20. Yang Terpendam
Playlist : Arsy Widyanto, Brisia Jodie – Rindu Dalam Hati
*
20. Yang Terpendam
"Hal yang buat hubungan jadi berjarak bukan karena nggak lagi saling sayang, tapi kadang emang sesusah itu buat ngerti isi hati orang."
*
Summer baru selesai mengenakan seragamnya ketika ia memeriksa ponsel dan menemukan pesan Rain. Ia terdiam beberapa saat, mengembuskan napas berat membaca pesan cowok itu. Summer tahu, Development Basketball League (DBL) – East Java Series memang sudah dimulai. Pada pertandingan hari ini, Skyline juga dijadwalkan akan bertanding melawan SMA Ciputra pukul setengah empat sore nanti. Akan tetapi, tetap saja Summer merasa alasan Rain bukan itu. Bukankah tahun lalu, Rain lah yang bersikeras meminta Summer ikut bangun pagi agar mereka tetap bisa berangkat bersama?
Rain sengaja menghindar, Summer tidak cukup bodoh untuk tahu.
Seketika rasa sesal memenuhi diri Summer, teringat kejadian semalam. Bodoh. Untuk apa ia menanyakan pertanyaan bodoh itu jika hanya membuat mereka berakhir seperti ini? Seharusnya ia tidak tamak—apalagi menganggap perlakuan spesial Rain padanya disebabkan karena cowok itu juga menyukainya. Nyatanya, sampai kapan pun, Rain hanya akan menganggapnya sebagai sahabat. Tidak lebih. Harusnya Summer cukup dengan itu.
Sekalipun perasaannya sesak, Summer tetap menambahkan stiker lucu pada pesan seperti kebiasaannya. Tidak apa-apa. Setelah ini Summer hanya perlu berusaha, bersikap biasa saja agar mereka berdua kembali seperti dulu lagi. Summer tidak mau kehilangan Rain.
Lewat jendela kamarnya yang masih berembun karena hujan yang belum berhenti sejak subuh, Summer melirik kamar Rain di seberang. Lampu kamar cowok itu sudah mati—tanda jika Rain sudah pergi. Lagi, usai meraih tasnya, Summer memeriksa room chat mereka berdua sembari melangkah keluar kamar—berharap ada balasan lagi dari cowok itu. Tapi, tidak ada. Padahal biasanya balasan Rain selalu cepat.
"Mbok, habis ini tolong bilangin Pak Ilham buat anterin Summer ke sekolah, ya," ucap Summer sembari memasuki ruang makan. Mbok Nurlam dan Scarlett yang tengah menyiapkan sarapan sontak menoleh, begitu pula dengan Winter dan Jeremia yang tampak sibuk dengan kopi dan ponsel mereka.
Papa. Menyadari Papanya di sini, Summer bergegas duduk di kursinya. Tatapan pria itu yang seakan mengamatinya membuat kerisauan Summer akan Rain menghilang—tergantikan oleh perasaan khawatir lain. Tadi malam ia memang masih bisa lepas dari amukan Jeremia akan nilainya, tapi Summer tidak yakin bisa lolos kali ini.
"Tumben nggak bareng sopirnya? Lagi berantem?" Baru kali ini Summer menyukai pertanyaan Winter sekalipun dibarengi dengan tatapan mengejek cowok itu. Paling tidak, pembuka pembicaraan bukan Jeremia.
"Nggak yaaa! Ngapain berantem?" jawab Summer sambil mengambil toast. Sengaja memilih sarapan yang bisa ia akhiri dengan cepat. "DBL Rain kan udah mulai, Rain harus berangkat pagi. Yakali Summer ikutan berangkat pagi juga."
"Tahun lalu bukannya gitu? Berantem nih pasti."
"Ih, dibilangin enggak! Kak Winter sok tauuuu!" Summer menatap Winter kesal, menyembunyikan keheranannya akan Kakaknya yang masih saja mengingat hal seremeh itu.
"Ya udah kalau emang nggak." Winter mengedikkan bahu, kembali menyeruput kopinya. "Habis ini ikut mobil aku aja, nggak usah sama Pak Ilham. Mumpung searah."
"Nggak ma—"
"Atau sama Papa aja. Daripada mobil pada keluar semua," tukas Winter lagi yang reflek membuat mata Summer melebar. "Iya nggak, Pa?"
"Nggak deh, sama Kak Winter aja. Nanti Papa repot." Summer menjawab dengan cepat, memberikan Winter tatapan memeringatkan. Ngeselin. Summer tahu Winter pasti sengaja—berniat agar Summer mendapat omelan Papa sepanjang jalan. Membuat hidup Summer sengsara sepertinya menjadi kesenangan tersendiri bagi Winter.
"Gitu dong. Seneng lihatnya kalau kakak-adek akur." Scarlett menyahut sambil meletakkan susu hangat Summer. "Nggak capek apa debat terus setiap hari?"
"Iya, Kakak adek itu harus akur. Sama Rain juga harus akur ya, Summer. Beruntung kamu punya temen pinter kayak dia." Summer langsung menunduk begitu Jeremia ikut masuk ke obrolan, was-was dengan apa yang akan Papanya katakan selanjutnya. "Papa tahu nilai kamu nggak memuaskan. Kalau nggak karena semalem Rain bilang dia janji mau bantuin kamu belajar sampai nilai kamu naik, Papa pasti udah kasih kamu les tambahan lagi. Yang bener nanti kalau belajar sama dia."
"Iya, Pa." Summer mengangguk, teringat dengan ucapan Rain semalam.
"Oh, ya. Nanti kalau nonton Rain tanding hati-hati ya. Dari sekolah ke DBL Arena minta dianter Pak Ilham aja. Jangan berangkat bareng temen yang nggak jelas," tambah Jeremia lagi.
Tunggu—tunggu. Summer jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa saja yang semalam Rain bicarakan dengan Papanya? Selain tidak ada tanda-tanda akan marah, kenapa Papanya sampai tahu soal pertandingan Rain? Bahkan mengizinkan Summer menonton cowok itu bertanding?
"Papa yakin si anak tengik itu bisa ngajarin? Lagian kalau disatuin, mereka bakal keasyikan bercanda daripada belajar," sahut Winter tiba-tiba.
Summer sontak menatap cowok itu kesal. "Apaan sih Kak Winter?! Ikut-ikutan ajaa!"
"Bener kan?" ucap Winter lagi sambil meletakkan cangkir kopinya yang sudah kosong.
"Ih! Sok tau! Rain kalau ngajarin Summer serius tauu!!"
"Ma, Pa. Aku berangkat duluan." Winter bangkit berdiri, berucap malas seperti sengaja mengabaikan ucapan Summer. Tapi, sebelum lanjut melangkah, cowok itu menoleh pada Summer. "Jadi nebeng nggak? Atau kamu sama Papa aja ya, aku baru inget jadwalku—"
"Ikuutt! Tungguin. Summer udah selesai kokk," sahut Summer sebelum buru-buru menandaskan gelas susunya. "Summer berangkat. Ma, Pa," ucapnya lagi sembari bangkit dan berlari menyusul Winter.
***
Hujan masih turun ketika Lamborghini Aventador hitam Winter melaju melewati jalanan Surabaya Barat, membuat perjalanan mereka dipenuhi hening.
Sebenarnya bukan hanya karena hujan. Sementara Winter mengemudi, Summer lebih memilih menoleh ke jendela samping, menggambar awan, pika-pika, bunga—apa saja di kaca yang berembun. Beberapa kali helaan napas beratnya mengudara. Lantunan instrumen Rivers Flows in You terdengar lewat air pods yang awalnya sengaja Summer putar untuk menghindari segala omelan Winter, berakhir membuat suasana hatinya jadi tidak nyaman. Apalagi ketika kepalanya terus saja memutar kejadian semalam.
Summer bego. Kenapa sih semalem kamu harus nanya gitu?
Kalau Rain ntar jadi gini terus gimana?
Kok begonya kebangetan sih, kamu!
Doraemon beneran ada nggak sih? Pengen minjem mesin waktu. Gapapa deh, selingkuh dari Pika-Pika dulu.
Klakson yang berbunyi nyaring membuat Summer melonjak.
"Mau ngelamun sampai kapan kamu?" omel Winter sambil melepas salah satu air pod Summer. Seketika Summer mengedarkan pandangan, lalu mendapati jika mobil Winter sudah berhenti tepat di depan pintu masuk lobby Skyline.
"Rivers Flow on You? Suka lagu ini juga?" tanya cowok yang sudah mengenakan air pod Summer.
"Biasa aja. Summer cuma pengen coba main itu buat di penilaian kursus piano." Summer berucap malas mengambil air podnya lagi dari telinga Winter. Tentu saja disertai tatapan kesal karena Winter merampas dan mendengarkan lagunya tanpa permisi. "Apaan sih make-make punya Summer."
"Mau diajarin?"
"Hah?"
"Mainin itu lagu buat penilaian."
Summer mengerjab, lalu menaruh telapak tangannya di kening Winter—memeriksa suhu tubuh cowok itu. Suhu Winter normal, membuat Summer bertanya-tanya apa yang membuat Winter jadi mengigau seperti ini. Bukan karena ia meragukan kemampuan Winter, tapi ia tidak mengerti angin apa yang membuat Winter menawarkan diri untuk mengajarinya.
Dengan tatapan terganggu, Winter menurunkan tangan Summer. "Apaan sih kamu."
"Kak Winter nggak sakit." Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
"Lah, kapan aku ngomong sakit?"
"Nggak. Aneh aja soalnya. Tumben banget nawarin diri buat ngajarin Summer. Tadi pagi nggak kepentok pintu kamar mandi kan?"
"Dasar bocah nggak tau bersyukur!" Meringis, Summer mengaduh ketika tiba-tiba saja Winter malah menjitak keningnya. Reflek, Summer menggosok keningnya sambil menatap Winter kesal. Anehnya, ia melihat raut Winter yang biasanya kaku, tampak seperti salah tingkah.
"Periksa dulu barang kamu, habis itu turun. Aku bukan sopir kamu, nggak ada waktu buat nganterin barang kamu yang ketinggalan." Tidak—sepertinya tadi Summer hanya salah lihat. Ucapan sinis Winter menyadarkannya, lagi pula karena apa Winter salah tingkah?
Dengan bibir mengerucut sebal, Summer menuruti ucapan kakaknya. Memeriksa tas, juga beberapa map tugas yang ia taruh di atas dashboard. Biasanya Summer juga akan mencari kuncir rambut atau jepit yang lupa ia bawa di mobil Rain, tapi mendapati tidak ada hal seperti itu di mobil Winter membuat Summer jadi sebal sendiri.
Sementara Summer menutup resleting tasnya, ia mendapati Winter sudah mengambil payung dan turun lewat pintu pengemudi, kemudian berjalan berputar untuk membukakan pintu untuknya sambil mengulurkan payung.
Summer menganga, tidak habis pikir. "Ih! Kak Winter ngapain ikut turun sih?!" rengeknya.
Winter balas menatapnya malas. "Hujan. Nggak liat?"
"Ya biar Summer aja yang bawa payungnya sendiri. Lari dikit nggak usah payung juga gapapa." Sekalipun dengan mengomel, Summer tetap turun—membiarkan Winter memayunginya sampai ke pintu lobby. "Liat tuh pada ngeliatin, Summer males dilihatin tau."
"Namanya punya mata. Gunanya yang buat ngeliat."
"Bukan gituuuu! Tau ah, Kak Winter nggak peka," rengek Summer lagi sambil memukul lengan Winter. Merasa kesal dengan tingkah bodo amat cowok itu.
"Winter?"
Summer melihat Winter baru akan membalas ucapannya ketika sebuah suara familiar membuat mereka berdua menoleh. Thunder berdiri di sana, jacket hitamnya tampak sedikit basah usai berlarian menembus hujan dari tempat parkir.
Sama seperti Thunder, Winter juga tampak terkejut.
"Woy bro! Lo sekolah di sini? Sejak kapan pindah ke Surabaya?" ucap Winter sembari mengamati Thunder dari atas ke bawah—meneliti seragamnya. Kemudian beradu tos antar lelaki dengan cowok itu.
"Masih baru-baru ini. Kaget gue pas lihat lo, kirain salah orang. Ngapain ke sini? Mau jadi anak SMA lagi?" kekeh Thunder.
"Nggak lah. Ngaco lo. Nganterin adek doang."
Summer mengernyit, menatap mereka berdua bergantian. Merasa bingung. Sejak kapan Kakaknya dan cowok yang pernah merundungnya saling kenal?
"Kak Winter kenal sama Thunder?" Summer menyela, masih menatap keduanya heran.
Thunder yang seakan baru menyadari kehadiran Summer lewat suaranya, melakukan hal yang serupa. Bahkan ia terang-terangan menunjuk Winter dan Summer bergantian dengan tampang terkejut. "Dia adik lo? Yang dulu sering lo ceritain itu?"
"Cerita apa?"
"Iya. Kalian temenan? Dunia ternyata sempit ya, nggak nyangka lo bisa kenal sama adek gue juga," jawab Winter—sepenuhnya mengabaikan pertanyaannya. Summer merengut, menatap Winter kesal.
"Iya. Gue juga nggak nyangka udah kenal sama calon Kakak Ipar sejak lama." Thunder menoleh pada Summer, mengedipkan sebelah mata. "Iya, nggak?"
Seketika mata Summer membola. "Heh! Nggak ada ya!"
Winter sendiri malah tertawa tanpa suara, kemudian menepuk-nepuk pundak Thunder. "Yaudah deh. Nanti gue hubungin, gue kenalin sama komunitas di Surabaya. Nomor lo masih sama kan?" tanya Winter yang langsung diangguki Thunder. "Titip adek gue juga, tolong jagain," ucap Winter lagi.
Summer masih tidak habis pikir. Dasar kakak nyebelin! Bisa-bisanya Winter menitipkannya pada cowok preman ini. "Ih, nggak mau! Kak Winter apaan sih! Ngapain nitipin Summer ke Thunder?!"
"Siap, Kakak Ipar. Beres. Nggak bakal lecet kalau gue yang jagain."
Winter terkekeh lagi. "Oke, thanks ya bro. Gue balik."
"Sip. Hati-hati."
"Ih, Kak Winter!" Sementara Winter kembali ke mobilnya, Summer berteriak—yang sama sekali tidak direspon oleh cowok itu. "Kak Winter salah nitipin Summer ke orang! Thunder itu cowok yang udah ngerundung—" Mobil Winter sudah melaju ketika teriakan Summer terputus karena Thunder membekap mulutnya, tidak cukup di sana, sebelah tangan Thunder yang bebas juga memeluk tubuhnya dari belakang. Ralat, dibanding memeluk, Summer merasa Thunder lebih mirip om-om penjahat yang sedang berusaha meringkus anak kecil.
"Kok ngerundung? Bukannya udah damai ya? Udah naik tingkat juga, jadi calon pacar."
"Thunder lepasin! Apaan sih!" Summer memekik begitu bekapan Thunder terlepas. Buru-buru melepaskan diri dan berbalik, menatap Thunder kesal menyadari jika kini semua perhatian kebanyakan siswa sudah ganti pada mereka. Terlebih, ketika ia mengingat keributan kemarin yang dibuat cowok ini. "Eh iya! Itu juga. Banyak yang mau Summer omongin sama Thunder!"
Thunder menekuk kaki, mensejajarkan tingginya dengan Summer sambil tersenyum jahil. "Apa untungnya kalau misal gue mau dengerin? Naik tingkat lagi nggak?"
Summer mengerjap. "Hah?"
"Kemarin kan katanya temen. Sekarang boleh dong, naik jadi HTS."
"Mana ada!"
"Ya udah, nggak mau. Males gue. Banyak yang mau diomongin, tapi statusnya tetep. Ngapain lama-lama jagain jodoh orang?" ucap Thunder, cowok itu menegakkan tubuh—kemudian melangkah meninggalkan Summer.
"Thunder kok gitu!" Summer bergegas menyusul Thunder, lalu menarik lengan jacket Thunder. Hal yang berhasil membuat Thunder menoleh padanya. "Iya deh, nggak banyak. Lima pertanyaan."
"Tiga. Kalau lima, mau gak mau, gue harus naik tingkat!"
Summer mencebik. Dalam sepersekian detik ia seakan beradu pandangan dengan Thunder, yang berakhir dengan Summer menghela napas kesal—tahu dia tidak akan menang. Thunder bukan Rain yang akan luluh akan tatapan merajuknya. "Yaudah tiga," kata Summer, ia mulai melanjutkan langkah bersama Thunder. Tidak menyadari jika jemarinya masih memegangi jacket cowok itu ketika berusaha mengimbangi langkah kaki Thunder yang panjang-panjang.
"Yang pertama, ngapain Thunder bikin ribut? Bilang kalau Summer calon pacar Thunder? Gara-gara Thunder—"
"Kan kemarin baru naik tingkat. Siapa tahu habis gue bilang gitu, ntar beneran—"
"Ngimpi!"
"Gapapa. Kata lagu juga kan 'semua berawal dari mimpi," ucap Thunder sambil tertawa. "Lagian live streaming gua sendiri juga. Masa kontennya harus nunggu persetujuan lo?"
"Nggak usah bawa-bawa Summer juga bisa kali!" rengek Summer frustasi.
Thunder hanya mengangkat sebelah alis, tampak tidak mau ambil pusing. "Pertanyaan kedua," ucap cowok itu.
Summer menimbang-nimbang. Ia dilema antara bertanya bagaimana Thunder bisa mendapatkan fotonya, atau sejak kapan cowok itu mengenal kakaknya. Tapi, memikirkan ia tidak akan mau menurunkan harga dirinya untuk bertanya pada Winter—pada akhirnya Summer memilih pertanyaan kedua.
"Kok bisa kenal Kak Winter?"
"Dulu pas di Jakarta, kami masuk komunitas motor yang sama," jawab Thunder langsung. Hal yang sama sekali tidak pernah Summer bayangkan akan diikuti putra teladan Papanya. "Pertanyaan ketiga?"
"Kak Winter dari yang Summer denger tadi kayaknya suka cerita soal Summer. Dia cerita apa aja?"
Langkah Thunder berhenti sebelum menatap lelah Summer. "Seriusan? Gue aja bosen tau tiap kali dia cerita." tanyanya dengan nada enggan—seakan-akan apa yang akan dia ceritakan bukan hal yang nyaman di dengar. "Lo yakin mau denger?"
Summer terdiam beberapa saat. Mencoba menyiapkan diri dengan apa yang akan ia dengar. Well, sebenarnya tanpa Thunder beri tahu sekalipun, Summer merasa sudah bisa menebaknya. Pasti tidak akan jauh dari betapa menyusahkan dirinya sebagai adik, ia yang tidak berguna—atau yang paling buruk, seberapa besar Winter ingin ia menghilang.
"Ya. Summer mau denger," jawab Summer usai memantapkan hati.
"Winter ceritain lo itu udah mirip sama sales yang promosiin barang." Jawaban Thunder membuat Summer mengernyit, tidak mengerti sama sekali. "Tapi, ada satu hal yang Winter bohong," lanjut Thunder sambil menatap Summer, menunduk untuk mensejajarkan wajah mereka. "Aslinya ternyata lebih cantik," katanya sambil tersenyum.
"Ih, apaan sih. Gombal banget." Summer berusaha keras agar tidak tergagap, apalagi berdebar hanya karena gombalan receh cowok itu. Karena itu, ia bergegas menjauh, berjalan melewati Thunder.
Sayangnya, kali ini ganti Thunder yang meraih jemarinya, membuat Summer berhenti dan kembali menoleh pada cowok itu. "Lo kan udah tanya tiga. Gue mau lo jawab satu pertanyaan gue," kata Thunder serius.
Summer mengernyit. "Ya udah tanya aja."
"Tapi janji, jangan bohong."
Melihat ekspresi cowok itu, membuat Summer bersiap akan pertanyaan yang mungkin tidak akan ia duga. Apalagi ini Thunder—bisa jadi pertanyaannya malah membuat Summer ingin memukul kepalanya. Akan tetapi, entah mendapat keberanian dari mana, Summer tetap saja mengangguk.
"Lo beneran suka bully orang?"
See? Memang bukan jenis pertanyaan aneh, tapi pertanyaan Thunder ini tetap sukses membuat Summer menatapnya tidak percaya, kemudian mendengus. Is he kidding? Bukankah pertanyaan itu lebih cocok Thunder tanyakan pada dirinya sendiri.
"Ya. Summer suka bully orang, contohnya gini," kata Summer gemas sembari berjinjit untuk menjewer telinga cowok itu. "Udah tau Thunder sendiri yang suka bully, masih bisa-bisanya tanya gitu ke Summer. Kasian banget, ganteng-ganteng nggak bisa beli kaca!" omel Summer lagi sambil terus menarik telinga cowok itu, enggan memedulikan ringisan Thunder.
Setelah itu Summer bergegas melangkah pergi, menghampiri Shopie yang tampak muncul dari arah berlawan, sepenuhnya mengabaikan panggilan Thunder di belakangnya.
***
"Non centang biru nggak usah sirik." -- Thunder Dean Candrakusuma.
TO BE CONTINUED.
__________________________
HOPE YOU LIKE IT!
SPAM NEXT YANG BANYAK DI SINI DONGG!
YANG OLENG KE THUNDER NGACUNGG!!!
SPAM RAIN KALAU KALIAN MASIH TETEP JADI PENDUKUNG TUAN MUDAAA!
TULIS ALASAN KALIAN DI SINI, KENAPA SUMMER HARUS TETEP SAMA RAIN, ATAU OLENG KE THUNDER AJAA!
SPAM WINTER KALAU KALIAN LEBIH MILIH TERWINTER-WINTER DARIPADA IKUTAN RIBUT ^^
AN :
Maaf Rain, diriku mau oleng ke kapal Thunder dulu. Kalau kamu udah waras, baru balik lagi ke kamu :')
Oh iya. Dy udah janji mau share grafik love line Summer Rain di IG. Nanti yaaa, masih belum jadi huhu. Maybe, nanti Dy juga bakal share ke sini juga, barengan sama part depan. See you soon, sayang kaliannn ^^
Last, I'm happy to have you guys as my loyal readers. Love you to the moon and back ^^
Maaf juga untuk segala kekurangan Dy dalam banyak hal.
With Love,
Dy Putina
Istri Sah Kiming
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro