanya seminggu yang lalu. Bingkai bunga matahari.
Reta melihat apa yang ditemukan Helia, ekspresi Reta terlihat terkejut tanpa bersuara. Reta menarik Helia duduk di kursi Helia yang bersebelahan dengannya. Tangannya menepuk pelan pundak disampingnya.
"Buka, Li! Buka!"
Tanpa disuruh pun, Helia pasti membuka amplop tersebut. Dia sedikit semangat untuk mengetahui apa isi dari surat tersebut. Harapannya sangat tinggi pada kalimat-kalimat yang akan tertulis di kertas.
Semua ceritamu yang selalu diawali dengan penuh semangat selalu membuat siapapun yang mendengarnya tak bisa mengalihkan perhatiannya darimu.
Mr. Sun
Baik Helia maupun Reta tak memberikan komentar apapun. Helia melihat bagian belakang kertas yang kosong kemudian kembali melihat kalimat tadi. Lalu, Helia dan Reta bertatapan.
"Lo kalo suka sama gue bilang aja, Ta."
"Ya kali," jawab Reta sambil menepuk pundak Helia.
Helia hanya terkekeh dan kembali melihat isi kertas yang dipegangnya. Reta memperhatikan wajah Helia.
"Seneng, nih, dapet surat lagi dari secret admirer. Sampe senyum-senyum gitu."
Senyum Helia berubah menjadi cemberut, tak suka dengan ledekan Reta. Helia memasukan kembali kertas tersebut ke dalam amplop.
"Lagi seneng malah diledekin."
"Mana buku gue?"
Helia melihat ke arah buku yang tadi diletakkan di meja. Langsung saja diberikan kepada Reta. Amplop tadi langsung ditaruh diatas meja Helia.
"Bukan lo yang ngirim suratnya, nih?" tanya Helia.
"Ngga!" Reta sedikit membentak membuat beberapa orang melihat ke arahnya.
"Pagi-pagi udah teriak aja," ucap Biru yang juga baru sampai di kelas.
"Biasalah, si kakak kesel sama tingkah adeknya," jawab Kenzo yang asyik menggambar sesuatu di papan tulis.
Biru hanya ber-oh saja lalu menaruh tasnya. Laki-laki itu pergi keluar kelas dengan membawa satu buku catatan. Di depan kelas, Biru berpapasan dengan Surya yang mau masuk kelas.
"Tumben lo telat," sahut Biru yang dibalas dengan anggukan saja oleh Surya.
Biru segera keluar sedangkan Surya menuju mejanya yang berada dua baris di belakang Helia. Ketika melewati Helia, perempuan itu menengok sebentar ke Surya dan menyapa Surya.
"Pagi, Surya."
"Pagi."
Helia kembali berbincang kepada Reta mengenai surat tadi. Karena terlalu semangat, Surya sampai memperhatikan Helia. Bahkan sampai di meja pun, Surya masih melihat Helia sambil bertopang dagu.
~OoOoO~
"Kenzo!"
Baru saja Kenzo berdiri hendak keluar kelas, dia harus kembali duduk ketika namanya dipanggil Helia. Saat sudah berada di depan meja, Helia menyodorkan sebuah amplop kuning. Mata Kenzo langsung melebar.
"Buat gue?!" tanya Kenzo. Pekikan tadi membuat seisi kelas yang sudah mulai menyebar menuju kantin langsung melihat Helia dan Kenzo. Seketika Helia memelototi Kenzo.
"Wah, apa nih?"
"Helia nembak Kenzo?!"
"Gila! Akhirnya Helia tancap gas juga!"
"Terima, Kenzo!"
Sorakan dari seisi kelas membuat Helia panik sendiri. Matanya melihat sekeliling dan berhenti pada Reta yang menengok ke arah lain. Helia memberikan tatapan galak, saat ini dia butuh bantuan!
"Bukan," jawab Helia cepat, "gue mau nanya ini dari lo apa bukan."
Kenzo melongo. Menatap amplop tersebut dan kemudian kembali menatap Helia. "Bukan."
Helia menghela nafas pelan. Amplopnya langsung ditaruh di kantong roknya. Dibalasnya tatapan Kenzo sengit, karena suara kencang laki-laki tersebut membuatnya kerepotan.
"Apa? Mau nyalahin gue?" tanya Kenzo sinis.
Mata Helia menyipit dan membalas, "gara-gara lo, orang jadi salah sangka ke gue."
"Siapa yang ngga salah sangka kalo tiba-tiba lo nyodor surat begituan," sahut Kenzo kesal.
"Jadi Helia ngga jadi nembak Kenzo?" tanya salah satu anak kelasan.
Ada juga yang menyahuti, "ngga seru, ah."
"Sejak kapan juga gue nembak Kenzo?! Udah sana, Bubar!"
Suara kekecewaan terdengar bersamaan dengan Helia yang mencoba membubarkan kerumunan. Dia bahkan mendorong-dorong Kenzo untuk segera keluar. Tak lama, Reta ikut membantu Helia membubarkan yang lain kemudian mengajak sahabatnya itu ke kantin.
"Ngga mau. Malu."
Jika diperhatikan, kedua pipi Helia sudah memerah. Bahkan, kalau tidak terhalang rambut, rona merahnya bisa terlihat sampai telinga. Mau tak mau, Reta harus sedikit mengalah menahan lapar agar bisa menemani Helia.
"Makanya, orang ngomong tuh dengerin sampe selesai. Udah dibilang kalo nanya tuh jangan to the point banget. Udah gitu, yang ditanya si Kenzo lagi. Tahu sendiri, kan, itu anak kalo ngomong asal ceplos aja."
Helia kembali menuju bangkunya dan menyembunyikan wajahnya ke lipatan tangannya di atas meja. Rasanya Helia ingin menguburkan dirinya di tanah terdalam.
"Habisnya, dia yang paling mencurigakan."
Dahi Reta mengerut lalu bertanya, "mencurigakan gimana?"
"Dia yang paling sering godain cewek kelas lain. Minggu kemarin, gue lihat dia lagi godain anak IPA satu."
"Kalo emang Kenzo, dia bakal langsung ngomong ke lo daripada ribet-ribet ngasih surat begitu."
Helia tak membalas. Dipikir lagi oleh Helia ucapan Reta yang terdengar masuk akal. Kenzo yang lebih sering bertindak dibandingkan hanya berbicara saja sepertinya tidak mungkin memberikan Helia surat. Teringat kembali disaat Kenzo membuat tugas cerpen yang absurd, membuat Helia jadi ragu jika Kenzo yang mengiriminya surat.
"Bener, kan?" tanya Reta.
Helia menegakkan duduknya, dan menatap Reta yang sudah berada di bangkunya sambil melihatnya. Dua ujung bibir nya masih menekuk ke bawah sambil menatap meja.
"Terus gimana caranya gue tahu kalo ngga gue tanyain?"
"Kita cari tahu pelan-pelan," Reta membenarkan posisi agar berhadapan sepenuhnya dengan Helia, "keluarin suratnya."
Dituruti ucapan Reta. Amplop kuning tersebut ditaruh Helia di atas meja. Reta menggeser kursinya hingga terdengar deritan antara kursi dan lantai keramik.
"Pertama, dari mana lo dapet suratnya?"
Mata Helia melirik ke kolong mejanya lalu menjawab " ... dari kolong meja."
"Menurut lo siapa aja yang tahu posisi meja lo?"
"Temen-temen sekelas sama beberapa di luar kelas," jawab Helia sekenanya.
"Diantara orang-orang itu, ada yang bagus di mapel bahasa Indonesia?" tanya Reta lalu menambahkan, "biasanya yang jago bahasa Indonesia juga jago ngerangkai kata."
Pertanyaan tadi membuat Helia berpikir sejenak. Selain Kenzo, ada beberapa temannya memang tak terlalu bagus di pelajaran tersebut.
"Serius amat. Lagi ngomongin apa?"
Kedua perempuan yang sedang berbincang serius tadi langsung menoleh ke Surya yang berada di samping Helia. Di tangannya terdapat dua kantung plastik. Hanya melihat saja Helia tahu jika plastik tersebut terlihat cukup berat.
"Bukan apa-apa," jawab Helia, "abis dari kantin?"
Surya mengangkat salah satu plastiknya dan menaruhnya di meja Helia. "Iya. Yang ini buat lo sama Reta."
Helia dan Reta melihat isinya. Terdapat dua buah roti isi dan dua kotak susu cokelat. "Ini serius buat kita?"
"Serius. Gue yakin lo pasti ngga mau, kan, ke kantin abis kejadian tadi."
Seketika Helia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Kembali malu mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Surya yang melihat reaksi Helia hanya terkekeh pelan.
"Semuanya berapa? Biar gue ganti," Reta bertanya karena merasa sungkan sudah dibelikan.
"Ngga usah," tolak Surya, "gue mau ke ruang OSIS dulu."
Reta mengucapkan terima kasih sebelum Surya pergi meninggalkan kelas. Helia masih menutup wajahnya yang langsung ditarik oleh Reta.
"Suryanya udah keluar kelas. Jadi ngga usah malu-malu lagi."
Helia melihat plastik di mejanya dengan seksama. "Boleh dimakan?"
Reta memutar bola matanya kemudian mengangguk. Wajah Helia menjadi cerah dan mengambil sepotong roti dan sekotak susu yang ada. Setelah mengambil bagiannya, Helia memberikan sisanya ke Reta.
Setelah mengambil rotinya, Reta berkata, "si Surya udah ganteng, pinter, baik lagi. Jadi mau punya pacar kayak dia."
"Kalo gitu pacaran sama Surya aja."
"Ngga gitu juga!"
Kemudian Helia mengaduh kesakitan karena pipinya dicubit Reta. Helia mencoba melepaskan pipinya yang semakin terasa sakit. Ketika berhasil lepas, Helia mengelus pipinya.
"Ya ampun, salah apalagi sih diriku ini. Eh bentar."
Mata Helia memeriksa setiap inci meja mencari amplop kuningnya. Nafas lega terdengar saat dia menemukannya hampir jatuh dari meja.
"Panik amat," ucap Reta.
"Gue kira ilang suratnya," Helia melihat amplop tersebut.
"Sampe segitunya."
"Ya, gimana lagi," kali ini Helia menaruh amplopnya ke dalam tas, "surat ini salah satu alasan gue semangat dateng ke sekolah."
~OoOoo~
Halo lagi semuanyaa.
Chapter satu udah update nih. Gimana gimana?
Sampai jumpa di chapter selanjutnya, ya. 💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro