Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

☼𝟷.𝟹

"Rin, kalau kau disuruh memilih masuk ke kandang buaya atau masuk ke kamdang macan, kau mau pilih mana?"

"Aniki kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Jawab saja."

"Kalau aku... lebih baik mati. Mau kekandang buaya atau macan, pasti nantinya akan mati. Jadi daripada harus merasakan sakit dan takut lebih baik langsung mati saja."

"Begitu ya..."

"Aniki hari ini aneh--"

"Rin, kau pulang lebih dulu. Aku mendadak ada urusan!"

Secepat kilat, Ran berlari diantara kerumunan. Mengabaikan sang adik yang terus menyerukan namanya.

Iris violet menangkap sesuatu yang menarik. Pemicu meningkatnya debaran jantung. Semoga matanya tak berdusta.

Melewati lalu lalang. Tak peduli dua-tiga orang yang ia tabrak hingga membuatnya di caci maki. Kaki terus melaju dengan tangan yang terulur tuk meraih segenggam [Hair color] yang bersinar memantulkan sinar mentari musim panas.

Dapat.

"Aw sakit!"

Senyum mengembang cerah sejalan cuaca hari ini. Tak sia-sia ia menerobos halayak. "Halo~"

"Haitani-san?!" Dara berbalik. Jelas kesal. "Apa yang kau lakukan?!"

"Menyapa?" Tidak langsung meloloskan helai rambut. Jemari jenjangnya memainkan helai demi helai yang sehalus sutra itu. "Kau sendiri bagaimana, kenapa berkeliaran saat jam sekolah?"

Manik violet mengamati lawan. Tangan yang dililit gips. Sebuah plaster luka menempel di pipi. Dan lutut yang tertutup perban. Seminggu lalu, dara masih utuh. Kenapa jadi seperti ini.

"Ini yang kau dapat pada hari pertama masuk sekolah?" belum jua satu pertanyaan dijawab. Ia memberikan pertanyaan lain. "Gadis-gadis itu?"

"Bukan Salah mereka sepenuhnya juga."

"Kau masih membela. Mau sok baik, huh."

"Kenyataannya memang begitu."

"Lalu kenapa malah berkeliaran seperti ini, bukannya pulang kerumah."

"Ada tempat yang harus ku kunjungi."

"Kemana?"

"Pemakaman."

———

Di depan pusara. Keduanya berdoa. Yang satu begitu khusyu dan satunya lagi sesekali mengintip ke arah hawa.

Cukup lama mereka memejamkan mata sambil menempelkan kedua tangan. Entah apa yang dilapalkan Ran. Tapi dara melantunkan doa-doa tulus dan kerinduan pada sang kakek.

Haitani Ran, memaksa untuk ikut. Entah apa motivasinya. Tak ingin berdebat panjang [Name] pasrah. Selama lelaki itu tidak mengganggu nya.

"Apa yang kau doakan sampai selama itu?" tanya Haitani.

"Haitani-san sendiri?"

"Aku hanya mengikutimu. Sudah mau pulang?"

"Aku masih mau disini."

"Kalau begitu, aku juga."

Berdiri berdampingan sempat tak ada topik sebelum akhirnya Ran menanyakan hal konyol. "[Name]-chan, kau tidak ingin mati?"

Sontak ia menoleh kesamping. Mulut sedikit terbuka. Belum siap memberikan jawaban.

"Bukankah orang-orang yang berada dibawah tekanan selalu berharap pada kematian."

"Ah begitu." ia kembali memandang pusara. Berbicara kematian didepan kematian. Menarik. "Dulu aku sempat berpikir begitu. Tapi, kalau dipikir-pikir itu percuma saja."

"Kenapa?"

"Apa yang kudapatkan ketika aku mati. Ketenangan? Itu juga berlaku untuk mereka yang merundungku. Mungkin mereka akan merasa bersalah dalam beberapa hari. Tapi setelahnya, mereka pasti tidak akan peduli lagi. Dan lambat laun aku terlupakan."

"Menarik."

"Lagipula, aku cukup pendendam. Mungkin sekarang memang tidak bisa. Tapi suatu hari, siapa yang tahu."

"Lalu untuk sekarang apa yang akan kau lakukan?"

"Tidak ada. Hanya diam menunggu."

"Tidak mau mencoba?"

"Haitani-san, apa menurutmu aku terlihat seperti orang yang pasrah saja saat dirundung?"

"Hm... Sepertinya tidak."

"Benar bukan. Aku sudah berusaha. Walau tidak ada hasil."

"Mereka hanya sekumpulan ikan kecil yang berkerumun."

"Ya, tapi dibelakang mereka ada Akito."

"Ah, pecundang yang waktu itu."

"Mungkin bagimu dia hanya pecundang. Tapi bagiku dia seperti gunung tinggi yang tak bisa ku lewati."

"Tidak mau mempertimbangkan tawaranku? Si pecundang itu bisa sekalian aku urus."

"Jujur, saat jatuh dari tangga aku sempat berpikir menerima tawaranmu. Tapi..." akhirnya ia menghadap adam. Saat itu ia sadar, bahwa lelaki didepannya begitu rupawan sekaligus eksentrik. "...memang seharusnya tidak usah."

"Kenapa?"

"Alasannya masih sama."

———

Dejavu.

Mereka saling merapatkan diri pada saru sama lain. Kaki bergetar hebat tak mampu menopang tubuh. Serempak, mereka terduduk diatas tanah. Tunduk pada kebengisan yang baru pertama kali mereka lihat.

Sementara si tokoh utama masih beraksi walau mangsanya sudah bersimbah darah bahkan kehilangan kesadaran.

Lebih bengis dari sebelumnya. Noda darah sampai meninggalkan jejak di oipi tirusnya. Kendati, senyum lebar tak kunjung lekang.

"Jadi, sekarang giliran para gadis-gadis?" kaki jangkungnya melangkah pada kerumanan gadis. Iris violet berkilat emosi. "Tenang saja, aku akan lebih lembut kok."

"Ku-kumohon... jangan sakiti kami!"

"Eh kenapa harus menurut?"

"Ka-kami akan melakukan apapun yang kau lakukan.... Ja-jadi kami mohon..."

"Kalai begitu, aku ingin kalian menari seperti orang gila ditengah jalan. Bagaimana?"

Mereka bergeming dengan tubuh bergetar.

"Hm... bagaimana kalau kalian berhenti menggangu [Name]-chan. Bukankah itu lebih mudah?"

Panik bercampur takut, mereka langsung mengiyakan tanpa syarat. Bahkan ketika Ran menyuruh mereka untuk berlutut meminta ampun dihadapan [Name] pun mereka menurut saja. Harga diri dibuang demi keselamatan.

Tergopoh-gopoh mereka lari. Walau hanya seorang diri, Haitani Ran masih tidak tertandingi dan begitu mengerikan.

"...haitani-san?"

"Ah, [Name]-chan, merasa puas?"

"Aku sudah bilang bukan tidak akan menerima tawaranmu. Jadi kenapa?"

"Karena aku terlanjur membantumu, bagaimana kalau aku ubah penawarannya?"

————



.

11 april 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro