24. Masih Kalah Telak
Playlist : Kahitna – Soulmate
24. Masih Kalah Telak
"Kalau di hatinya udah ada yang lain, lo mau usaha gimana juga percuma."
*
(Icung & Storm)
"Woi, Der! Lo ada beli Vespa?!" Icung masuk ke ruang berlatih NCT Lucid sambil memakan batagornya, melangkah menuju Thunder yang tengah melakukan streaming sekaligus push rank bersama Joan dengan raut tak percaya. "Dicariin kurirnya tuh di depan."
"Lima menit. Suruh tungguin bentar, habis ini gue selesai."
"Beneran?! Ngapain anjir beli begituan online?"
"Lagi gabut."
"Lo gabut kenapa belinya Vespa? PS 5 kek."
"Udah punya."
Icung mendengkus sarkas. "Yaudah, Tesla aja sekalian."
"Boleh juga. Nanti deh," ucap Thunder sambil terus bermain game. "Kasian gebetan gue kalau naik motor yang sekarang, boncengannya ketinggian."
"Cok!" Icung mengumpat, menganga. "Asli! Cuma karena itu? Kenapa temen Icung jadi bulol gini?!"
"Protes mulu sih, Cung. Mending diem. Dari pada kena omel Thunder lagi," kekeh Storm yang juga baru masuk ke ruang latihan, lalu Storm mencomot batagor Icung.
Mata Icung melebar. "Heh! Punya Icung!"
Storm hanya mengedikkan bahu, tersenyum jahil dan duduk di kursi gaming sebelah Thunder, membuat Icung hanya bisa mendengus dan kembali memakan batagornya lalu memilih berdiri di belakang Thunder—ikut menonton permainan cowok itu.
Thunder sendiri sedang berusaha menyelesaikan game dengan cepat, sesekali membaca komentar-komentar di kolom live streaming yang makin mengganas usai ucapannya tadi.
Anne.Chrisine : Pengen dibucinin juga. Kasih satu kayak gini napa ya Tuhaan T.T
Aeera.Leona : Lord Thunder mending fokus ML aja! Nggak usah mikirin cewek duluu
Keylaaaaaa : Kebanyakan bucin, awas aja ntar MPL kalah!
Stellabukanjeruk : Ceweknya yang kemarin nyempil pas live streaming bukan? Yang nggak ngerti game itu?
Dyah_ayu28 : Ih, kok sama dia sih. Sama aku aja, bisa diajakin mabar.
"@dyah_ayu28 Sama aku aja, bisa diajakin mabar. Nggak mau, maunya sama dia." Di tengah komentar yang terus bergulir, Thunder membaca salah satunya, lalu tersenyum geli. "Kan gue cari pacar, bukan temen push rank. Kalau cuma mabar, sama Icung juga bisa—sekalipun dia berisik. Eh, tapi gebetan gue juga suka berisik, tapi berisiknya lucu. Pokoknya nggak kayak Icung."
"Cuk! Bucin ya bucin aja! Ngapain bawa-bawa Icung!" teriak Icung sambil memukul pundak Thunder. Gantinya, Thunder malah mencomot batagor Icung sebelum meneruskan gamenya.
Icung reflek menepuk bahu Thunder lagi. "Cuk! Satu spesies ini orang sama Storm!"
"Apa yang gue suka dari Summer?" Mengabaikan protes Icung, Thunder lebih memilih membaca satu komentar yang menarik perhatiannya.
"Mata sama senyum dia." Ujung bibir Thunder terangkat, membentuk senyum tulus, seakan-akan ia tengah membayangkan wajah Summer ketika mengatakan ini. "Mata dia hangat, senyumnya juga. Gue udah berusaha singkirin dua hal itu dari kepala gue, tapi nggak pernah bisa. Rasanya malah makin kayak, gue pengen senyum sama tatapannya itu cuma boleh buat gue aja."
***
"Rain!"
"Ck! Napa dateng lagi sih nih sopir. Udah bagus juga berhenti."
"Kak Winter apaan sih! Ngajak ribut pagi-pagi." Senyum Summer yang awalnya merekah melihat Rain berjalan menuju ruang makan, langsung kandas mendengar gerutuan Winter. Dengan bibir mencebik, cewek itu bergegas bangkit dari duduknya, meraih tas—bersiap untuk berangkat sekolah.
"Yuk, Rain," ucap Summer masih dengan menatap Winter jengkel. Sepenuhnya mengabaikan tatapan kesal Winter pada Rain. Tidak ada Scarlett, wanita itu sudah berangkat lebih dulu. Jadi, tidak ada yang membela Summer dari kelakuan menyebalkan Winter.
Berbeda dengan Summer yang mengenakan seragam putih dengan bawahan kotak-kotak, Rain tampak tampan dengan hoodie abu-abu.
"Udah nggak ada yang ketinggalan?" Rain bertanya sembari mengambil alih tas Summer begitu cewek itu sampai di sebelahnya.
Summer menggeleng. "Nggak ada kok."
"Beneran? Pastiin lagi. Aku nanti masih nggak ada di sekolah, nggak bisa bantuin."
"Udah, Rain. Udah Summer periksa bolak-balik. Kemarin kan juga gitu."
Summer sama sekali tidak bermaksud mengungkit kejadian yang kemarin, tapi ucapannya membuat Rain menghentikan langkah, menatap Summer dengan raut menyesal. "Maaf ya," ucap cowok itu.
"Ih! Apaan sih maaf-maaf. Emangnya Rain salah apa?"
"Kemarin nggak usahain buat bareng kamu."
"Yaampun, gapapa Rain. Cuma gitu aja." Summer tersenyum, berharap itu bisa meringankan perasaan Rain. Sengaja menutupi rasa sesak di dadanya. Mungkin ini hanya pikiran Summer yang terlalu berlebihan, tetapi respon Rain yang seperti ini seakan menegaskan jika pada saat itu Rain memang sengaja memberi jarak di antara mereka berdua.
"Rain hari ini nggak berangkat bareng anak SIRIUS?" tanya Summer, sengaja mengalihkan pembicaraan sambil meneruskan langkah. Ia masih terlalu pengecut untuk mengatakan apa yang berkecamuk di kepalanya. Khawatir sikapnya yang seperti ini membuat Rain tidak nyaman dan menjauh.
"Nggak. Mereka aku suruh berangkat duluan. Aku mau berangkat bareng kamu." Rain mengikuti. Berjalan bersisian.
Summer mendongak, menatap Rain. "Ih, nggak usah gitu harusnya. Summer kan bisa berangkat bareng Pak Ilham."
"Oh. Jadi sekarang lebih suka bareng Pak Ilham dari pada aku?" timpal Rain, raut wajahnya merajuk.
"Bu—bukan gitu!"
"Terus?"
"Summer nggak mau ngerepotin Rain. Gitu!"
"Apaan sih. Nggak ada yang direpotin." Rain melingkarkan lengannya ke pundak Summer, menarik cewek itu mendekat. Degup jantung Summer seketika berpacu, entah karena ucapan Rain, atau karena jarak di antara mereka yang begitu dekat ketika Rain menundukkan wajah, lalu cowok itu tersenyum menggoda. "Anggap aja ini cara biar nggak kesaing sama Pika-pika."
"Rain!" Summer memukul lengan cowok itu. "Pika-pika terus! Ada dendam apa sih?"
Rain hanya terkekeh sambil mengacak puncak kepala Summer, lalu kembali merangkulnya selama berjalan keluar rumah.
Mobil Rain sudah terparkir tepat di depan teras kediaman Airlangga. Summer sudah akan memasuki pintu penumpang yang dibukakan Rain untuknya, saat suara klakson yang berbunyi nyaring mengejutkan mereka.
Sebuah Vespa GTS Racing Sixties putih berhenti tepat di sebelah Ferrari merah Rain. Lalu, si pengemudi membuka kaca helm open face-nya, menunjukkan lebih jelas wajah berkhias senyum jahil Thunder ketika melambai pada Summer.
"Thunder?" Nada suara Summer terdengar ragu-ragu, tatapannya tidak percaya. Tanpa Summer sadari, ia melepaskan rangkulan Rain, lalu berjalan mendekati cowok itu. "Ngapain di sini?"
"Kan udah janji mau jemput." Senyum jahil Thunder makin lebar. Lalu tangan cowok itu menepuk-nepuk boncengan di belakangnya. "Yuk, naik. Udah ganti motor nih, biar kamu nyaman."
"Ha? Gimana?" Pegangan Rain di lengannya menghentikan langkah Summer menuju Thunder. Summer ganti menoleh, menatap bingung cowok yang kini tengah menatap Thunder datar. "Nggak usah diladenin. Langsung naik ke mobil aja."
"Woy! Main ngatur-ngatur. Emang lo siapanya?!" Thunder memprotes, turun dari motor dan mengambil tempat di samping Summer.
Rain balas tersenyum meremehkan. "Penting buat lo tahu? Lo sendiri? Siapa Summer emang?!"
"Gebetannya. Kemarin masih belum jelas?"
"Emang Summer juga anggep gitu?"
"Ya lo tanya aja," ucap Thunder, senyumnya meremehkan.
Rain ganti menatap Summer meminta penjelasan.
"Ha? Gimana gimana?" Summer langsung gelagapan. Mendadak gugup menyadari jika dua cowok tinggi ini sudah menatapnya serius. Bingung harus merespon seperti apa. Summer belum sempat membatalkan kesepakatannya dengan Thunder, tapi dia juga sudah berjanji pada Rain jika di antara mereka berdua tidak akan ada orang lain.
"Loh, Thunder?" Baru kali ini suara Winter terdengar seperti penyelamat di telinga Summer. Summer menoleh, mendapati kakaknya baru saja berjalan melintasi pintu, lalu berhenti—menatap mereka bertiga bergantian, kemudian menyunggingkan senyum yang sangat jarang. "Pagi-pagi udah dateng aja. Mau ngapain?"
"Jemput gebetan, Bang. Nggak apa kan Bang, gue jadiin adek lo gebetan?"
"Jiah, gayanya. Kalau gini aja sok panggil gue abang."
Thunder tertawa. "Ya gimana lagi. Jadi, direstuin nggak nih?"
"Iya lah. Males gue adek gue cuma jalan sama sopir." Lalu, tatapan Winter beralih pada motor Thunder. "By the way sejak kapan lo doyan Vespa? Jangan bilang lo udah osteoporosis, nggak kuat naik Moge." Winter tertawa, hal yang mengejutkan Summer. Sejak kapan kakaknya ini bisa bercanda?
"Kasian Summer kalau pake Ducati, Bang. Sesayang-sayangnya gue sama motor, kan lebih sayang ke adek lo. Iya nggak, Sum?"
"Hah?!" Lagi-lagi Summer hanya bisa mengaga.
Akan tetapi, Winter tertawa, menghampiri Summer lalu mendorongnya ke arah Thunder. "Udah. Berangkat bareng gebetannya aja sana. Bosen aku lihat kamu berangkat sama sopir kurang kerjaan terus. Nitip adek gue ya, bro."
"Siap, Pak Boss!"
"Nggak ada. Summer tetep berangkat sama aku." Rain tidak membiarkannya, cowok itu kembali mencekal lengan Summer. "Sejak kapan Kak Winter sok ikut campur Summer berangkat sama siapa?"
"Lah! Kan bener. Dibilangin Summer gebetan gue juga, anjing!" timpal Thunder.
"Jangan halu."
"Udah, udah—stop!!" Summer menggangkat kedua telapak tangannya, merasa lelah dengan perdebatan di sekitarnya. Apalagi Summer merasa butuh waktu untuk meluruskan semua ini, khusunya pada Thunder. "Rain sama Thunder berangkat sendiri-sendiri aja. Biar adil!"
"Lah kok!"
"Mana bisa gitu!"
Thunder dan Rain berseru bersamaan, keduanya sama-sama melayangkan tatapan penuh protes—tapi, Summer tidak peduli. Lebih memilih menutup matanya sambil menghela napas panjang. "Biarin. Bodo! Summer mau berangkat sama Pak Ilham aja!"
"Nggak bisa. Pak Ilham bentar lagi mau aku suruh jemput klien di Bandara." Sayangnya, baru saja Summer memutuskan jalan keluar, ucapan Winter menenggelamkan rencananya. Summer sudah akan memprotes, menatap Winter kesal ketika cowok itu menambahkan dengan wajah datarnya. "Ikut mobil aku kalau mau. Nggak maksa sih, kalau nggak mau—"
"Yaudah sama Kak Winter," potong Summer cepat, secepat ia melangkah ke arah mobil Winter tanpa memedulikan panggilan Rain dan Thunder. Kali ini—hanya kali ini Summer memutuskan memilih Winter dibanding terjebak di antara perdebatan dua cowok itu.
Akan tetapi, tepat sebelum Summer menutup pintu, jelas-jelas ia mendengar nada cerah Winter pada Thunder. "Sering-sering ya, jemput adek gue," ucap Winter.
Tentu saja itu membuat Summer memberikan tatapan kesal pada kakaknya begitu Winter memasuki mobil. Bertanya-tanya kenapa Winter selalu senang tiap Summer mendapat masalah. Tapi, sialnya Winter hanya meresponnya dengan sebelah alis terangkat dan siulan tidak jelas.
TO BE CONTINUED.
___________________
HOPE YOU LIKE IT!
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN + SHARE KE TEMAN KALIAN YA!!
SPAM NEXT YANG BANYAK DI SINI!!
SPAM RAIN!
SPAM SUMMER!
SPAM THUNDER!
ENDINGNYA HARUS SAMA SIAPA NIH??!!
AN :
Maaf buat update yang lama dan part yang sedikit pendek hehe. Dua minggu belakangan ini Dy lagi sok sibuk banget. So, anggap ini pemanasan sebelum bener-bener balik lagi, ya!!
Apa komentar kamu soal part ini??
I dunno, makin ke sini, Dy jadi makin oleng ke Thunder tau. Bukan karena Rain nggak baik—enggak. Tapi dipikir-pikir punya pacar kayak Rain itu susah nggak sih? Udah cakep, pinter, kapten basket pula. Dia tuh tipe social butterfly, tipe murid yang banyak dikenal orang, yang di sekeliling dia juga tuh pasti ceweknya pada pinter sama cakep. Jadi berasanya jadi kayak; Summer itu satu dari sekian pilihan yang bisa dia ambil.
Sementara Thunder, dia itu gamers. Banyak yang ngefans juga, tapi dia kan Thunder galak—jadinya nyaris nggak ada yang berani deketin. Jadi, Summer di dia itu berasa jadi kayak yang satu-satunya.
Tapi kan Thunder itu bad boy. Mana ada motif juga. Nanti disakitin nangis.
Bener sih, selalu—dan akan selalu ada kemungkinan Summer sama Thunder berakhir nggak baik kalau udah barengan. Apalagi Thunder tipenya mirip kayak Summer, sama-sama keras. Nggak nutup kemungkinan kalau mereka jadian, ya mereka berantem terus kerjaannya.
So, kalau kalian jadi Summer, kalian lebih milih sama siapa?
RAIN
THUNDER
Kalau Dy, milih Lucas. Mayan bisa ngopi tiap nugas sambil nemenin dia kerja, habis itu asam lambungnya naik gara-gara kebanyakan kopi XD
See you in next part. Sayang kalian!!
Mau diupdate kapan??
With Love,
Dy Putina
Sayangnya Jaehyun.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro