27. Musim Dingin Yang Tidak Dikenal
Playlist : Last Child – Tak Pernah Ternilai
27. Musim Dingin Yang Tidak Dikenal
"Yang berhak dan bisa buat kesal adek gue, cuma gue. Yang lain jangan coba-coba. Lawan gue dulu kalau mau," –Winter Archie Airlangga.
*
"Kesambet lo tiba-tiba nelpon gue?"
"Summer masuk BK, kasus bully. Udah aku beresin ke kepala sekolah. Jadi hukumannya nggak bakal berat."
"Terus? Hubungannya sama laporan ke gue?"
"Om Jeremia terlanjur di panggil."
"...."
"Itu udah di luar kuasaku, tapi Kak Winter. Tolong, sekali ini aja bantuin Summer. Aku yakin Summer nggak salah."
"Bacot!" Jancok! Anak anjing!
Winter Archie Airlangga dengan cepat memutuskan sambungan telepon Rain, menahan diri untuk tidak mengumpati cowok itu dengan segala makian yang dia punya. Anjing memang! Si cowok bau kencur itu bahkan tidak tahu apa-apa, tapi bisa-bisanya ia bersikap sok tahu segalanya!
Secepat Winter memutuskan panggilannya, secepat pula lelaki itu bangkit berdiri dari kursi meja kerja kebesarannya, memakai jas yang disampirkan di sandaran kursi, lalu berjalan cepat keluar dari ruang kerja.
Sandra, sekretaris Winter yang meja kerjanya berada tepat di depan ruangan lelaki itu berdiri dengan sigap begitu lelaki itu mendekat.
"Pertemuan dengan klien selanjutnya jam berapa?"
"Dua puluh menit dari sekarang, Pak Winter," jawab perempuan berusia awal dua puluh tahunan itu sopan. Sesopan pakaiannya sekarang; blouse sifon putih panjang tidak ketat dan rok midi di bawah lutut. Syarat mutlak jika ia ingin terus menjadi bawahan Winter tanpa dipecat seperti sekretaris-sekretaris terdahulu.
"Jadwalkan semuanya menjadi dua jam dari sekarang."
"Ta—tapi Pak Winter. Hari ini Anda memiliki janji dengan—"
"Mengerti?" Winter yang baru saja melirik jam Rolexnya menatap sang sekretaris dengan tatapan dingin, tak terbantahkan. Nada suaranya juga penuh penekanan.
Sandra tidak punya pilihan lain selain mengangguk patuh.
"Baik, Pak. Saya mengerti," ucap perempuan itu. Pilihan tepat, karena setelah Rain—Winter tidak merasa bisa sanggup mempertahankan kesabarannya lagi. Apalagi Winter juga sudah mati-matian menyembunyikan gejolak emosinya ketika Rain memberitahu masalah Summer.
"Tolong, sekali ini aja bantuin Summer."
Ha! Winter baru saja memasuki elevator ketika otaknya memutar ucapan Rain lagi.
Konyol. Winter bahkan sampai tidak tahu harus marah atau tertawa mengingat ucapan cowok itu. 'Sekali ini saja' katanya? Si berengsek itu seakan mengatakan Winter tidak pernah melakukan apa pun untuk Summer, tidak pernah peduli, bahkan masa bodoh ketika adiknya sakit.
Anjing! Anak tunggal sialan seperti Rain tahu apa? Cecunguk itu tidak akan pernah mengerti rasanya memiliki adik, sebesar apa kasih sayang yang kakak lelaki miliki pada adiknya—hingga apa saja yang bisa Winter lakukan untuk Summer.
Tidak ada yang tahu, bahkan Summer sekalipun.
Summer tidak tahu bagaimana Winter berusaha membereskan semua masalah-masalah Summer selama ini agar tidak sampai ke Jeremia.
Summer tidak tahu alasan Winter mau bolak-balik Jakarta-Surabaya hanya untuk melihatnya tumbuh.
Summer tidak tahu, bagaimana Winter mondar-mandir di dekat kamar Summer tiap adiknya itu sakit.
Summer juga tidak tahu, betapa beratnya bagi Winter melepaskan mimpinya sendiri untuk melanjutkan menjadi penerus firma Hukum keluarga mereka. Semuanya untuk Summer. Semua hal memuakkan ini Winter jalani agar adiknya bisa mengejar mimpinya sendiri.
Namun, lebih dari itu. Tidak ada yang tahu betapa berat rasanya menjadi seorang Kakak. Tidak ada yang tahu—Summer sekalipun. Tidak ada yang mau tahu.
***
"Sekarang Winter udah gede, udah punya adik. Mulai sekarang Winter yang harus jagain adiknya."
Summer lahir ketika Winter berusia sembilan tahun. Pada saat itu juga Winter pertama kali mendengar ucapan itu. Tanpa tahu, jika ucapan itu berisi tanggung jawab besar sebagai seorang Kakak.
Winter tidak tahu, apakah kelahiran Summer saat itu terlalu cepat, atau malah terlalu lambat hingga membuatnya tidak siap. sembilan tahun—sembilan tahun waktu yang dihabiskan Winter sebagai anak tunggal. Sebagai anak tunggal, tentunya perhatian Mama dan Papanya tercurahkan sepenuhnya pada Winter. Mereka berdua memang selalu sibuk, tapi keduanya selalu memiliki waktu untuk Winter dan selalu memberikan apa yang Winter mau.
Hingga, semua berubah setelah Summer lahir.
"Kakak main sendiri. Mama mau nidurin Summer, dulu."
"Buat persiapan kemahnya, Kakak siapin sendiri ya. Kan udah gede. Atau minta tolong Mbok Nurlam, Mama harus jagain adik."
"Maaf nggak bisa lihat pertandingan pertama Kakak. Adek Summer sakit, Mama harus jagain dia dulu."
"Kamu ambil raport kamu sendiri. Mama nggak bisa, Papa juga ada keperluan bisnis."
"Kakak, nanti ngerayain ulang tahunnya di rumah aja ya. Summer baru sembuh, kasian kalau harus keluar kota."
"Winter jagain adeknya! Jangan main sama temen-temennya sendiri aja!"
"Astaga, Winter! Kalau bawa adeknya main, itu dijaga! Masa adeknya sampai luka-luka gini?!"
"Kamu itu Kakak! Harus ngalah! Cuma masalah action figure doang, masa nggak mau pinjemin adeknya!"
Berubah. Semuanya benar-benar berubah begitu Summer lahir. Perhatian Mama dan Papa yang mulai hilang, Winter yang seketika itu juga dipaksa mandiri—juga kewajiban menjaga Summer yang tidak terelakkan.
Saat itu Winter sangat suka bermain. Di kompleks perumahan elite mereka Winter juga memiliki banyak teman. Tapi, kehadiran Summer kecil membuatnya tidak bisa bermain-main. Apalagi kedua orangtunya beranggapan, setelah memiliki adik, Winter tidak perlu teman lain lagi. Karena itu, sehabis pulang sekolah, Winter yang biasa menggunakan jam mainnya yang sedikit untuk bermain bersama teman-temannya, terpaksa harus menjaga Summer. Bermain dengan anak bayi yang tidak bisa mengerti permainannya. Setelah Summer sudah agak besar, semuanya juga tidak menjadi lebih baik—malah sebaliknya.
Karena Summer, Winter kerap kali dimarahi untuk hal yang mungkin tidak sepenuhnya salahnya.
Winter akan dimarahi, jika ia bermain keluar tanpa membawa Summer. Karena itu Winter mengajaknya ikut. Tapi, ketika Summer terjatuh karena tidak mendengar arahan Winter untuk tidak berlari—Winter lah yang dimarahi.
Ketika Summer memaksa meminjam action figurenya dan Winter tidak memberikannya, Summer akan menangis. Lagi-lagi, tangisan Summer membuat Winter dimarahi. Padahal, alasan Winter tidak mau meminjamkan itu karena action figure yang diminta Summer adalah hadiah dari Scarlett di ulang tahun Winter yang ke-8.
Semuanya mengganggu Winter. Sangat mengganggu sampai di titik dia merasa muak dan membenci Summer. Benar, benci. Winter tahu Summer tidak tahu apa-apa, tapi ketidaktahuan itu yang membuat Summer makin mengganggunya. Apalagi, semakin Summer besar, gadis kecil itu makin menempel pada Winter. Mengganggu. Seperti parasit. Belum lagi, tiap tangisan Summer dan kecelakaan kecil yang disebabkan Summer sendiri, terus saja membuat Winter dimarahi.
Semakin waktu berlalu, semakin bertumbuh kekesalan dan kemarahan Winter. Membuatnya dengan sadar mengucapkan kata-kata yang menyakiti Summer. Sengaja membuat gadis kecil itu juga merasakan rasa sakit yang ia rasakan.
"Jangan ikut-ikut terus. Ganggu tau!"
"Main sendiri dibilang. Jauh-jauh sana, kakak males main sama orang cengeng kaya kamu."
"Sana pulang! Nyusahin tahu nggak. Gara-gara kamu, Kakak nggak pernah bisa main sama temen-temen yang lain."
"Kenapa kamu mesti lahir sih?"
"Aku males punya adek cengeng kayak kamu."
Saat itu mungkin Summer masih terlalu polos—hingga gadis kecil belum terlalu mengerti. Paling buruk, Summer hanya akan menangis ketika Winter memarahinya, tapi setelah tangisannya mereda, Summer akan lupa. Lalu kembali menempel pada Winter seakan tidak pernah mendengar apa-apa, bahkan ketika Winter mengusirnya.
Tepat ketika Summer berumur empat tahun, Rain sekeluarga pindah ke sebelah rumah mereka. Seharusnya sejak itu Winter sudah bisa terbebas dari Summer, karena Rain selalu datang—mengajak Summer bermain. Tapi, ternyata Summer tetap saja terus menempel padanya. Kehadiran Rain seperti tidak berarti apa-apa karena dibanding bermain dengan cowok itu, Summer masih lebih suka mengikutinya kemana-mana. Summer benar-benar parasit.
Winter tidak tahu, jika semua pemikiran dan perlakuannya pada Summer akan ia sesali ketika umur gadis itu menginjak lima tahun.
Saat itu ulang tahun Rain, ketika keluarga Ganendra mengajak keluarga Airlangga berlibur bersama di villa keluarga cowok itu.
Seperti biasa, Summer terus saja menempel pada Winter seperti lintah. Mengikutinya kemanapun, bahkan mengabaikan Rain yang terus mengekor untuk mengajak cewek itu bermain—bahkan ketika Winter dengan terang-terangan mengusirnya karena yang Winter ingin lakukan adalah naik ke rumah pohoh. Rumah pohon itu terlalu tinggi untuk anak seusia Summer, dan Winter yakin ia akan dimarahi jika membiarkan Summer ikut naik.
Akan tetapi, saat itu Summer terus saja memaksa.
"Jangan bilang-bilang Mama sama Papa, nanti aku kena marah. Jangan aneh-aneh juga biar nggak jatuh. Oke?"
Anggukan Summer membuat Winter yang sudah tidak sabar naik ke rumah pohon, akhirnya mengajak cewek itu ikut. Awalnya, Summer menurut, hanya duduk diam di dalam rumah pohon seperti arahan Winter. Tapi, ternyata tidak bertahan lama. Tepat ketika Winter mencoba naik ke atap rumah pohon itu, Summer menyusulnya.
"Kamu kenapa ikut-ikut ke sini?!" marah Winter saat itu.
"Summer mau nyusul Kak Winter."
"Ngapain! Ayo turun. Kalau kamu jatuh, aku yang dimarahin!"
"Nggak mau pokoknya! Summer mau sama kak Winter!"
"Nyusahin! Awas aja jatuh! Nggak bakal aku tolongin!"
Benar saja, tidak lama dari itu Summer terpeleset, nyaris terjatuh jika saja Winter tidak menangkap tangan gadis itu.
Saat itu, seharusnya Winter bisa menyelamatkan Summer. Seharusnya Winter bisa menarik Summer lebih cepat. Akan tetapi, sekelebat pertanyaan tiba-tiba muncul di pikiran Winter...
Seandainya Summer terjatuh dan mati, apakah ia bisa bebas lagi?
Apa jika sejak awal Summer tidak ada, apakah dia hidup Winter bisa bahagia?
"Kak Winter. Summer takut. Jangan dilepasin...."
Tidak—tidak bisa. Winter mana mungkin bisa setega itu. Apalagi ketika melihat nada beserta tatapan takut Summer begitu melihatnya. Seakan-akan gadis itu bisa membaca isi kepala Winter yang terdiam selama beberapa saat.
Hal nahas terjadi. Winter yang tersadar dari pikiran bodohnya sudah akan menaikkan Summer ketika pegangan mereka terlepas. Telapak tangan Winter yang berkeringat membuat pegangan itu tidak bisa bertahan lama.
Setelah itu, semua terjadi begitu cepat. Suara Summer yang terjatuh, tangisan gadis itu, teriakan Rain, sampai tangisan Mama ketika berlari menghampiri adiknya—semua terjadi begitu cepat. Sementara Winter terus larut dalam keterkejutan.
Summer harus menjalani operasi karena tangannya patah, dan sembari menunggu, Winter terus mendapat amukan Jeremia. Lewat Rain, Papanya itu tau apa yang terjadi, dan karena Jeremia diam-diam mengawasi tingkah Winter pada Summer selama ini, sejak saat itu Jeremia melarang keras Winter untuk mendekati adiknya lagi.
Selesai. Semua harusnya berakhir seperti yang selama ini Winter mau.
Winter tidak perlu menjaga Summer seperti yang ia mau, Winter juga memiliki alasan untuk mengabaikan Summer tiap kali gadis itu menempel lagi. Tapi, ternyata rasanya tidak semenyenangkan yang Winter kira.
Larangan Jeremia untuk mendekati Summer lagi, entah kenapa malah membuat luka menganga di dada Winter. Winter menyesal—sangat.
Namun, rasa menyesal itu tidak sebanding dengan tekanan di dadanya tiap mengingat tangisan Summer ketika terjatuh. Tidak hanya berhenti di sana. Winter bahkan ikut merasa sakit hanya dengan mendengar tangis, erangan dan Summer lewat celah pintu rumah sakit yang terbuka sedikit.
Jangan menangis. Jangan sakit.
Summer mau apa? Cepat sembuh, nanti kita main lagi.
Maaf. Maaf untuk semuanya.
Kak Winter akan melakukan semuanya—melakukan segalanya. Apa pun yang Summer mau. Yang terpenting Summer tersenyum.
Sayangnya, semua itu tidak pernah bisa Winter katakan.
Larangan Jeremia dan Summer yang setelah itu enggan menatapnya, membuat semua ucapan itu hanya berhenti di ujung lidah Winter saja.
Lagipula, maafnya tidak akan mengubah apa-apa.
***
Perkataan Rain benar.
Elevator baru saja terbuka di lobby kantor ketika ia melihat punggung Papanya—Jeremia Airlangga beberapa langkah dari tempatnya. Lewat pintu kaca besar, Winter juga bisa melihat Mercedes Jeremia sudah menunggu di depan pintu masuk lobby.
"Papa!" Seharusnya Pak Jeremia, itu aturan tidak tertulis mereka ketika di kantor. Tapi, kepanikannya membuat Winter sudah tidak lagi memikirkan itu. Apalagi panggilannya juga membuat Jeremia berhenti dan menoleh. Winter bergegas, berjalan cepat menghampiri Papanya.
Dimas, asisten Jeremia yang usianya tidak terpaut jauh dari Winter ikut berhenti di belakang pria itu.
"Biar aku aja yang ke sekolah Summer," ucap Winter to the point begitu berhenti di depan Papanya. "Aku yang bakal ngurus semuanya."
"Kamu? Dari tingkah kamu sekarang, bukannya harusnya kamu udah tau betapa serius kasus adek kamu?"
"Anak SMA bikin masalah udah biasa." Winter membela, cowok itu sama sekali tidak ciut sekali pun berada di bawah tatapan mengintimidasi Jeremia. "Aku juga mau mastiin Papa nggak nekan Summer kayak Papa nekan aku dulu. Bukannya itu janji Papa kalau aku bisa nurutin semua yang Papa mau?"
"Semua?" Sebelah alis Jeremia naik, sementara nada mengejek jelas-jelas terselip dalam ucapan pria itu.
"Semuanya," ulang Winter. Sangat berat mengatakan itu, tapi dari tatapan mata Jeremia—Winter tahu pria itu tidak akan melepaskan kesempatan ini untuk membuat Winter mengikuti keinginan yang sebelum ini sempat Winter tolak. Sekarang juga, Winter paham jika dia harus melakukannya.
Sekali terjatuh dalam tekanan Jeremia, Summer pasti akan terus hidup seperti dirinya dulu. Harus menuruti setiap tuntutan Papa mereka. Winter memang kerapkali membanding-bandingkan kesulitan hidupnya dengan Summer, tapi bukan berarti dia ingin adiknya melalui kesulitan yang sama.
"Aku akan pikirin ulang tawaran Papa soal perjodohan." Winter berusaha keras agar suaranya tidak terdengar serak. Seakan terpaksa. Ini untuk Summer. "Papa mau aku tunangan sama Rosè kan?"
Benar, lebih baik begini. Cukup dirinya saja yang harus berusah-payah, adiknya tidak.
Setidaknya itu yang Winter pikirkan.
TO BE CONTINUED.
Bisa nggak bikin Dy senyum dengan kasih 2K votes dan 2K komentar di part ini??
Hello! It's me, Dy!
Ada yang mau kalian sampaiin ke Winter??
I'm sorry for super duper late update hehe. Belakangan ini lagi sok sibuk—eh, bukan sok sibuk. Maksudnya sibuk beneran sama skripsi yang untungnya, udah tinggal sedikit. Doain awal tahun Dy udah lulus ya, biar bisa fokus sama Summer Rain!
Oh ya. Dy sempet kaget juga lihat viewers Summer Rain yang naiknya ngadi-ngadi selama Dy nggak update huhu. Makasih udah mau mampir. Makasih juga buat kalian semua yang udah ngeracunin kakak-adek-temen-tetangga-crush-sampai nenek kalian Summer Rain! Sini peluk satu-satu ^^
Semoga next chapternya bisa Dy upload secepatnya ya! Sayang kalian!!
With Love,
Dy Putina.
Istri Sah Jeong Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro