Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Surakarta

"Setiap anak yang lahir digiring oleh takdir. Mereka tidak bisa memilih; lahir menjadi apa, dari rahim siapa. Semua tercatat dalam perjanjian, tertulis di lauhulmahfuz sebelum menjadi roh."

•••

    Surakarta, sebuah kota besar di Provinsi Jawa Tengah di mana arti nama Sura adalah keberanian dan Karta adalah sempurna atau penuh. Kota ini lebih dikenal dengan nama "Solo" atau "Sala" yang merupakan nama desa tempat Sultan Pakubuwana II mendirikan istana baru setelah terjadinya perang suksesi Mataram di Kartasura. Nama "Surakarta" sekarang dipakai sebagai nama administrasi yang mulai dipakai ketika Kasunanan didirikan sebagai kelanjutan monarki Kartasura.

    Dulu, saat masih sekolah dasar, Rara pernah pergi ke sana. Waktu itu usianya sebelas tahun. Bersama Sugeng—kakeknya, Bu Ning, dan suami Bu Ning, Rara pergi ke Surakarta untuk mewakili Temanggung dalam lomba melukis LCSP atau Lomba Cipta Seni Pelajar tingkat Provinsi Jawa Tengah yang diselenggarakan di Hotel Best Western Solo Baru.

    Itu pertama kalinya Rara ke Surakarta, lebih tepatnya Solo Baru dan menginap di hotel bersama teman-teman barunya. Ada Ratih anak Boyolali yang mengikuti lomba melukis mewakili kabupatennya dan Sekar anak Tegal yang mewakili Tegal dalam lomba baca puisi.

    Rasanya sangat cepat. Rara tidak sempat menanyakan lebih jauh selain nama dan tempat tinggal mereka karena LCSP berlangsung kilat.

    Pukul delapan pagi Rara berangkat dari Temanggung ke Solo Baru yang merupakan kota satelit penunjang Surakarta. Sebelum benar-benar berangkat, Rara mengikuti pembinaan di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Temanggung yang terletak di Jalan Pahlawan No.100, kendalsari, Purworejo, Kecamatan Temanggung bersama anak-anak lain yang hendak berangkat ke Solo dan Semarang—tempat lain pelaksanaan LCSP selain Solo Baru.

    Dikarenakan kemacetan dan linglungnya suami Bu Ning—guru pembina Rara saat lomba—keempatnya harus menghabiskan banyak waktu di jalan karena sempat tersesat sampai memutar arah berkali-kali. Keempatnya tiba di hotel pukul dua siang. Rara benar-benar tidak punya banyak waktu karena setelah daftar ulang, cek in, berberes, dan makan siang, malamnya dia langsung melaksanakan lomba yang dibuat menjadi dua sesi. Sesi pertama sekitar satu setengah jam setelah maghrib dan sesi kedua pada pagi hari pukul tujuh dengan durasi waktu melukis sama seperti malamnya.

   Semua berjalan singkat. Rara juga harus melukis kilat ketika hanya diberi waktu tiga jam keseluruhan untuk menghasilkan lukisan terbaiknya kala itu. Namun, bagi Rara semua sangat memorable. Perjuangannya di Solo Baru adalah perlombaan yang paling membanggakan baginya sejak masih TK. Karena di sana, di hadapan orang-orang dari berbagai kabupaten dalam ballroom hotel, Rara bisa membawa piala kejuaaran. Meski hanya juara tiga, itu adalah hal yang luar biasa karena Rara bisa membanggakan Widodo—guru lukisnya, guru SD-nya, kepala Dinas Pendidikan Temanggung serta para staf, bahkan Bupati Temanggung dan kakek-neneknya yang selalu mendukung Rara melukis sejak kecil. Selain mereka, Rara juga bisa membuktikan pada ayah dan ibunya kalau dia bisa berprestasi, bukan hanya seorang anak penyakitan yang sejak kecil sering mengonsumsi obat-obatan.

    Rara tidak akan pernah melupakan momen itu. Tidak akan pernah, bahkan ketika anak SD yang sekarang tumbuh menjadi dewasa itu keluar dari dalam kereta, celingukan ke kanan dan ke kiri bingung memilih jalan karena ini adalah kali pertamanya Rara pergi ke tempat sejauh Surakarta sendirian. Apalagi, menaiki kereta jalur Temanggung-Surakarta yang baru saja selesai dibangun dan dioperasikan setahun lalu. Rara masih bingung dengan situasinya. Dia belum terbiasa.

   "Udah sampai, Nduk?"

   Panggilan telepon dari Yanti—ibu Rara—masuk setelah Rara menggeret koper keluar dari stasiun bersama penumpang lain. Semenjak Pandemi Covid-19 dua tahun yang lalu, semua transportasi umum dibatasi penumpangnya. Makanya, Rara bersyukur tidak kesulitan keluar dari dalam gerbong kereta api karena penumpang yang membeludak.

   "Udah, Bu. ini Rara udah keluar dari stasiun. Otw pesen taksi."

   "Ya udah hati-hati. Nanti kasih tahu aja alamat lengkapnya ke sopir taksi."

   Rara menggangguk seakan Yanti ada di hadapannya. "Siap, Bu."

   "Jangan nakal ya di sana. Inget salat, makan, belajar. Jangan kelayapan. Jangan pulang malem-malem kalau bukan acara kampus. Ibu nggak bisa ngawasin kamu 24 jam, jadi Ibu berharap kamu bisa bersikap dewasa dan nggak boros. Eling, ngeman awak."

   Rara menahan napas. Sejak dulu, tanpa ibunya pun Rara selalu memikirkan semua masalahnya sendiri. Mencoba bersikap dewasa adalah hal yang selalu dia lakukan bahkan ketika usianya masih belia. "Iya, Bu."

   "Ibu tutup ya teleponnya?"

   "Iya. Ibu jaga kesehatan, istirahat. Jangan forsir diri buat kerja terus. Nanti kalau Rara ada rezeki, uang bulanannya nggak perlu dikirim nggak apa. Buat adek aja."

   "Halah, iku urusan keri. Wis, fokus ke jalan. Lek ndang liren. Hati-hati, ya."

   "Iya, Bu. Salam buat orang rumah."

   "Iya, Nduk. Assalamualaikum."

   "Waalaikumsalam."

   Panggilan terputus. Rara menghela napas, segera memesan taksi melalui aplikasi online, dan memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Gadis yang mengenakan sweter merah muda dengan rambut dicepol asal itu celingukan lagi sebelum menggeret si koper bersamanya menuju halte.

   Mengingat betapa susahnya Rara meminta izin sekolah di UNS dan tinggal di kos-kosan, gadis itu merasa sangat bersyukur mendapati dirinya memijakkan kaki di Surakarta. Surakarta, kota yang masuk dalam daftar tempat tinggal masa depannya selain Yogyakarta dan Bali karena keindahan dan budayanya yang masih kental tak luntur dimakan waktu.

    Rara menarik sudut bibir ke atas melihat keramaian orang di depan mata, lalu-lalang kendaraan besi, becak dan delman yang parkir rapi, juga pohon perindang di sepanjang jalan yang tumbuh subur semenjak kebijakan pemerintah dua tahun lalu ketika pembangunan di Indonesia berjalan cepat ditunjang pertumbuhan teknologi yang melesat kilat. Bahkan, karena pembangunan itu sekarang Rara bisa melihat kereta gantung di atasnya yang disediakan untuk mengurangi beban penggunaan jalan raya bertransportasi, meski dengan kapasitas kereta yang minim dan rel yang tidak menjangkau lebih dari 15 km.

   "Permisi .... Mbak Rara, bukan?"

   Rara menurunkan pandang ketika sebuah taksi berwarna kuning berhenti tepat di depannya. Gadis itu mengulas senyum lebar dan mengangguk cepat. "Iya, Pak. Saya." Taksi pesanannya sudah datang.

   Sopir taksi yang melihat Rara membawa banyak barang bawaan turun, membantu Rara membawa barang-barang Rara yang berupa koper dan beberapa tas jinjing ke dalam bagasi. Terakhir, dia mempersilakan Rara memasuki taksi.

   "Matur suwun."

   Si Sopir yang sudah duduk manis di kursi kemudi dan menyalakan mesin tersenyum ramah, melirik Rara dari kaca spion bagian depan.

    Entah kenapa hatinya berbunga-bunga. Mungkin karena mendapati Rara yang menggunakan Bahasa Jawa Krama di era modern seperti saat ini. "Sami-sami."

•••

    Kos-kosan Bude Marni terletak di Jalan Antariksa kecamatan Jebres. Tepatnya di dalam gang besar dekat Universitas Sebelas Maret atau UNS.

    Kebetulan yang menyenangkan, setelah tahu dirinya diterima di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS, salah satu kamar yang ada di Kosan Pulau Kapuk milik Bude Marni kosong. Penghuninya pindah ke luar kota. Maka secepatnya Rara menyewa kamar itu.

    Bude Marni yang ternyata dulu mengenal Sugeng dengan senang hati memberikan kamar kos itu pada Rara ketika sebelumnya ada seorang Mahasiswi yang hendak menyewanya juga. Terdengar tidak adil. Namun, Bude Marni pun mencarikan kosan lain yang jaraknya hanya sepuluh langkah dari kosannya.

   "Tadi gimana ke sininya? Naik apa?"

    "Naik taksi, Bude."

   "Ndak nyasar, 'kan?"

    "Alhamdulillah nggak nyasar. Kemarin kan habis daftar ulang pernah ke sini, jadi pas masuk gang hafal jalan. Tapi dari stasiun ke sininya yang masih kodeng."

   "Biasa itu mah. Nanti kalau udah mondar-mandir dua kali lagi pasti hafal."

   "Hahaha. Iya, Bude."

    "Ini kamar kamu, ya."

   Bude Marni, wanita paruh baya yang memiliki seorang anak SMA itu menunjukkan sebuah kamar minimalis di lantai satu pada Rara. Isinya berupa kasur, meja belajar, dan sebuah lemari. Dekorasinya masih sama seperti terakhir kali ditinggalkan si Penghuni—dinding ber-wallpaper bunga sakura dengan karpet beludru berwarna crepe di bawahnya.

   "Mbak Arum cuma bawa pergi bajunya, sepatu, buku dan barang yang sekiranya penting. Yang lain kayak sprei, karpet, gorden, sama rak buku ditinggal. Kata dia sedekah buat penghuni baru. Karena yaaa sebagai anak kosan yang dulunya belum punya pekerjaan, dia tahu ribetnya pindahan dan banyaknya kebutuhan anak kos. Makanya ditinggal."

   Rara tersenyum senang. "Wahhh. Makasih, Bude."

   "Iyaaa. Nanti kamu bisa bilang sama dia. Orangnya mau ke sini ngambil berkas penting."

   "Iya, siap, Bude."

   "Oh, satu lagi. Kalau mau diganti, diganti aja. Nanti sprei dan lain-lain bisa kamu taruh di lemari bagian bawah kalau ndak dipakai. Ini bersih kok. Sebelum pindahan dia bersihin seisi kamar sampai dibongkar."

   "Iya, Bude. Tapi nggak perlu, sih. Bener kata Mbak Arumnya, ribet. Ini salah satu cara menghemat pengeluaran Rara." Rara nyengir lebar. Sudah sangat senang dia mendapatkan perabotan gratis. Artinya, Rara tidak perlu membawa barang lain selain baju, sepatu, dan buku dari Temanggung atau membeli baru.

   Bude Marni tertawa renyah, menepuk bahu Rara. "Ya udah. Kamu bersih-bersih dulu. Nanti sore seluruh penghuni kos bakal kumpul. Jam segini sih masih pada di luar. Ada yang kerja, ada yang sekolah."

   "Ada berapa orang, Bude?"

   "Enam sama kamu."

   "Ohhh, nggih."

   "Semoga betah, ya, Ra. Kalau ada apa-apa ke sebelah aja."

   "Inggih, Bude. Matur suwun sanget." Rara mengiyakan, mengucapkan banyak terima kasih lalu masuk ke kamar setelah Bude Marni pergi meninggalkannya.

     Rara menggeret koper ke pojokan, berdiri di tengah ruangan sambil mengamati sekitar. Kamarnya sudah bersih, tertata rapi lengkap dengan perabotan seperti tempat sampah, gantungan baju, bahkan beberapa rak buku, dan rak sepatu.

    Arum—wanita yang sebelumnya tinggal di kamar itu sangatlah baik. Rara harus berterima kasih setelah mengemasi barangnya nanti. Kebetulan, Arum akan mengambil berkas penting yang tertinggal, artinya Rara bisa bertemu dengan Arum.

   "Oke. Sekarang kamu harus mandi dan beresin semua ini."

    Rara melirik koper di pojokan, menghela napas panjang kemudian mulai mengeksekusi semuanya. Dia harus menyelesaikannya secepatnya. Karena nanti, Rara sudah mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan, berkenalan dengan seluruh penghuni Kos Pulau Kapuk yang merupakan kos-kosan putra-putri, serta menyiapkan diri untuk menjadi maba.

   Rara membuka koper sempurna. Tepat saat itu, sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.

Mas Erga
Udah sampai, Dek?

   Seulas senyum terbit di wajah Rara.

Udah, Mas.
Baru aja sampai.

  

   

  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro