32. Jangan Jadi Menyedihkan
Playlist : Sunjae – I'm Missing You
32. Jangan Jadi Menyedihkan
"Keluarga berantakan udah lebih dari cukup buat masalah lo, gausah lo tambahin dengan label sad boy. Ga lucu, bangsat!" –Thunder Dean Candrakusuma.
*
"Saya kecewa Rain." Itu ucapan Mr. Marcus ketika lelaki itu menghampiri Rain usai pertandingan selesai, hal yang sedikit banyak memenuhi pikiran Rain.
Kecewa. Sepanjang hidupnya, Rain terbiasa mengerjakan dan meraih hasil dengan baik. Jadi, kata itu terasa sangat asing, yang bahkan tidak pernah dikatakan kedua orangtuanya.
"Tidak. Saya bukan kecewa karena kamu cedera, tapi saya kecewa karena kamu terus saja melewatkan kesempatan kamu. Kamu memang banyak mencetak skor, tapi kamu sendiri pasti tahu permainan kamu sangat jauh dari biasanya. Pikiran kamu seperti tidak sendiri. Padahal kamu tahu ada Gerrad Green yang sedang menonton," kata Mr. Marcuss lagi sambil melirik ke arah penonton, membuat Rain mengikuti arah pandangannya dan menemukan sosok bule yang kontras dengan penonton lain.
"Tidak semua orang punya potensi sebesar kamu, Rain. Tidak semua orang juga punya kesempatan yang sama kayak kamu. Kamu mungkin tidak sadar, jika bakat dan tempat kamu sekarang ini jadi idaman banyak orang. Jangan disia-siakan." Mr. Marcuss menepuk-nepuk pundak Rain sebelum cowok itu sempat merespon. "Gini aja, saya kasih kamu PR. Tiga hari, saya mau kamu pikirkan seberapa serius kamu sama basket. Jadi kapten itu perlu tanggung jawab besar, Rain. Tidak hanya modal berbakat saja. Sekarang saya butuh keputusan kamu, ketegasan kamu—niat dan effort kamu untuk pertahankan posisi itu."
Ini menyebalkan. Padahal alasan awal yang membuat Rain memilih Basket dan menjadi kapten adalah Jeremia. Bukan sekali dua kali Papa Summer itu membangga-banggakan Winter yang menjadi kapten basket ketika sekolah—membuat Rain berpikir, jika dia menyukai Summer, maka standard minimal agar bisa diterima keluarga cewek itu adalah menjadi sepintar dan seberbakat Winter. Tapi, kenapa memikirkan ia akan tergantikan membuat Rain tidak rela?
Apa perasaan tidak rela ini hanya karena egonya yang tidak ingin digantikan? Karena ia takut Jeremia Airlangga akan menganggapnya remeh dan tidak cocok untuk Summer? Atau karena tanpa sadar—rasa sukanya pada basket, pada SIRIUS juga sudah sedalam itu?
Mungkin ketiganya benar. Karena mau diakui atau tidak, seiring waktu berlalu, kecintaan Rain pada basket juga ikut bertumbuh tanpa ia sadari. Tapi, tidak bisa dipungkiri, dibandingkan semuanya—Summer selalu menjadi penyebabnya melakukan sesuatu. Membuatnya berusaha menjadi yang terbaik dalam hal apa pun.
Sesuatu yang mungkin hanya ia rasakan sendiri.
"Dih. Dibanding dihukum, mending Summer pulang lah."
See? Cewek yang menjadi alasannya tidak bisa berkonsentrasi sampai cedera dan mendapatkan peringatan dari Mr. Marcuss, malah berniat beranjak hanya karena Rain merajuk—berkata ingin menghukumnya?
"No—don't move. Jangan pulang. Jangan kemana-mana." Rain makin kesal. Tapi, alih-alih membiarkan Summer beranjak, cowok itu menahan Summer—memeluknya dengan tangannya yang bebas, lalu menyandarkan dagunya pada bahu Summer. "Semarah-marahnya aku, aku tetap nggak akan pernah mau kita jauh." Itu perkataan jujur, sejujur jantung Rain yang berdegup cepat. Hal yang selalu terjadi tiap kali ia memeluk cewek ini. Bahkan, senyum Summer yang tersungging begitu cewek ini masuk sudah dapat menenangkan Rain. Alasan yang membuat Rain tidak ingin melihat wajah Summer dulu.
"Kalau gitu ya nggak usah hukum-hukum Summer."
Rain mengerucutkan bibir. "Makanya jangan suka mancing!"
"Summer pulang nih?" Ancaman telak yang membuat Rain mendengus, lalu melepas pelukan. Membiarkan Summer berbalik dengan senyum kemenangan. "Nah, pinter! Sekarang duduk yang bener. Makan terus minum obat, biar Summer temenin. Lagian bisa-bisanya cedera gini. Rain main basket apa berantem?" omel Summer lagi. Tapi, senyum cewek itu berganti dengan ringisan begitu menyentuh pelan tangan kiri Rain yang sudah dibalut.
"Ah!" Sebenarnya tidak sesakit itu. Rain hanya pura-pura meringis untuk memancing respon Summer.
Benar saja, cewek itu langsung menarik tangannya, menatapnya dengan mata ingin menangis. "Sakit?"
"Banget." Angguk Rain sambil mencebik, lalu sekali lagi—sebelah tangan Rain memeluk Summer. Kali ini ganti kening Rain yang menyandar di bahu cewek itu. "Jangan kemana-mana makanya."
Rain merasakan elusan Summer di belakang kepalanya, tapi hal yang lebih membuat dadanya berdesir hangat adalah debar jantung cewek itu. Rasanya seperti kedua jantung mereka berdetak dalam tempo yang sama.
"Enggak, kok. Summer nggak kemana-mana. Makanya duduk yang bener. Makan terus minum obat."
"Suapin."
"Dih, ngelunjak."
"Bodo amat. Aku sakit juga gara-gara kamu."
"Heh! Mana ada! Yang main basket Rain, yang disalahin Summer."
"Nggak denger. Salah kamu pokoknya."
Summer tertawa pelan, melepas pelukan lalu mendorong Rain agar duduk di ranjang. "Rain nyadar nggak sih, Rain itu jadi manja banget kalau sakit?"
"Cuma sama kamu kan?"
Summer tidak menjawab, hanya tersenyum kecil sambil menggeleng pelan. Lucu, tapi Rain sadar benar jika semua tingkah Summer akan selalu tampak lucu di matanya. Alasan yang membuat tatapan Rain tidak pernah lepas dari cewek ini.
Rain bahkan terus memperhatikan ketika Summer meletakkan meja lipat di atas ranjang, disusul nampan berisi makanan, lalu duduk di sampingnya.
"Makan. A—" Summer mengulurkan sendok pada Rain sambil membuka mulut, seakan-akan tengah menyuapi anak kecil.
Rain tidak bisa menahan senyum, bergegas menyambut suapan dari Summer.
"Tadi sebenernya sebelum tanding aku balik ke sekolah, mau nyamperin kamu. Tapi sebelum sampai, aku liat kamu bolos. Boncengan sama Thunder. Aku udah putar balik buat ngejar kamu, tapi aku kehilangan jejak. Sebenernya tadi kamu kemana?"
Entah dorongan apa yang membuat Rain tiba-tiba mengatakan ini, hal yang membuat Summer menghentikan suapannya, tampak terkejut.
"Itu, anu. Summer...." Summer tampak kesulitan menjawab, kilat takut juga tampak di matanya. Getaran pelan tampak di sendok yang Summer pegang, membuat Summer memilih menaruh sendoknya dan menunduk. "Maaf. Summer memang bolos sama Thunder."
"Summer. Aku bilang gini bukan buat denger kamu minta maaf, apalagi bikin kamu takut. Aku juga nggak ada niat buat kasih tahu Papa kamu." Rain meraih jemari cewek itu, berusaha meredakan getaran cewek itu. "Aku tanya karena aku khawatir. Kamu bolos, nggak bilang-bilang aku. Bolosnya juga sama cowok berengsek yang pernah nyakitin kamu."
"Maafin, Summer. Tapi Thunder sekarang baik kok."
Baik? Sialan. Pembelaan Summer untuk cowok itu membuat Rain sangat kesulitan untuk mengendalikan emosi—bertanya-tanya apa yang sudah dilakukan cowok itu untuk mencuci kepala Summer, bahkan sampai membuatnya membolos. Padahal setahu Rain, Summer tidak pernah seperti itu.
Namun, alih-alih menunjukkan kemarahannya pada Summer, Rain lebih memilih tersenyum.
"Oke, mungkin sekarang dia memang baik. Tapi lain kali, kalau kamu memang mau bolos, kamu tinggal ngajak aku. Paling nggak, kalau bareng aku, semisal ketahuan sama Papa kamu—aku bisa bantuin bikin alasan."
Summer langsung mendongak, menatap Rain tidak percaya. "Rain? Mau bolos?"
"Sekali-kali gapapa kan. Asal sama kamu," kekeh Rain sambil mengacak puncak kepala Summer. Mati-matian menahan diri untuk mengatakan; apa pun yang Summer inginkan, dia pasti akan melakukannya. Merasa itu terlalu berlebihan untuk dia ucapkan.
Sebenarnya masih banyak—sangat banyak yang ingin Rain tanyakan pada Summer. Kemana dia tadi? Apa yang dilakukannya bersama Thunder sampai harus membolos? Tapi, Rain menahan diri. Khawatir keingintahuannya membuat Summer tidak nyaman. Bukankah tadi saja Summer tampak ketakutan mendengarnya tahu ia membolos dengan Thunder?
"Summer, kamu bener-bener nggak pengen ikutan cheers lagi?" Karena itu, alih-alih membahas hal yang sudah berlalu, Rain lebih memilih membahas hal lain yang lebih penting.
Summer mengernyit. "Cheers? Nggak pengen. Rain ada apa tiba-tiba tanya?"
"Aku pengen banget kamu ikut lagi. Kayak pas SMP dulu. Jadi kita bisa latihan bareng, pulang bareng—ikut kompetisi bareng."
Summer tampak menggigit bibir bawah, lalu tersenyum. "Sekarang tetep bisa bareng kan? Nggak pake ikut cheers, Summer juga masih sering temenin Rain tanding."
"Rasanya beda aja. Beneran nggak bisa ya?"
Summer menggeleng. "Nggak bisa. Summer nggak pengen. Apalagi kaptennya Freya kan?"
"Kamu nggak perlu peduliin Freya. Aku bisa jamin dia nggak akn cari masalah lagi sama kamu. Ikut lagi ya? Demi aku." Rain serius dengan ucapannya, se-serius tatapan memohonnya sekarang.
Sayangnya, respons Summer hanya tertawa. "Apaan sih, Rain. Tumben banget."
Summer tampak akan menyuapinya lagi. Tapi, kali ini Rain menolak. Tatapannya tidak lepas, tetap memelas.
Kali ini kernyitan khawatir tampak di kening Summer. "Kenapa sih? Pasti ada masalah nih kalau Rain tiba-tiba gini. Sini cerita."
"Nggak ada masalah." Rain menggeleng, enggan membebani Summer dengan masalahnya. Rain juga sebenarnya tidak ingin Summer melakukan hal hanya karena keegoisannya—keegoisan untuk terus membuat cewek ini ada di tempat yang bisa ia lihat. Tapi, hanya hal itu yang bisa membuat Rain tenang. "Kamu pikirin dulu ya? Buat aku. Please...," mohon Rain lagi.
"Oke. Summer pikirin. Sekarang makan dulu."
"Beneran dipikir?"
"Iya Rainn...."
"Harus dipikirin bener-bener."
"Iya, tuan muda. Iya."
"Mikirnya harus sambil mikirin aku."
"Iyaaaa."
"Kalau ada yang bikin kamu ragu, kasih tahu ak—"
"Stop!" Bukan hanya ucapan Summer, ucapan Rain juga terhenti karena telapak tangan Summer menutup mulut cowok itu. "Sekarang makan. Jangan ngomong terus! Summer pikirin kok. Janji!"
***
"Bego, ah! Ngapain sih bangsat!"
Thunder menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasa bodoh sendiri ketika apa yang ia katakan pada Summer tadi tiba-tiba melintas di kepala.
Goblok memang. Hanya karena Rain yang mengenal dan lebih dekat dengan cewek itu, bisa-bisanya ia berkata jika ia adalah second lead! Sok mau bertukar peran dengan tokoh utama pula. Memangnya dia hidup di mana? Novel? Wattpad?!
'Sadar, Thunder—sadar! Kenapa lo jadi goblok gini sih? Dari sekian banyak fans yang bisa lo pacarin, kenapa sukanya harus sama Summer coba? Udah jelas banget itu cewek suka siapa. Sukanya juga nggak main-main, sampai tremor cuma gara-gara Rain! Oke, mulai sekarang nggak usah bucin. Berhenti. Keluarga berantakan udah lebih dari cukup buat masalah lo, gausah lo tambahin dengan label sad boy. Ga lucu, bangsat!' batin Thunder pada dirinya sendiri.
Alih-alih terus larut dalam pikiran bodohnya, Thunder segera melintasi tiap bagian minimarket—mencari semua titipan dari squadnya yang tidak tahu malu. Nitip tanpa bayar. Thunder sudah terbiasa dengan itu.
Thunder meraih snack milik Icung, minuman titipan Joshua dan Juan—hal yang juga sengaja ia lakukan untuk mengalihkan isi kepalanya dari Summer lagi. Bukan karena Summer tidak penting lagi untuk dipikirkan, tapi memikirkan cewek itu selalu membuat Thunder meringis sendiri jika mengingat tingkah bodohnya tadi.
Akan tetapi, niat itu tidak bertahan lama begitu melihat kotak kuning bergambar Pikachu di salah satu rak minimarket. Thunder reflek menghampirinya, lalu mendapati jika kotak itu berisi mug—merchandise yang dijual untuk memperingati ulang tahun karakter itu.
Melihatnya membuat Thunder jadi mengingat Summer. Bukannya cewek bawel itu sangat suka Pikachu?
Thunder segera mengeluarkan ponselnya. Membuka Instagram dan mengirimkan foto mug itu pada Summer lewat direct message tanpa pikir panjang.
Thunder.dean.
Majikan kamu manggil 🤣
Belum ada balasan, apalagi Summer juga tidak tampak seperti orang yang selalu fokus pada ponselnya. Tapi, alih-alih segera meletakkan ponselnya, Thunder malah membuka profil Summer, melihat postingan foto terakhir dan membaca beberapa komentar dari ribuan komentar di sana.
Nct_lucid Calon BA cakep bener
Kurnia.agatha Like komen gue buat yang dukung Summer nerima tawaran kak Seph dong.
Daasanya_jaehyun Dih! Enek banget liat nih cewek. Keliatan banget pansosnya sama lord Thunder 🤮
Thunder mengernyit melihat komentar yang terakhir ia baca, kesal melihat ada yang mengirim hate comment pada Summer. Apalagi ketika dia menyadari bukan hanya ada satu hate comment. Sialan. Memangnya apa salah Summer pada mereka?
Lagi, tanpa berpikir panjang Thunder langsung membalas hate comment pertama yang ia temukan—mengingat komentar itu yang paling berada di atas.
Thunder.dean Pansos? Emang dia manjat sih. Tapi sayang gue yang dibuat manjat, bukan sosialnya. Mana gamau turun lagi 🙂
Thunder tahu, komentar seperti ini pasti akan membuat fansnya kesal, tapi Thunder tidak peduli.
TO BE CONTINUED.
SPAM HUJAN KALAU KAMU TETEP DI KAPAL SUMMER-RAIN!
SPAM BADAI KALAU KAMU LEBIH MILIH THUNDER AJA!
TULIS NAMA TOKOH YANG KAMU SUKA ^^
APA SCENE YANG PALING KAMU TUNGGU DI SUMMER RAIN?!
SPAM TOKOH YANG KAMU SAYANG BANGETTTTT
SPAM TOKOH YANG KAMU JUGA SAYANG BANGET, TAPI KAMU PENGEN DIA NGALAH AJA—SOALNYA KASIHAN SATUNYA WKWKWK
SPAM NEXT DI SINI ^^
Hola! Gimana kabar kamu hari ini??
Udah nungguin yaa?
Di cerita ini ada Rain yang jadiin Summer tujuan hidupnya. Rain sayang sama Summer—banget. Tanpa Summer, dunia Rain nggak berputar. Dunia Rain yang kita lihat sekarang emang terang benderang. Hal yang sengaja Rain bangun gitu—dengan kerja keras dia—karena rasa sayangnya ke Summer.
Di cerita ini ada Thunder juga. The bad boy with sad eyes. Kebanyakan dari kita mungkin mikir dunia dia lebih berwarna dari Rain. Tapi yang sebenarnya, dunia Thunder itu nggak seterang itu. Hal yang bikin dunia Thunder kelihatan berwarna, itu kerena dia udah tahu dan terlatih buat survive di dunianya yang gelap, even dia sendirian. Tapi, habis itu Summer datang—kasih dunia Thunder warna. Warna terang yang nggak bisa Thunder lepas gitu aja.
Dy itu bingung, tau nggaakk. Tiap kali nulis scene Summer Rain, Dy jadi suka Rain. Tapi, tiap liat Thunder gimana—Dy pengen Summer bisa bahagiain dia :') Aku kudu ottoke?
Menurut kalian, siapa yang lebih cocok bareng Summer?
Dy tunggu jawabannya! Dy juga tunggu 2K votes + 2K komen buat next part XD
See you soon!
Sayang kalian ^^
With Love,
Dy Putina.
Istri Sah S.coups.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro