16. Berdamai
Playlist : Arsy Widianto, Tiara Andini – Bahaya
Hola SKYLINERS! Summer Rain update!
Jam berapa kalian baca inii?
Kamu vote keberapa?
Jangan lupa ramein komen sama votenya ya! Biar Dy makin semangatt!!
Makasih banyak juga buat 1K komentar lebih di part sebelumnyaaaa. Seneng banget huhu. Part ini bisa lebih dari itu nggak kira-kiraa?
Okaaay. Happy reading. Sayang kalian ^^
*
16
"Cara orang buat ekspresiin rasa sayang mereka itu beda-beda. Nggak harus selalu pake kata-kata. Sama kayak aku, yang ngeselinnya malah buat kamu jadi nggak tau."
*
"Mama mana, Mbok?" tanya Summer begitu sampai di ruang makan esok paginya. Biasanya ia akan melihat Scarlett yang mondar-mandir menyiapkan sarapan, tapi kali ini hanya ada Mbok Nurlam dan Winter yang sudah sibuk dengan ponsel di meja makan.
"Udah berangkat kerja, Non. Ada yang mesti diurusin katanya."
Summer mengerucutkan bibir, merasa sedih. Padahal biasanya, Scarlett selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama. "Summer nggak sarapan deh, Mbok. Mau langsung berangkat aja."
"Lah, Non. Itu Mbok udah bikinin omelet kesukaan Non."
"Nggak deh, lain kali—"
"Duduk! Sarapan dulu. Nggak usah manja." Tiba-tiba saja Winter menyahut, memotong ucapan Summer. Ketika Summer menatapnya, cowok itu sudah meletakkan ponsel di atas meja, menatapnya tajam. "Dulu pas kamu kecil aja aku sering sarapan sendirian. Mama sibuk ngurusin kamu."
"Emangnya Summer tanya? Nggak Kak Winter, nggak Papa, kenapa sih suka banding-bandingin?" Summer berusaha keras menahan diri untuk tidak menangis. Ngeselin. Selama ini sarapan selalu menjadi kesempatan Summer bertemu Mamanya dalam satu hari. Melihat Scarlett tidak ada, bukankah wajar Summer sedih? Apalagi tidak ada jaminan Scarlett sudah pulang sebelum Summer tidur. Kenapa Winter harus marah? Bahkan sampai mengeluarkan keluhan tentang betapa menderitanya hidup cowok itu setelah Summer lahir—hal yang sudah sangat Summer hapal di luar kepala.
Tatapan Winter sedikit melunak. "Biar kamu tahu aja. Udah gede, tapi cuma perkara Mama nggak ada aja sampai nggak mau sarapan."
"Masalah gitu buat Kak Winter?"
"Kebiasaan! Tiap dibilangin selalu aja bikin emosi!"
"Non, Adeenn. Udah, jangan berantem. Nggak baik," ucap Mbok Nurlam.
"Salah Kak Winter sendiri!" Alih-alih mendengarkan wanita paruh baya itu, Summer tetap saja menanggapi ucapan Winter. Mata Summer berkaca-kaca. Summer tahu yang membuat Winter marah bukan hanya karena ia melawan perkataan cowok ini. Tapi, semua hal dalam diri Summer memang selalu membuat Winter marah—emosi. Benci. Bahkan ketika Summer hanya bernapas.
Winter mendengus, tersenyum sinis. "Jadi salah ya, aku ingetin kamu sarapan?"
"Ya, salah!" Summer meremas jemarinya kuat-kuat—menahan diri untuk tidak menangis. "Lagian ngapain Summer sarapan kalau cuma berdua sama Kak Winter? Selama ini yang bikin Summer mau sarapan bareng kak Winter itu Mama. Kalau Mama nggak ada, buat apa juga Summer tetep lakuin hal yang nggak Summer suka?"
Rahang Winter mengeras, tapi hanya ada datar yang Summer rasakan ketika cowok itu menatapnya. "Oke. Jadi kamu nggak suka sarapan bareng aku."
"Kak Winter baru nyadar?"
"Ya udah, berangkat sana," kata Winter tanpa beban, lelaki itu mengalihkan pandangannya ke ponsel sambil meneguk kopi seakan-akan ucapan Summer tadi tidak berarti apa-apa. "Kedepannya juga nggak usah sarapan bareng lagi. Kalau kamu emang nggak sesuka itu—nggak anggep aku kakak kamu, ya udah. Mulai sekarang aku nggak peduli kamu mau gimana-gimana lagi."
Seharusnya Summer lega. Bukankah memang itu yang ia mau?
Akan tetapi, ucapan Winter malah membuat tangis yang sudah susah payah Summer tahan meluap. Air mata Summer mengalir deras diikuti isakan, sementara rasa tidak rela menyeruak dalam dadanya mendengar kakaknya tidak lagi mau peduli.
Winter kembali menatap Summer, mengernyit. "Kok malah nangis?"
Tidak ada jawaban. Summer terlalu gengsi mengatakan isi hatinya, yang bisa ia lakukan hanya mengusap air matanya yang tidak mau berhenti.
Melihat itu Winter meletakkan ponselnya. Wajah cowok itu yang semula dingin berubah hangat ketika menatap Summer. "Katanya mau langsung berangkat?"
Summer hanya menggeleng cepat, terus terisak.
"Duduk kalau gitu. Makan sarapannya," ucap Winter lembut, yang kemudian membuat Summer buru-buru duduk di tempatnya—tepat di depan Winter. Ia menaruh ponsel dan dua gantungan Pikachu yang ingin Summer gantung pada ransel yang ia tinggal di mobil Rain, kemudian meraih omelet buatan Mbok Nurlam. Pundak Summer masih naik turun karena sesenggukan ketika memulai makan.
"Minum dulu," ucap Winter sembil menunjuk susu hangat di samping Summer dengan dagunya. "Udah gede, masih aja cengeng."
Summer tidak menjawab, tapi ia menatap Winter kesal sambil meneguk susunya. Padahal bukan salahnya, Summer menangis karena Winter yang mencari gara-gara.
Hingga, Summer melihat Winter memicing ketika melihat dua gantungan Pikachu di atas meja.
"Dibeliin Rain! Summer nggak minta Mama buat beliin lagi kok! Sumpah!" Summer berkata cepat hingga nyaris tersedak. Panik. Khawatir Winter akan memarahinya lagi karena itu.
"Minum yang bener, baru ngomong. Bocah emang," gerutu Winter, tapi Summer meilhat kelegaan di matanya, yang kemudian berganti kesal begitu melirik lagi gantungan Pika-Pika.
***
Ferrari 812 Superfast merah metalik sudah menunggu di pelataran rumah begitu Summer keluar. Summer mengernyit, buru-buru membuka pintu penumpang dan melongok untuk menatap Rain. "Katanya mau bawa motor?" rengek Summer.
"Mendung, takut hujan," jawab Rain, lalu cowok itu mengernyit. "Mata kamu kok sembab? Habis nangis?"
Summer mengangguk. "Dikit. Habisnya Kak Winter ngeselin," katanya sambil beranjak memasuki mobil, kemudian meraih tas ranselnya.
Kernyitan Rain makin dalam, tampak kesal. "Kak Winter ngapain kamu emang?"
"Nggak usah tanya-tanya. Rain juga ngeselin." Summer mengalihkan pembicaraan, enggan bercerita. Apalagi penyebabnya menangis sama sekali tidak keren.
"Kok bisa aku juga?"
"Nggak jadi bawa motor," jawab Summer dengan bibir mengerucut. "Padahal kan Summer pengen."
Rain terkekeh tanpa suara, menatap Summer gemas sambil menggeleng. Kemudian mulai melajukan mobilnya. "Tuh liat, langitnya segelap apa. Yakin masih mau naik motor?" Rain menunjuk awan mendung yang tampak jelas dari kaca depan.
"Tapi kan sekolah kita deket."
"Deket sih deket. Tapi, kalau udah hujan, namanya naik motor ya tetap kena. Kayak kamu tahan kehujanan aja," ejek Rain.
Summer menoleh, menatapnya menantang. "Tahan tuh."
"Masa?"
"Nih, liat." Summer bergelayut manja di lengan kiri Rain yang tidak memegang setir, berusaha keras menahan senyumnya. "See? Summer udah deket-deket hujan, tapi nggak kenapa-napa kan?"
"Beda lah. Hujan yang ini nggak suka lihat kamu nangis, apalagi ngebiarin kamu sakit." Rain tertawa kecil, lalu menautkan jemari mereka. "Beneran deh, aku pengen kamu jawab. Tadi kak Winter ngapain kamu, sampai nangis gitu?"
"Kenapa? Mau berantem sama kak Winter?"
"Tergantung jawaban kamu."
"Nggak ngapa-ngapain sih. Kak Winter cuma nyuruh Summer sarapan. Summer nggak mau—berantem deh kita." Summer menjawab sambil melepaskan pegangan Rain, berniat memasang gantungan Pikachunya. "Karena Summer udah kesel banget, Summer ngomong sama Kak Winter : ngapain Summer sarapan bareng Kak Winter kalau nggak ada Mama? Summer nggak suka tuh sarapan sama Kak Winter. Selama ini Summer mau ya karena Mama."
"Terus? Kak Winter marah?" tanya Rain. Sesekali cowok itu menatap Summer sambil terus mengemudi.
Summer menggeleng. "Nggak. Kak Winter malah nyuruh Summer berangkat, lain kali nggak usah sarapan bareng lagi katanya. Kak Winter juga ngomong nggak mau peduli sama Summer. Terus yaudah, tiba-tiba Summer nangis aja." Summer mengembuskan napas panjang, menatap Rain. "Summer plin-plan ya, Rain? Summer pengen Kak Winter nggak gangguin Summer lagi, tapi pas Kak Winter bilang dia nggak bakal peduli lagi, Summer malah sedih."
"Nggak kok. Wajar. Apalagi kamu kan sayang banget sama Kak Winter." Rain tersenyum, mengelus puncak kepala Summer. Hingga, tatapannya terhenti pada gantungan Pikachu Summer yang ada dua. "Thunder balikin gantungan kamu? Kapan?"
"Oh, ini. Nggak. Kak Winter nemu di mobil. Kayaknya emang jatuh pas Summer pulang les."
"Yang di Thunder?"
"Nggak tau. Bukan punya Summer kali. Nggak mungkin juga kan Kak Winter beliin Summer? Ngado pas Summer ulang tahun aja terpaksa, makanya kasihnya boneka Pika-Pika terus."
Rain mengenyit, menatap jauh. "Kok aku mikirnya beda ya. Kak Winter beneran belum minta maaf sama kamu?"
"Ngapain Kak Winter—Eh! Hujan beneran!" Summer berseru, fokusnya teralihkan ketika guyuran hujan mulai membasahi kaca mobil. Begitu deras dan tiba-tiba.
"Kan. Coba aja aku nekat bawa motor, udah basah kamu. Mana hujannya deres gini," omel Rain.
Summer tidak menjawab karena perhatiannya sudah tertuju pada hujan yang berjatuhkan di kaca samping mobil. Jemarinya terulur, menyentuh aliran air hujan di luar sambil menunggu kaca itu berembun untuk dia mainkan. Summer memang tidak suka kehujanan karena itu pasti membuatnya sakit, tapi Summer selalu menikmati suasana tiap hujan turun. Hujan selalu bisa membuat hati Summer tenang, apalagi ketika ia bisa mencium aroma petrichor di luar.
Sementara itu mobil Rain terus melaju, nyaris sampai ke wilayah sekolah, ketika tiba-tiba saja tatapannya menemukan Iris berdiri di halte yang mereka lalui.
"Rain. Berhentiin mobilnya dulu, deh," kata Summer cepat.
"Kenapa?" Rain menoleh, menatap Summer bingung, tapi di saat yang sama cowok itu menepikan mobilnya.
"Summer lihat Iris di halte. Kayaknya nggak bawa payung," kata Summer sambil melihat lewat kaca spion, memastikan penglihatannya. "Ya kan, beneran Iris."
"Terus?" Rain mengernyit.
Summer mencebik, menatap kesal Rain. "Ya ajakin dong, Rain! Temen Rain dia tuh. Kasian tahu kalau harus hujan-hujanan! Mundurin mobilnyaaa. Masa masih harus Summer kasih tau?"
Rain berdecak. "Sejak kapan ini mobil bisa muat lebih dari dua orang?"
"Muat kok! Summer kan kecil! Tinggal geseran dikit."
"Nggak mau."
"Ih, Rain!"
"Bodo. Dulu kan kamu yang bilang, katanya nggak boleh masukin cewek lain selain Bunda ke ini mobil. Lupa?"
Summer mengerjap, tidak ingat sama sekali. Tapi, tidak bisa dipungkiri dada Summer ikut berdebar—tidak menyangka Rain akan mengingat ucapan asal yang kini bahkan sudah ia lupakan. "Summer cuma bercanda! Lagian omongan nyeleneh gitu dimasukin ke hati. Iyadeh Summer ralat deh sekarang. Rain emangnya nggak kasian sama Iris?"
"Nggak tuh," kata Rain cepat, cowok itu bahkan sudah akan melajukan mobilnya lagi jika saja Summer tidak cepat-cepat mencekal lengannya.
"Iyadeh, nggak usah diajakin. Tapi paling nggak Rain turun dulu, kasih payung ke Iris." Summer merengek. Ia memang tidak dekat dengan Iris, tapi Summer tidak pernah bisa membiarkan orang yang dikenalnya kesusahan. Apalagi Summer masih sedikit merasa bersalah ketika mengingat ia diam saja ketika Iris diganggu Freya. "Kalau Rain nggak mau, biar Summer aja yang turun. Tapi tungguin! Summer males hujan-hujan jalan!"
Rain berdecak. "Emang dasar kepala batu ya. Diem di sini, jangan ikut keluar," ucap cowok itu sambil mencubit pipi Summer, membuat cewek itu mengaduh—sebelum kemudian mengambil payung dan berjalan keluar.
Summer memerhatikan Rain lewat kaca belakang. Memerhatikan Rain yang berjalan menuju halte sambil memakai payung merahnya—bawaan dari mobil, sementara tangan kanan cowok itu menenteng payung bening Summer yang juga ada di mobil. Tidak lama Summer melihat Rain berbicara pada Iris, mungkin cowok itu hanya mengatakan sepatah dua patah kata sambil memberikan payung, kemudian cepat-cepat kembali ke mobil.
"Udah? Habis ini sayangnya aku mau apa lagi?" tanya Rain sebal ketika kembali ke belakang kemudi, wajah cowok itu bahkan sudah tertekuk. "Hujan-hujan nyuruh aku nganter payung ke cewek lain. Emang cuma aku ya, yang sayang sama kamu?"
Cewek lain. Sayang kamu.
Summer berusaha keras menahan debaran dadanya—berusaha berpikir itu bukan rasa sayang yang lebih dari sahabat. Tidak boleh berharap. Summer tahu semakin tinggi ia berharap, akan semakin sakit perasaannya ketika harapan itu dijatuhkan.
"Utututu. Tuan muda ngambek nih." Summer terkekeh geli, menyembunyikan perasaannya dengan bergelayut di lengan Rain sementara cowok itu kembali melajukan mobil. "Nggak boleh cemberut giniiiii. Kalau bantuin orang itu harus ikhlas tau," ucap Summer lagi sambil mendongak, telunjuknya menoel-noel pipi Rain.
Rain tidak menjawab. Fokus menatap ke depan.
"Dih, masa gitu doang kesel beneran? Padahal cuma diminta ngasih payung doang." Bibir Summer mengerucut, tatapannya berubah sebal. "Ya udah Summer ikutan ngambek. Awas aja, jangan sok ngajak Summer ngomong loh," kata Summer lagi sambil melepas pelukan, yang kemudian terhenti karena tangan Rain menahan jemarinya.
"Jangan lepas." Hanya dua kata, tapi sudah bisa membuat jantung Summer jumpalitan.
Untungnya, Summer masih bisa menutupi itu dengan senyum sok cool-nya. "Katanya ngambek?" tanya Summer sambil kembali bergelayut di lengan Rain.
Rain meliriknya sebal. "Nggak jadi," desis cowok itu. Hal yang lebih dari cukup untuk membuat Summer tertawa geli.
***
"Kalau dipikir-pikir, belakangan ini kamu sama Rain jarang telat ya, Sum," ucap Sophie sambil menutup pintu lokernya. Summer tidak kunjung menjawab, masih menoleh—menatap Rain yang tampak tengah mengambil susu kotak cokelat yang kemarin Summer tempel sebelum membuka pintu lokernya. Berdebar memikirkan cowok itu akan menemukan surat yang ia selipkan kemarin.
"Sum?"
"Eh, iya. Summer lagi rajin hehe," kekeh Summer sambil ganti menatap Sophie. Memilih menjawab seadanya dibanding mengatakan kehadiran Winter di rumah adalah penyebabnya. Summer tidak ingin memberi celah kakaknya untuk marah, Summer juga tidak tahu apa yang menyebabkan kakaknya itu tidak kunjung kembali ke Jakarta. "Kalau Rain, sebenarnya dia nggak lelet, tapi gara-gara nungguin Summer, dia jadi sering ikutan telat deh." Kali ini Summer mengatakan fakta. Soal Winter, Summer tidak berniat membohongi Sophie. Hanya saja, Summer tidak pernah suka dan terbiasa membagikan masalah keluarganya kepada orang lain, kecuali Rain.
"Rain kayaknya beneran suka sama kamu deh, Sum. Seriusan. Kasian banget pengagum rahasianya, udah susah-susah kirim surat buat Rain tiap hari, eh Rain sukanya tetep sama yang lain."
"Suka ngatain Pika-Pika Summer maksudnya?"
Sophie memutar bola matanya. "Emang suka sok goblok kamu tuh ya! Aku tahu kamu pasti paham kalau maksud aku bukan itu!"
"Apa? Apa? Maksud Sophie apa?" Summer terkekeh, menampakkan tatapan bingung yang dibuat-buat untuk menggoda Sophie.
Sophie mencubit pinggang Summer. "Tau ah. Terus aja ngomong nggak suka Rain. Tahu istilah usaha nggak mengkhianti hasil nggak kamu? Nanti semisal Rain jadi suka beneran ke si pengirim surat, terus kamu jadi sadar kalau kamu sebenernya suka Rain, awas aja kamu mencak-mencak."
"Amen! Summer doain Rain jadi beneran suka sama yang ngirim."
"Nih anak emang yaaa. Jangan suka bercanda sama doa, dong! Ntar kualat gimana?" Sekali lagi Sophie mencubit pinggang Summer, membuat cewek itu mengaduh sambil terkekeh geli. Sama sekali tidak menyadari jika Summer benar-benar serius dengan doanya.
Sedikit—Summer hanya berani berharap sedikit. Jika memang Rain tidak bisa menyukainya dengan cara yang Summer Zefanya Airlangga, paling tidak, Summer ingin sedikit saja Rain bisa memberikan rasa suka itu ketika ia menjadi pengagum rahasianya.
Sambil beralih membicarakan hal yang lain, mulai dari PR Akuntansi sampai ia yang katanya sudah bersiap memutuskan Teye—Summer berjalan bersisian bersama Sophie menuju kelas. Seperti biasa, Rain berjalan di belakangnya bersama geng Lucas.
Eva belum terlihat, Rain dan yang lain juga masih berhenti di depan pintu kelas Mark ketika Summer dan Sophie masuk ke kelas dan berjalan menuju bangku masing-masing.
"Nih gue balikin." Summer sedikit terlonjak, ia baru saja meletakkan ranselnya di atas meja ketika suara Thunder terdengar bersamaan dengan jemari cowok itu yang meraih tangannya.
"Tanda perdamaian. Anggap aja buat bayaran plester lo kemarin." Thunder meletakkan gantungan Pikachu ke telapak tangan Summer, lalu menggenggam jemari cewek itu. "So, mulai sekarang kita temenan ya, cantik," ucap cowok itu lagi sambil tersenyum. Senyum manis yang terlihat tulus—bukan jenis senyum menyebalkan seperti yang lalu-lalu.
Seketika Summer mengerjap, terlalu terkejut dengan apa yang dilakukan cowok ngeselin itu. Bahkan sampai Thunder kembali ke bangkunya, Summer masih belum mengatakan apa-apa.
Apa cowok itu salah makan?
"Punya Summer beneran nggak sih ini?" Mengabaikan sikap aneh Thunder, Summer menatap gantungan kunci di tangannya dan cowok bergantian. Bingung. Teringat jika gantungannya yang asli ditemukan Kak Winter di mobil.
"Ih, ngeselin!" Sudahlah, entah yang mana gantungan Pikachunya yang asli, bagi Summer itu sudah tidak penting lagi.
"Katanya limited edition, nggak taunya pasaran! Yakali Summer sampai punya tiga!" Summer merengek, melempar gantungan kunci itu ke atas meja sambil menghentakkan kaki. "Mentang-mentang yang suka Pika-Pika banyak, jadinya dijadiin kesempatan buat nipu! Summer doain pabriknya bangkrut! Awas ajaaa!"
TO BE CONTINUED.
___________________
HOPE YOU LIKE IT!
Spam next yang banyak di sini dong!!!
Masih mau nungguin kelanjutan Summer Rain nggakkk?
SPAM NEXT YANG BANYAK KALAU KALIAN NGGAK SABAR BUAT LANJUT NEXT PART!!
***
Muka Rain pas pengen ngambek sama Summer, tapi nggak bisa :(
Summer lucu nggak?
Cie. Yang pengen temenan. Tulus nggak dia menurut kalian?
Ada yang mau jadi adeknya nggak?
Lebih suka Iris apa Summer?
*
Spam 🌧️ di sini kalau kalian masih setia di tim Rain ^^
Spam 🌤️ di sini buat yang sayang emaknya Pika-Pika!
Spam ⚡ di sini kalau kalian yang mau Thunder dikasih kesempatan.
Spam ❄️ di sini kalau kalian sayang Winter!!
AN :
Tuan Muda kasih payung ke Iris tuh. Ehem. Seneng nggak kalian?
Kalian paling suka interaksi Summer – Winter, Summer – Rain, atau Summer Thunder?
Dy sendiri, suka interaksi Summer – Winter di part ini. Mungkin ada dari kalian yang ngganggep Summer lebay sama cengeng banget—udah SMA masih aja nangis-nangis gitu gegara berantem sama Winter wkwkw. It's okay. Masing-masing orang pasti punya pendapat sendiri. Dy sendiri ngerasa Summer nggak lebay—soalnya jangankan pas SMA, udah mau lulus kuliah aja Dy kalau udah berantem sama adek suka sampai nangeees XD
Oh, ya. Pasti banyak dari kalian yang udah ikutin Dy sejak Dy bikin romance. Menurut pendapat kalian gimana sih vibe Summer Rain dibanding cerita romance Dy yang lain? Adakah persamaan? Atau malah bedanya kebangetan? Wkwkw
Last, jangan lupa share Summer Rain ke IG, Status WA, Tik Tok dan semua social media yang kalian punya—biar lebih banyak yang nemuu huhuhu. Makasih banyaaak udah mau ikutin sampai sini ^^
See you di next part, ya! Sayang kaliaaann!
With Love,
Dy Putina.
Istri Sah Jung Jaehyun
***
FOLLOW INSTAGRAM :
DYAH_AYU28
DAASA.STORIES
RAIN.GANENDRA
SUMMER.AIRLANGGA
THUNDER.DEAN
WINTER.AIRLANGGA
FREYA.DHARMAWANGSA
IRIS.DENADA
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro