Hiraeth ⸙ Riddle Rosehearts
“Banyak sekali buku yang akan kau pinjam, Ryochou.” Seorang gadis memecah keheningan diantara gesekan kertas-kertas yang bersuara. “Tak kusangka kau benar-benar memiliki hobi membaca.”
Si surai mencolok hanya tersenyum kecil menaggapi ucapan salah satu adik kelasnya, “Entahlah, mungkin karena didikan orang tuaku dulu.” Yang mendengar hanya tersenyum lebar dan kembali bergulat dengan tugasnya.
(name) membantu salah satu ketua dorm sekolah ini untuk mencari buku yang akan dipinjam, dan jumlahnya bukan hanya satu tetapi mendekati sepuluh. Apalagi buku-buku yang dipinjam itu tebalnya membuat siapa saja yang membaca akan bergidik ngeri. Tentu saja itu hanya berlaku bagi orang yang tidak suka membaca seperti (name) dan salah satu teman sekelasnya, kalau bagi ketua dormnya yang satu ini mungkin tidak.
“Bagiku itu salah satu pekerjaan yang menyebalkan,” (name) memanggut kesal melihat buku besar yang ia pegang ditutupnya sampul buku itu dengan kasar hingga menimbulkan bunyi, “membaca novel saja malas apalagi sejenis buku karya ilmiah seperti ini.”
Laki-laki itu terkekeh mendengar jawaban dari gadis dihadapannya, sesekali melirik untuk menatapnya yang tengah kesal karena tidak menemukan buku yang dicari.
Tangannya terus mencacat data-data buku yang akan dipinjam dan kemudian akan diserahkan kepada petugas perpustakaan. Percakapan terakhir, hening pun tercipta kembali.
Semburat sinar keemasan mulai menyorot masuk ke ruang perpustakaan melalui jendela besar, bayangan semakin memanjang seiring dengan pamitnya mentari mengakhiri hari yang tengah berjalan. Angin pun mulai terasa saat desirnya memasuki sela-sela ventilasi jendela, suara burung yang kembali pada sarangnya pun kian terdengar.
Orang tua mereka pulang dari perjalanan panjangnya, memberikan buah tangan pada penunggu rumah yang menanti. Tertawa bahagia anak-anaknya merungu saat menerimanya, hingga sampai pada indera pendengaran manusia. Menandakan berakhirnya musim semi dan mengawali musim panas tahun ini.
“Kau tidak pulang liburan musim panas nanti?” Riddle angkat bicara, mengentikan keheningan senja yang berisikan desir angin juga gesekan kertas yang bersentuhan.
Yang diajak bicara menoleh singkat, “Crowley belum menemukan cara agar aku pulang.” Begitu jawabnya.
Netra (e/c) miliknya masih memperhatikan tiap buku yang tersusun sampai pada akhrinya manik itu membola saat menemukan hal yang dia temukan.
Laki-laki dengan surai apel hanya mengangguk mengerti mendengar jawaban lawan bicaranya. Atensinya kembali menyibukkan diri pada buku-buku dihadapannya, sesekali ia membalikkan sebuah lembaran dan mencatat datanya.
“Semoga kau cepat pulang ke dunia asalmu.” Ujar laki-laki itu tanpa menatap (name) yang berada pada rak sebrang.
(name) sedikit menatap ke depan menghentikan euforia kecil pada hatinya, ia melihat laki-laki yang berada di hadapannya tengah serius bergulat dengan data-data buku perpustakaan. Senyumnya mengembang, sebuah doa terpanjatkan walau ia dan orang itu tidak begitu dekat.
Sesaat ia kembali menunduk melihat buku-buku yang akan dipinjam, “Ya, terima kasih, kuharap begitu.”
Tatapannya berubah sendu dikarenakan rindu yang tak kunjung pupus. Wajar saja, berlama-lama di dunia asing dengan sihir yang aneh membuatnya merindukan keseharian normalnya.
Laki-laki berasma Riddle mengalihkan atensinya lagi, menatap (name) dengan sorot matanya seperti seorang raja, namun jika ditelisik terdapat kekhawatiran yang bersembunyi pada iris hitam miliknya.
“Apa kau tidak suka berada didunia ini?”
Satu kalimat berhasil membuat (name) menghentikan semua pegerakannya, senyuman lebarnya berganti menjadi senyuman kecil yang biasa. Begitu pun dengan Riddle, ia menghentikan kegiatan menulisnya saat matanya menangkap sinyal tatapan teduh dan senyuman kecil (name).
“Tentu saja aku menyukainya, disini aku bisa melihat sihir secara langsung, dan kau tau? Itu sangat menakjubkan.” (name) tersenyum lebar dengan tangan yang memeluk sebuah buku tebal.
Riddle sedikit berdeham dan ikut tersenyum, “Syukurlah jika kau nyaman berada disini, kuharap tidak terjadi apa-apa sebelum kau kembali pada duniamu.”
“Ya lagipula bangunan usang itu sudah seperti rumahku sendiri, aku dan Grim juga sudah bersahabat dengan hantu-hantu disana walau terkadang mereka sama menyebalkannya.” Gadis itu berjalan sedikit kesamping hingga mereka kini benar-benar berhadapan, hanya rak buku menjulang tinggi berdiri diantara mereka. “Bagaimana denganmu?”
Tangan kecil yang memegang buku itu diulurkan melalui celah rak, tatapan netra (e/c) itu seakan berkata ‘aku menemukan bukunya.’ Riddle terdiam menatap buku yang gadis itu berikan, sampulnya kecoklatan dengan aksara bertinta emas yang mencantumkan judulnya. Tangannya menerima buku itu, namun kepalanya memikirkan ucapan yang (name) tanyakan.
“Ryochou, apa kau baik-baik saja?” (name) menatap Riddle, pikiran laki-laki dihadapannya itu mungkin telah melayang pada pikiran tak berujung.
Riddle menyudahi lamunannya, dan menatap gadis dihadapannya yang sudah melayangkan tatapan khawatir padanya. “Maaf, apa kau menanyakan sesuatu?”
gadis itu sedikit terkekeh pelan, “Tidak penting, hanya menanyakan ‘bagaimana dengan liburanmu nanti?’ bukankah itu sama dengan pertanyaannya tadi?”
Riddle terdiam, ternyata pertanyaan sesederhana itu bisa membuatnya membeku ditempat. Jujur saja ia tidak ingin pulang, Riddle tau betul jika ia pulang nanti pasti orang tuanya akan mengomelinya karena overblot nya beberapa waktu lalu, ia sudah terlalu nyaman berada disini. Apalagi tamparan keras yang dilayangkan salah satu adik kelasnya telah membuka hati Riddle membuatnya ingin melakukan banyak perbaikan, namun disini bukan rumahnya kan? Seharusnya ia kembali pulang pada keluarga Rosehearts, lantas mengapa perkara kepulangan saja ia harus berpikir keras diantara keraguannya?
“(name)....” ia membuka suara, membuat gadis itu mengalihkan atensinya pada laki-laki bersurai apel, “menurutmu rumah itu apa?”
Sang empunya nama mengedipkan matanya berkali-kali, alisnya ia naikkan membaca situasi yang sangat jarang ia hadiri. Sinar matahari mulai merendah hingga hampir tak ada, namun sebuah jawaban tak kunjung diberikan oleh gadis itu selang lima detik.
“Rumah?” (name) tampak berpikir, menelaah dan menentukan kata-kata yang pas untuk mendeskripsikan hal yang telah terlintas pada kepalanya.
“Ya,” Riddle meletakkan papan dan buku itu secara bertumpuk pada salah satu meja di dekat mereka, “terkadang aku tidak mengerti mengapa kau tidak merindukan rumahmu bahkan kau sangat mudah beradaptasi pada dunia baru mu yang bahkan baru saja kau kunjungi, dan kau juga sudah menganggap dorm tua itu sebagai rumahmu sendiri.”
Manik (e/c) miliknya menatap Riddle dengan garis bibir yang melengkung sempurna, ternyata hanya perkara rumah. Sejenak matanya terpejam menghirup aroma angin sore permulaan musim panas dan mengembuskannya pelan.
“Menurutmu?” (name) mentap lekat manik hitam milik Riddle dengan senyuman yang masih mengembang sempurna.
“Entahlah, rasanya aku tidak merindukan rumahku namun satu sisi aku juga tidak ingin pergi dari sini.”
“Mungkin memang begitu, karena pada kenyataannya ada dua rumah yang berbeda.”
Aku mungkin saja merindukan rumah ku didunia yang sebenarnya, namun siapa sangka memikirkan kepulanganku saja sudah membuatku ingin menjatuhkan air mata.
-fin-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro