Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Bittersweet

Playlist : WONWOO X MINGYU 'Bittersweet (feat. LeeHi)

21. Bittersweet

"Yang goyah, yang pertama jatuh."

***

'Kalo dilihat-lihat si maling susu pisang lucu juga kalau lagi ketawa gitu. Matanya emang suka ngilang kalo lagi ketawa apa gimana? Baru sadar anjir, dia punya eyes smile.'

Bel istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, tapi Thunder masih enggan beranjak dari bangkunya. Dengan tangan menyangga kepala, cowok itu tanpa sadar terus memperhatikan Summer yang melangkah menuju pintu kelas sambil bercanda dengan Sophie dan Eva.

'Dikit-dikit cemberut, dikit-dikit ketawa. Gampang banget kayaknya bikin emosi dia berubah. Asik banget buat digodain.'

"Woy, Der!" Seruan disertai tepukan Storm di pundaknya mengalihkan perhatian Thunder dari Summer. Entah sejak kapan cowok itu masuk ke kelas Thunder, lalu duduk di kursi depannya. "Ntar pulang sekolah jangan lupa! Sparing sama RRQ. Awas aja ngaret!"

Thunder menoleh, menatap cowok itu malas. "Iya, bangsat. Pulang sekolah gue langsung ke markas. Lo udah ingetin berapa kali?"

"Lo kan biasanya rada-rada."

"Kalau sekarang, nggak usah ada sparing, gimana-gimana gue tetep ke markas lah. Tau sendiri, sisa jam streaming gue bulan ini masih banyak." Thunder bangkit berdiri. "Yang lain di mana sekarang? Rooftop?" Selain ia dan Storm, memang tidak ada anggota NCT Lucid yang bersekolah di sini. Tapi, entah sejak kapan Storm mulai mengumpulkan teman-teman yang juga senang bermain mobile legend untuk bermain di rooftop sekolah.

"Hooh. Ini gue nyamperin lo biar barengan nyusul mereka."

"Yaudah yuk. Tapi gue mau beli minum dulu."

***

"Sumpah! Nggak nyangka efek Thunder bisa segede ini. Kamu jadi selebgram dadakan loh, Sum! Udah bisa open endors!" Mata Eva membulat begitu melihat layar ponselnya dan Summer bergantian. Pasalnya, followers Summer hari ini tiba-tiba sudah menyentuh 200K followers lebih. Jika Sophie tidak menceritakan apa yang terjadi, mungkin saja Eva sudah berpikir Summer membeli followers. "Kirain Thunder cuma cowok berandal yang ketolong muka cakep sama keluarganya aja. Ternyata punya prestasi juga dia. Misal kamu nggak jadi sama Rain, boleh lah sama dia. Asal dia nggak kasar lagi kayak awal masuk."

Sementara Eva sibuk melihat instagramnya, perhatian Summer malah terfokus pada komentar-komentar postingan yang ia kirim ke base menfess. Mereka berdua memang sedang duduk berdua di bangku kantin setelah Sophie pergi untuk menerima telpon Teye. Alasan lain yang membuat Summer makin gundah, mengingat sampai saat ini tidak ada pesan balasan dari Rain.

Dari puluhan komentar yang tertulis dipostingan menfessnya, Summer memang baru membaca beberapa, tapi dari sana ia sudah tahu lebih banyak jawaban kontra, bahkan menyarankannya untuk meninggalkan Rain. Padahal, yang ingin Summer tanyakan adalah cara agar hubungan mereka bisa kembali seperti dulu.

Summer menggeleng pelan, meletakkan ponselnya, sadar jika ia tidak bisa menemukan jawaban yang ia mau dari mereka.

"Eva, Summer pengen tanya...." Summer merangkul lengan Eva, berusaha mengambil perhatian cewek itu. Mencoba mencari jawaban lain lewat orang terdekatnya.

Eva menoleh, mengernyit. "Langsung tanya aja. Ngapain pake izin?"

"Anu, soalnya ini permasalahan temen Summer. Makanya jadi rada nggak enak Summer buat cerita. Tapi Summer pengen ngasih dia saran. Dia soalnya nggak tahu harus gimana." Summer beralasan, sementara kernyitan Eva makin dalam.

Untungnya, setelah itu kernyitan Eva hilang, tergantikan helaan panjang napas cewek itu. "Oke. Gimana? Sini aku dengerin."

"Jadi, temen Summer ini deket banget gitu sama cowok, mereka sahabatan. Kayak Rain sama Summer gitu. Nah, saking deketnya mereka, orang-orang jadi salah tanggap, anggap mereka pacaran. Cowoknya juga perhatian banget, nggak sadar kalau tingkahnya itu sering bikin temen Summer ini baper."

"Hm, terus?"

"Temen Summer itu jadi tanya ke itu cowok. Sebenarnya mereka itu apa? Jawaban si cowok ini, katanya mereka sahabat." Summer menjeda ucapan, berusaha menetralkan napas, sementara raut Eva berubah gelap. "Nggak ada yang salah sih sama jawabannya, Temen Summer juga udah ngira gitu. Tapi, habis itu temen Summer ini ngerasa si cowok ini jadi ngejauh. Yang biasanya balas pesan cepet, jadi nggak balas gitu. Temen Summer harus gimana ya?"

"Bilang ke temen kamu, tinggalin aja cowok kayak gitu!"

Summer menggeleng cepat. "Cowoknya nggak salah, Eva. Siapa tau pertanyaan temen Summer ini emang bikin dia nggak nyaman. Lagian dari awal kayaknya temen Summer yang baperan."

"Ya kalau gitu, sejak awal nggak seharusnya dia bikin baper. Aku tuh tau sendiri gimana sikap Rain ke kamu, dia juga kan yang selalu halangin cowok-cowok lain yang mau deket sama kamu! Ngeselin, anjir!"

Mata Summer sontak melebar. "Kok Rain?! Summer nggak pernah ngomong Rain!"

"Udah. Kamu tuh nggak bakat ngeles. Emangnya selain aku, Sophie sama Karina, kamu punya temen siapa lagi?" omel Eva, dengusannya seakan mengejek. Tapi, Summer hanya bisa memajukan bibir—sadar jika ucapan Eva memang benar. "Jadi, kamu beneran suka Rain nih?"

Summer menggeleng cepat. "Summer nggak—"

"Nggak usah berusaha nutup-nutupin, Summer. Emang kamu pikir kita ini temenan sejak kapan?" Ucapan disertai tatapan serius Eva membuat Summer bungkam, sekaligus menghapuskan niatnya untuk mengelak lagi. "Aku sama Sophie itu udah nyadar dari lama. Makanya sering tanya sama mancing-mancing kamu, tapi emang kamunya yang nggak pernah mau ngaku," ucap Eva sambil menggenggam tangan Summer. "Oke, balik lagi ke pertanyaan kamu. Kamu nggak salah kok tanya gitu ke Rain. Kalau karena itu Rain jadi ngejauh, ya udah—jauhin aja balik. Tinggalin. Nggak usah sahabat-sahabatan lagi. Biar si Rain itu tau rasa! Yang suka kamu itu banyak, cuma sering dihalang-halangin Rain aja. Iya kalau dia bisa kasih kepastian, ini kan nggak?"

"Siapa yang nggak ngasih kepastian? Temen lo?" Summer dan Eva nyaris terlonjak mendengar suara Thunder. Apalagi tiba-tiba saja cowok itu sudah mengambil tempat tepat di sebelah Summer—padahal Summer dan Eva sedang duduk di bangku anak basket yang memang sedang kosong karena semua penghuninya pergi. Begitupun dengan bangku cheers di belakang mereka.

Mata Summer melebar. "Thunder ngapain ke sini?!" Ralat, pertanyaan yang tepat harusnya : Kok kamu ikutan duduk di bangku anak basket?!

"Nyariin lo," ucap Thunder sambil mengulurkan selembar kertas ke depan Summer. "Tadi gue dipanggil guru, disuruh ngisi ini buat ekskul. Makanya mau nanya lo, lo ikutan yang mana?"

"Hubungannya apa? Ngapain nanya Summer?!"

"Ya biar bareng lah. Sekalian push rank. Kecuali lo ikut cheers, gue nggak jadi ikut."

Summer menganga. Push rank? Dia tidak begitu paham apa yang dimaksud cowok itu, tapi ia yakin pasti berhubungan dengan naik tingkatnya hubungan mereka. Cowok aneh ngeselin. Memangnya mereka sedekat itu sampai harus mengambil ekskul yang sama sekalipun bukan cheers?

"Bentar, Storm! Bentar!" Thunder berteriak pada seseorang jauh di belakang mereka.

Summer menoleh dan menemukan Storm—cowok XI IPA 1 sedang berdiri di dekat pintu kantin, tampak tidak sabar. Karena itu, Summer bergegas menatap Thunder lagi. "Summer nggak ikut apa-apa. Mending Thunder—"

"Summer ikut MUN Club. Masuk sana deh kalau emang minat. Summer biasanya suka bolos karena nggak ada temen," tukas Eva, memutus ucapan Summer.

Summer langsung menoleh, menatap Eva kesal. "Ih! Evaaa!"

Sayangnya, Eva malah membalasnya dengan senyum termanis yang cewek itu punya, kemudian menoleh pada Thunder yang tampak terkejut. "Your welcome, thanks to me later," kata Eva sebelum menyeruput minumnya.

"MUN CLUB?" Thunder menatap mereka berdua tidak percaya. "Beneran MUN Club nih? Prank doang kan? Siapa orang stress yang ikutan ekskul kayak gini? Emang pelajaran belum cukup bikin pusing?"

"Siapa yang Thunder bilang stress?!" Tatapan kesal Summer berganti pada cowok itu.

Thunder mengerjab. "Eh? Beneran?"

"Ya! Makanya ikut yang lain aja. Futsal, basket, panahan. Ah! Atau ikut kerohanian aja biar setan yang nempelin Thunder pada keluar!"

"Thank you, tapi gue ikut MUN Club aja." Thunder mengambil kertasnya dari Summer, mencentang kotak di bagian MUN Club dengan pulpen yang juga ia bawa, kemudian bangkit berdiri. Tersenyum jahil seakan mengabaikan tatapan tidak habis pikir Summer padanya.

"Katanya cuma orang stress yang ikut MUN Club?!"

"Nggak jadi, seru juga kok jadi diplomat-diplomatan gitu." Thunder bangkit berdiri, lalu membungkuk untuk mendekatkan wajah mereka. "Lagian, MUN Club juga cocok buat push rank. Siapa tahu lo jadi terpesona sama gue waktu liat gue pake setelan. Gue makin ganteng loh kalau pas lagi pake jas."

"Dih, apaan! Ngimpi aja terus!" gerutu Summer, yang hanya dibalas kerlingan nakal Thunder sebelum cowok itu menjauh. Wajah sebal Summer masih belum menghilang ketika menatap Eva yang kini malah tengah menatap ponsel sambil tersenyum-senyum sendiri.

"Eva ngapain kasih tau Thunder sih?!"

"Bagus kan? Harusnya kamu bilang makasih sama aku, soalnya kita bakal bisa lihat respon Rain kalau ada cowok yang terus nempel sama kamu. Apalagi kamu pasti tahu, Thunder bukan tipe cowok yang bakal takut lawan Rain." Eva tersenyum, menoleh sambil mengulurkan ponselnya pada Summer. Memperlihatkan sebuah menfess yang terkirim pada akun base Skyline. "Lihat nih. Nggak niat manasin kamu, tapi masa dia boleh deket sama cewek lain, tapi kamu nggak?"

Summer membaca postingan menfess itu, merasa terganggu. Sebenarnya Summer tahu, bisa jadi ini hanya rumor tidak berdasar seperti yang sudah-sudah, tapi tetap saja—mengetahui Rain dekat dengan Iris ketika Summer merasa hubungan mereka menjauh, membuatnya tidak nyaman.

Seakan bisa membaca ekspresi Summer, Eva menepuk-nepuk pundaknya. "Main itu harus fair. Ya nggak sih?" bujuk Eva lagi.

***

Dear, Rain.

Akhir-akhir ini hujan sering turun. Jangan lupa minum vitamin, jaga kesehatan, terus jangan sampai kehujanan. Minggu ini Rain kan lagi sibuk-sibuknya ikut pertandingan. Semangat! Mungkin Rain sudah bosan baca ini, tapi aku tetap mau bilang; Rain pasti bisa bawa Sirius menang!

Ini nggak penting, tapi aku lagi pengen bilang, sama seperti aku yang suka sama Rain, aku juga suka hujan. Bukan karena hujan bisa mendatangkan Pelangi, tanpa Pelangi pun, turunnya hujan, sudah buat aku bahagia.

Aku juga tidak pernah mencari Pelangi, karena menurutku, Pelangi itu tanda kalau hujan akan pergi. Jadi, tetap berdiri di tempat yang bisa aku lihat, ya, Rain. Aku nggak pengen kehilangan kamu.



Sudah berulang kali Summer berpikir untuk mengakhiri surat-surat tanpa nama dan susu kotak cokelat yang diam-diam ia berikan pada Rain, tapi hari ini—selepas bel pulang sekolah berbunyi ia kembali melakukannya lagi. Meletakkan surat yang semalam ia buat di rumah ke loker cowok itu diam-diam usai bel pulang sekolah berbunyi.

Summer tahu, ia sedang melakukan hal yang bodoh. Tapi, seberapa keras ia meyakinkan dirinya untuk berhenti—ia tetap tidak bisa melakukannya. Hanya surat-surat ini yang membuat Summer bebas mengatakan perasaannya pada Rain tanpa khawatir cowok itu akan menjauh. Summer juga tidak mungkin menghentikan surat-suratnya begitu saja setelah apa yang terjadi semalam, khawatir itu akan membuat Rain curiga.

Usai meletakkan surat itu, Summer bergegas pergi dari area loker, berniat untuk menunggu Pak Ilham yang akan mengantarkannya ke DBL Arena di gerbang depan. Eva dan Sophie sudah pergi lebih, Summer yang menyuruh mereka karena Pak Ilham sudah dekat.

Summer baru sampai di lobby ketika ponsel di genggamannya bergetar. Panggilan dari Rain. Untuk pertama kalinya dalam hari ini, cowok itu menghubunginya lagi. "Iya Rain?" Summer bergegas mengangkat panggilan Rain. Tidak bisa menutupi keceriaan dalam suaranya.

Suara Rain di sana terdengar di ujung sambungan. "Kamu kok belum keliatan? Udah aku siapin bangku di tribun depan."

"Iya, habis ini. Summer pasti dateng kok." Summer tersenyum. Sekalipun ia sangat ingin bertanya kenapa Rain tidak menghubunginya seharian, ia menahan pertanyaan itu—senang karena merasa mereka berdua sudah kembali biasa lagi. "Sekarang lagi nungguin Pak Ilham, habis ini Summer langsung ke DBL Arena."

"Aku tungguin pokoknya. Kalau sampai nggak dateng, terus Sirius kalah, berarti salah kamu."

Summer mengerucutkan bibir. "Lah, kok jadi salah Summer? Rain dong mainnya yang bener!"

"Makanya, dateng!"

"Iya-iya! Dibilangin Summer dateng."

Jeda beberapa saat, tidak ada jawaban dari Rain, membuat Summer mengira panggilan mereka sudah terputus. Tapi, ketika ia melihat layar ponselnya lagi, ternyata panggilan itu masih tersambung. "Rain?" panggil Summer lagi.

"Hari ini ngapain aja?" tanya Rain tiba-tiba.

Summer mengernyit. "Maksudnya? Di sekolah aja, terus pas istirahat ya cuma ke kantin bareng Sophie sama Eva."

"Bener? Nggak sama Thunder?"

"Ha? Gimana?"

"Pak Ilham belum dateng? Cepetan berangkat. Kalau kamu sampai nggak dateng awas aja. Aku ngambek," ucap cowok itu, tidak menanggapi ucapan Summer, sekaligus melupakan pertanyaan sebelumnya. Lalu, panggilan ditutup.

Summer mengerjab. Jantungnya berdebar keras. Mungkin ia salah, tapi nada suara dan tingkah Rain seperti sedang cemburu. Tidak—tidak mungkin. Summer menggeleng cepat, berusaha mengenyahkan pikiran ngawurnya, juga menghentikan jantung murahannya yang dengan bodohnya masih saja berdebar. Selalu, ia tetap saja salah mengartikan semua tingkah dan ucapan Rain, berpikir cowok itu juga memiliki rasa yang sama. Padahal jelas-jelas Rain sudah menggambar garis batas hubungan mereka dengan jelas ketika Summer bertanya.

'Summer! Sadar diri dong. Jangan sampai Rain jadi jauhin kamu lagi.'

Untuk mengalihkan isi pikirannya, Summer memilih berjalan ke gerbang depan untuk menunggu Pak Ilham. Berdiri di sana bersama beberapa murid lain yang juga sedang menuggu jemputan. Akan tetapi, lima belas menit sudah berlalu, tapi jemputan Summer tidak kunjung datang.

Summer mulai gelisah, berkali-kali melirik jam tangan. Seharusnya dia berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat. Karena itu Summer memilih menghubungi Pak Ilham, yang langsung diangkat pada dering pertama.

"Pak Ilham, masih jauh?"

"Duh, Non. Maaf banget, ini ban mobilnya tiba-tiba bocor. Bapak usahain datang maksimal tiga puluh menit lagi gapapa kan, Non?"

Tiga puluh menit lagi, berarti pertandingan Rain sudah dimulai. Summer menggigiti ujung kukunya gusar, begitu gelisah—tidak ingin terlambat sedetik pun ke pertandingan pertama cowok itu, Tapi, Summer juga tidak tahu harus bagaimana. Haruskah ia memanggil taksi? Selama ini, ia selalu mengandalkan Rain atau sopir rumahnya. Tidak pernah pergi ke mana pun sendirian.

Summer belum menjawab Pak Ilham ketika ia melihat motor Ducati Monster metalik melaju keluar dari gerbang sekolah, lalu berhenti tepat di depannya. "Tumben nungguin jemputan di sini?" tanya si pengemudi sambil membuka kaca helm teropongnya. Thunder! Dari matanya saja, Summer sudah bisa mengenali cowok itu.

"Pak Ilham nggak usah nganterin Summer. Summer berangkat bareng temen Summer aja. Dadah!" Tanpa menjawab pertanyaan Thunder, Summer berkata pada Pak Ilham dengan nada riang. Seakan baru saja menemukan keajaiban.

Usai bergegas mematikan ponsel, ia bergegas menghampiri Thunder, memegang lengan cowok yang kini menatapnya bingung. "Thunder baik banget asli! Tau banget tiap Summer butuh pertolongan!"

"Hah?"

"Anterin Summer ke DBL Arena. Mau nonton pertandingannya Rain, udah mau mulai. Jemputan Summer masih lama, bannya kempes."

"Ogah. Ngapain gue nganterin lo ke itu orang? Gue masih ada acara juga." Thunder memainkan gas motornya, tampak akan bergegas pergi dari sana. Hal yang membuat Summer buru-buru beranjak ke depan motor cowok itu, merentangkan tangan. "Lo ngapain? Minggir nggak?"

"Ayo dong, Thunder. Anterin Summer." Summer merengek. "Kalau nggak lagi kepepet, Summer nggak bakalan sampai minta tolong Thunder gini."

"Kucing pas itu? Bukannya minta tolong gue?"

"Nah, itu! Kemarin Thunder nolongin kucing mau, masa nolongin Summer nggak mau," rengek Summer lagi, menampilkan ekspresi bak anak anjing yang butuh pertolongan, sekalipun ia tahu, tidak akan semudah itu membuat cowok ini luluh. "Plis. Ya? Ya?"

"Oke, gue anterin. Abis ini tapi pinjem helm dulu ke anak-anak." Summer terperangah, tidak percaya akan mendapat persetujuan Thunder secepat itu. Seakan menyadari tatapan Summer itu, cowok itu melepas helmnya, lalu menambahkan. "Eits, tapi bayarannya harus naik tingkat jadi gebetan. Deal?"

"Ha?" Summer menganga, berharap dia salah dengar.

"Sama itu juga, lain kali kalau butuh apa-apa minta gua. Nggak usah nunggu gue jadi orang terakhir di dunia dulu baru nyariin! Kan udah jadi gebetan."

"Ha?" Tidak—Summer masih berharap dia salah dengar.

"Nggak usah pura-pura budek." Thunder menatap Summer malas, berniat memakai helmnya lagi. "Yaudah kalau nggak mau. Gue balik du—"

"Oke, oke! Serah Thunder aja deh! Summer ngikut!" teriak Summer panik, lalu cewek itu kembali ke sisi Thunder, bergelayut di lengannya dengan kembali mengenakan tatapan bak anjing. "Sekarang pokoknya anterin Summer. Udah mau telat ini."

Ujung bibir Thunder tertarik, membentuk senyum jahil. "Syaratnya apa?"

"Kalau lagi butuh, minta tolong Thunder." Summer menatap cowok itu kesal. "Nggak jadiin Thunder opsi terakhir."

"Nah, pinter!" Senyum jahil Thunder makin lebar. "Syarat satunya lagi, kita jadi apa?"

Ngeselin. Summer benar-benar tidak ingin mengatakan ini!

"Gebetan," bisik Summer, wajahnya tertunduk.

"Nggak kedengeran."

Ish! Ini cowok asli ngeselin! "Gebetan," ulang Summer dengan suara agak keras.

"Masih nggak denger tuh."

"GEBETAN, THUNDER! GEBETAN! MASA BELUM DENGER!" Summer mendongak, berteriak tanpa sadar karena rasa kesalnya pada cowok itu. Hal yang detik kemudian langsung ia sesali melihat teriakannya membuat mereka kini jadi perhatian murid-murid di sekitar. "Ih, kan! Thunder nyebelin!!"

Thunder hanya terkekeh tanpa suara, lalu memakaikan helmnya ke kepala Summer.

Summer masih mengerjab, terheran-heran dengan kelakukan cowok itu. Apalagi ketika Thunder menunjuk boncengannya dengan dagu.

"Naik."

"Ha?"

"Naik sebelum gue berubah pikiran." Thunder membuka jacketnya dan menyodorkannya pada Summer. Tapi, karena Summer tidak kunjung meraihnya, Thunder kembali berucap. "Apa mau dipakein juga?"

"Nggak! Summer bisa make sendiri!" Summer menyahut cepat, secepat ia mengambil jacket Thunder, melingkarkannya ke pinggang, kemudian melangkah naik ke boncengan Thunder.

Kenapa sih ini cowok bener-bener ngeselin?! Summer tidak habis pikir.






TO BE CONTINUED.

HOPE YOU LIKE IT!

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN YANG BANYAKKK

SPAM NEXT YANG BANYAK DI SINI!

SPAM RAIN

SPAM SUMMER

SPAM THUNDER

SPAM IRIS (SIAPA TAU DIA NANTI BERJODOH SAMA MAS HUJAN WKWKWK)

*

Siapa sih, tokoh favorite kamu di sini?

Menurut kamu, lagu apa yang paling ngegambarin Summer Rain?

Ada bayangan nggak, gimana kelanjutan Summer Rain kedepannya?

Apa kalian curiga Dy bakal kasih plot twist? Wkwkkw

Btw, kalian wajib kayaknya deh puter playlist yang Dy kasih sekarang. Sekalian liat artinya. I dunno, udah yang nyanyi si Rain—ceritanya juga mirip-mirip anjir sama Rain. Bikin Dy jadi nggak bisa sepenuhnya move on ke mas petir huhu. Apalagi Summer.

See you di part sebelumnya yaa. Untuk kalian yang share Summer Rain di status WA, IGS, Tik Tok sampai Twitter—thank you so muchhhh. Makasih banyak ya, udah nemenin Dy sampai sekarang ^^



With Love,

Dy Putina

Istri Sah Jeong Jaehyun.

(Tuan muda yang dua part nggak muncul. Kangen nggak?)

(Ada yang mau jadi hater Summer nggak sih?)

*

Part ini ditulis tanggal : 12 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro