Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Shaka (?)

"Terkadang, hidup itu lucu. Apa yang diharapkan selalu lari, apa yang ingin dilupakan selalu datang kembali."

•••

    Suara bisingnya kota sudah terdengar sejak pukul dini hari, suara opelet dan bus besar terdengar dari jalan besar. Terbiasa tinggal di Temanggung yang merupakan kaki gunung membuat Rara sering mendengar kokokan ayam, tetapi lain lagi dengan pagi ini di mana telinganya disambut keributan di kos-kosan.

   Rara menatap jam dinding yang menunjukkan pukul empat lebih tiga subuh. Desahan khawatir keluar dari mulutnya karena sejak tadi kamar mandi masih dibuat rebutan. Gadis itu bahkan belum menjalankan kewajibannya untuk salat subuh karena semua keran dipakai. Rara hanya takut, dia melewatkan waktu yang baik untuk sujud di hadapan Tuhan.

   "Wudu di luar aja. Ada mushola di deket sini."

   Suara merdu itu membuat Rara menoleh. Ada Shaka di sampingnya, telah rapi dengan setelan formal. lelaki itu tampak tampan dengan snelli dan kacamata yang nangkring di hidung bangirnya.

   "Di mana?" tanya Rara tercekat. Masih syok jika Shaka mengajaknya bicara. Malu juga dengan hal memalukan yang terjadi kemarin.

   Shaka menunjuk pintu keluar. "Yang jelas di luar."

   Tanpa Shaka beritahu pun Rara tahu mengenai hal itu. Bahkan bayi yang baru lahir juga tahu kalau mushola tidak akan mungkin berada di dalam kos-kosan, kecuali mushola rumah—bukan mushola umum yang ukurannya besar.

   Rara mendengus, mendelik pada Shaka. Entah dapat keberanian dari mana. Saat hendak keluar mencari mushola, Leah sudah lebih dulu keluar dari kamar mandi—rapi dan wangi siap menjalani hari Seninnya. "Sini, Ra. Gue udah selesai, nih."

•••

    Jalan Antariksa terletak di sebelah timur laut UNS atau yang sering disebut Universitas Sebelah Maret. Dari Kos Pulau Kapuk, Rara memilih jalan kaki karena jaraknya yang tidak begitu jauh. Hanya butuh waktu kurang lebih 7 menit berjalan sejauh 1,3 km hingga Rara mencapai gerbang bagian depan UNS.

   Gadis yang mengenakan kemeja putih dan rok hitam di bawah lutut sambil membenarkan tata rambutnya yang diikat menggunakan tali rafia itu masih harus berjalan jauh menuju auditorium kampus yang jaraknya membuat dengkul Rara serasa ingin copot. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada kendaraan umum di dalam kampus. Gadis itu—Rara—menghela napas, membenarkan letak name tag-nya yang miring.

   Saat daftar ulang beberapa minggu yang lalu, para maba memang dikumpulkan oleh senior untuk diberi arahan dalam ospek atau orientasi pengenalan kampus. Mereka dibekali daftar barang dan apa-apa yang harus mereka kenakan selama masa ospek berlangsung, baik ospek universitas, fakultas, atau jurusan. Kebetulan, ospek universitas ini masihlah aman, Rara hanya harus mengenakan setelan hitam putih, sepatu hitam, dan mengikat rambutnya dengan tali rafia warna-warni. Beruntung, hari pertamanya itu tidak diwajibkan memakai topi bola atau papan nama menggunakan kardus raksasa. Bisa dikira orang gila kalau Rara berpakaian seperti itu dan berjalan di sepanjang Jalan Ki Hajar Dewantara.

    "Rara!"

   Rara menoleh, matanya berbinar melihat teman sekelompoknya melambaikan tangan dari depan rektorat. Namanya Azizah, gadis manis berpipi tembam dengan rona wajah kemerah-merahan. Gadis yang mengenakan jilbab yang nyaris menutup seluruh bagian atas tubuhnya itu tersenyum lebar menyambut Rara.

   "Hai!" sapa Rara.

   "Hai. Yuk, ke audotorium. Tadi kuliat udah banyak yang ke sana. Vania sama Angelin juga. Kita harus cepet absen sebelum upacara."

   Saat maba dikumpulkan setelah pendaftaran tempo hari, Rara memang akrab dengan Azizah, Vania, dan Angelin. Awalnya, keempatnya sangat canggung, tetapi lama-kelamaan nyambung dan merasa sefrekuensi.

   Rara senang mendapat teman baru, bukan teman virtual lagi seperti saat pandemi. Meski teman virtualnya kelewat baik dan mengasyikkan, teman yang bisa Rara sentuh wujudnya pastilah jauh lebih menyenangkan untuk bertukar pikiran. Gadis yang selalu suka menjalin hubungan dengan orang lain itu tersenyum, merangkul bahu Azizah yang lebih pendek darinya dan berjalan bersama menuju auditorium.

   Sesampainya di sana, keduanya disambut beberapa senior yang merupakan panitia pelaksana ospek. Rara dan Azizah langsung disodori bolpoin dan lembaran kertas untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti kehadiran. Seorang perempuan yang mengenakan jas almamater dan kacamata bulat memberi arahan pada Rara dan Azizah untuk memasuki audotorium dan duduk berdasarkan kelompok besar yang telah dibagi tempo hari.

   Segera saja, tanpa membuang-buang waktu, Rara dan Azizah bergabung bersama Vania—perempuan berdarah Yogyakarta, Angelin—yang lahir di Surabaya, serta teman sekelompok mereka di barisan tengah.

   "Nggak nyasar, 'kan, Ra?" canda Vania.

   Rara tertawa renyah. "Enggaklah, deket juga. Jalan kaki langsung sampai."

   "Besok nebeng aku aja. Aku lewat gang kosanmu," tawar Angelin.

   Rara tersenyum, mengangguk kecil. "Makasih .... Coba liat besok, ya." Bukannya mau menolak tawaran baik Angelin. Namun, Rara hanya takut sewaktu-waktu dia kesiangan meski hal itu jarang terjadi, kecuali ketika tamu bulanannya datang. Dia tidak mau Angelin menunggu sampai terlambat jika hal itu terjadi.

   Keempatnya terlibat pembicaraan tentang banyak hal. Bersenda gurau bersama teman lainnya dari fakultas dan jurusan yang berbeda.

   "Lo anak Temanggung? Gue ada temen di sana. Waktu itu muncak ke Sindoro sama main di Posong. Kebetulan, ada temen sekelompok pecinta alam yang tinggal di daerah Parakan. Tahu Parakan, 'kan? Kalau sama rumah lo mananya?"

   Pertanyaan beruntun itu keluar dari bibir tebal seorang lelaki berkulit eksotis di belakang Rara. Lelaki yang memiliki lesung pipi itu tampak antusias ketika mengetahui Rara berasal dari Temanggung. "Iya, aku anak Temanggung. Kalau kamu pernah muncak ke Sindoro, artinya kamu pernah lewat daerahku. Deket kok sama Parakan, cuma naik dikit aja. Desa teratas sebelum Sendang sama Embung Bansari."

   "Ahhh, iya-iya tahu. Ntar kapan-kapan kalau gue ke sana lagi, jangan lupa diampirin ya."

   Rara tertawa renyah.

   "Malah ketawa, serius ini."

   "Iyaaa."

   "Haduh," lelaki itu menepuk jidat melupakan sesuatu, "terlalu kepo sampai lupa kenalan. Gue Brama. Lahir di Lampung, tinggal di Bandung." Brama memperkenalkan diri.

   Rara mengulum senyum geli. Meski sebenarnya ragu membalas uluran tangan Brama, tetapi pada akhirnya Rara membalasnya. "Alesha Amaranggana. Panggil aja Rara. Asal-"

   "Asal Temanggung." Brama mendahului, nyengir lebar memperlihatkan gigi gingsulnya dan melepaskan jabatan tangan mereka.

   Tepat saat itu, seorang pria berkepala tiga menaiki panggung auditorium. Pria itu adalah seorang MC acara ospek universitas pada hari ini. Sang MC memberi arahan supaya semua maba meninggalkan auditorium dan melaksanakan upacara PPKMB. Saat ini, ospek lebih dikenal dengan nama PPKMB, Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru. Meski tetap, para mahasiswa atau maba lebih sering menyebutnya ospek.

   Mendengar instruksi itu—yang sebenarnya telah tercantum di jadwal—semuanya bubar, meninggalkan auditorium dan berbaris rapi di lapangan untuk melaksanakan upacara pembukaan sekaligus upacara bendera. Pagi itu, di saat matahari mulai meninggi di jam delapan pagi, lapangan Universitas Sebelas Maret penuh oleh maba dan kating yang mengikuti PKKMB susulan atau sebut saja bahasa gaulnya ospek.

•••

    "Mahasiswa Indonesia bisa memanfaatkan program-program kampus merdeka, seperti magang di perusahaan atau organisasi sosial dunia, melakukan studi independen, membangun desa, melakukan riset, mengerjakan proyek kemanusiaan, merancang dan merintis wirausaha, melakukan pertukaran mahasiswa di luar atau dalam negeri, atau mengajar di SD-SMP melalui program kampus mengajar."

    "Pengalaman itu akan menjadi kendaraan dalam meraih mimpi masa depan. Kami telah berkomitmen tidak hanya memberikan kemerdekaan bagi mahasiswa, tapi menjamin keselamatan perjalanan kalian menggapai cita-cita."

    "Komitmen kami untuk memerdekakan pendidikan tinggi tidak akan membuahkan hasil tanpa dukungan dan partisipasi teman-teman dalam program kampus merdeka. Manfaatkan masa kuliah kalian untuk mengenal diri kalian, membangun jembatan untuk meraih mimpi, dan berkontribusi untuk negeri. Saya percaya bahwa kemerdekaan adalah napas pemuda, napas para mahasiswa, generasi penerus bangsa."

    "Mari, terus bergerak serentak wujudkan merdeka belajar!"

    Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim memberikan pesan bagi mahasiswa baru Universitas Sebelas Maret untuk memaksimalkan program kampus merdeka saat memberikan sambutan dalam PKKMB. Pesan dan sambutan Nadiem mendapat respon positif dengan munculnya semangat para maba yang sadar—bahwa program studi dan pengalaman memiliki peranan penting sebagai jembatan dalam meraih cita-cita.

    Beberapa sesi acara telah selesai dijalani. Dari mulai pembukaan, sambutan, penyampaian visi misi, perkenalan pimpinan, dosen, jurusan, bahkan penjabaran program studi, hingga saatnya pengenalan lembaga-lembaga kemahasiswaaan kampus pun dimulai.

   "Tadi prodi terakhir S-1 FKIP apa?"

  "Pengetahuan Ilmu Pendidikan Alam."

   Rara yang baru selesai mencatat poin-poin penting di buku catatannya mengangguk, mengucapkan terima kasih pada Azizah dan kembali mengalihkan pandangan ke panggung auditorium.

    Mata bulat dengan bulu mata lentik gadis itu membesar tatkala melihat sosok yang dia kenali beberapa hari ini berdiri di panggung dengan beberapa senior yang serentak mengenakan jas almamater.

   "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Salam lintas agama."

    "Pertama-tama, selamat datang dan selamat bergabung mahasiswa baru sebagai profetik-profetik muda di Universitas Sebelas Maret Surakarta, dengan kerja keras dan perjuangan sehingga kalian mampu menjadi seorang pemenang dan mengalahkan harapan banyak orang, lalu menjadi wakil-wakil harapan di kampus, ditempa dalam kawah candradimuka untuk masa depan peradaban sebuah bangsa sebagai Mahasiswa."

    "Soekarno pernah berkata, 'Beri aku seribu orang tua maka akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda maka akan kugoncangkan dunia.' Pemuda punya peran yang besar di setiap sejarah perubahan yang besar, sebagai mahasiswa itu punya ciri khas dalam berpikir secara murni serta nikmatnya idealisme dalam ruh pergerakan mahasiswa."

     "Jadilah mahasiswa yang tidak condong sebelah, baik akademik maupun nonakademik. Prestasi, IPK itu penting, tapi softskill dari organisasi kampus itu juga sangat penting sebagai kolaborasi yang cantik."

   "Saya, Arbian Arshaka Ndaru, Ketua Senat Mahasiswa UNS, izinkan saya menjelaskan secara sederhana bagaimana kelompok penggerak ini bergerak ...."

Ketua Senat ....

   Rara terkejut. Namun, yang lebih membuatnya terkejut adalah nama depan lelaki itu.

Arbian ....

   Jangan sepelekan daya ingat manusia yang mudah mengingat momen dan hal penting dalam hidup mereka. Dan Rara, dia adalah salah satunya. Gadis itu jelas ingat, Arbian Arshaka Ndaru, itu adalah nama teman masa kecilnya di Bogor tiga belas tahun yang lalu. Itu artinya ....

   Shaka adalah sahabat masa kecil Rara. Anak dari sahabat orang tuanya di Bogor yang memiliki seambrek kisah bersamanya.

   "Arbi ...." Rara menatap nanar ke atas panggung, masih tidak mempercayai apa yang dia dengar dan apa yang dia lihat. Karena ketika matanya terus meneliti garis wajah Shaka, wajah itu lama-kelamaan menyerupai Arbi.

    Rara menelan ludah kasar, saat itulah tatapannya bertemu dengan Shaka. Arbian Arshaka Ndaru. Orang yang sama sekali tidak pernah terbayang di pikiran Rara akan dipertemukan kembali dengannya.

   "Arbiii, kemarin kening Rara berdarah, kena asbak waktu Ayah marah."

  "Oh, ya? Mana yang sakit?"

   "Nggak ada. Cuma perasaan Rara aja yang sedih."

   "...."

    "Arbiii, main dokter-dokteran, yuk?"

   "Emang kamu punya mainannya, Ra?"

   "Enggak punya. Pakai alat pura-pura aja. Aku dokternya. Kamu pasiennya, ya, oke?"

   "...."

  
   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro