14. Gimana Nggak Cinta?
Playlist : NCT Dream - Dive Into You
Hola SKYLINERS! Summer Rain update!
Jam berapa kalian baca inii?
Kamu vote keberapa?
Jangan lupa ramein komen sama votenya ya! Biar Dy makin semangatt!!
Happy reading. Sayang kalian ^^
*
14
"Jangankan berharap kamu merasakan hal yang sama, memikirkan saja aku tidak berani. Takut tenggelam dalam anganku sendiri, padahal kamu tak sehati."
--Summer Rain.
*
"Punya Summer kenapa nggak balance-balance, ya?" Summer merengut, menggigit ujung jempolnya sambil menatap buku tugas Akuntansi di atas meja lipat. Bingung dengan hasil neraca yang tidak seimbang.
Rain yang juga sedang belajar di meja belajarnya menyahut. Mereka memang sedang belajar bersama di kamar Rain. "Coba periksa lagi, siapa tahu kamu masukinnya ada yang salah."
"Udah bener kok. Udah Summer periksa bolak-balik juga dari tadi. Serius!"
"Masa? Coba sini lihat." Sementara Summer merengek, Rain menggeser kursi belajar berodanya agar mendekati ranjang yang ditempati Summer, kemudian menatap layar Macbook cewek itu. "Ck! Ini apa?" decak Rain sambil menunjuk sekumpulan angka yang tertera pada layar dan buku tugas Summer bergantian. "Ini harusnya kamu masukin debit, tapi malah kamu masukin kredit. Gimana mau balance?"
Summer menyengir. "Oh, salah berarti."
"Kamu tuh, ya. Berapa kali aku bilangin? Yang teliti!" ucap Rain sambil mencubit pipi Summer.
"Rain! Jangan cubit-cubit!" Summer merengek lagi, melepaskan cubitan Rain dan menatap sebal cowok itu. "Kebiasaan dasar. Lihat nih. Pipi Summer jadi chubby gara-gara Rain!"
Rain terkekeh. "Kan bagus."
"Bagus apanya?!"
"Nanti biar pipi kamu bisa nyaingin Pi—"
"Stop!" Summer memicing, menunjuk wajah Rain dengan pulpen. "Nggak usah bawa Pika-Pika. Rain tau nggak, gara-gara Rain, Lucas sama yang lain jadi ikutan tau! Suka ngejekin Pika-Pika!"
"Oh, iya?"
"Sumpah! Untung aja Pika-Pika baik, kalau nggak pasti dia udah ngamuk. Habis itu minta Rain tanggung jawab."
"Tanggung jawab gimana?" Rain tiba-tiba saja sudah memutar kursinya, membuat lengannya bersandar di sandaran belakang kursi. Tersenyum sembari memandang Summer geli. "Jadi bapaknya Pika-Pika, atau jadi pacar emaknya?"
"Ish! Apaan sih. Nggak usah sok jadi buaya kayak Lucas—nggak cocok! Sana belajar lagi!" Erang Summer sambil bergeser mendekati Rain, mendorong kursi cowok itu agar kembali ke tempatnya sementara Rain terkekeh geli.
Nyebelin. Padahal butuh usaha keras bagi Summer untuk menyembunyikan wajahnya yang merona hanya karena candaan cowok ini, terlebih ketika ingatannya memutar saat Rain mengakuinya sebagai pacar ketika berkelahi dengan Thunder. Keduanya sama-sama hal yang membuat jantung Summer berdegup cepat, dadanya juga jadi bergemuruh oleh rasa senang. Sayangnya, Summer tahu hanya dirinya yang merasakan itu. Rain tampak tidak menganggap semua itu serius.
Summer menggeleng pelan, berusaha memfokuskan lagi perhatian pada soal dan layar Macbook. Bodoh. Apa yang baru saja ia pikirkan? Mereka hanya sahabat. Bukankah Summer tahu, sejak awal dia tidak boleh berharap?
Waktu terasa berjalan lambat ketika keheningan hangat kembali menyelimuti mereka.
Summer mencoba fokus mengerjakan soalnya sendiri, sekalipun berkali-kali ia merasakan Rain melihatnya, memastikan ia tidak kesulitan seperti biasa. Hal yang selalu membuat dada Summer menghangat. Merasa diperhatikan. Ini sudah cukup—asalkan ia bisa terus bersama Rain seperti ini, Summer tidak perlu berharap hubungan mereka lebih dari ini.
Summer meletakkan penanya usai menyelesaikan satu soal, merenggangkan tubuhnya yang pegal—mengambil jeda sebelum mengerjakan soal yang lain sambil mengedarkan pandangan. Untuk ukuran kamar cowok—kamar Rain sangat rapi, bahkan lebih rapi dari kamar Summer. Designnya minimalis dengan dominasi warna hitam dan putih. Terdapat rak buku besar di dinding dekat pintu, penuh dengan buku-buku astronomi, ensiklopedia sampai komik-komik dan novel yang biasanya dibaca Summer. Foto-foto mereka berdua dari bocah sampai sekarang juga terpajang di rak, meja belajar Rain hingga dinding-dinding kamar. Membuat Summer jadi suka tidak tahu diri dengan menganggap ini kamarnya sendiri.
"Rain. Kalau Summer pikir lagi, temen cewek Rain cuma Summer ya?" tanya Summer tiba-tiba.
Rain memutar kursinya, menatap Summer. "Nggak juga. Ada Sophie, Eva, Karina."
"Yang deket banget maksudnya. Sama Sophie Eva aja Rain jarang banget ngomong," ucap Summer sambil meraih bantal Pika-pikanya yang entah sejak kapan tertinggal di kamar Rain—menjadi satu-satunya benda berwarna kuning yang menodai keestetikan kamar cowok itu. "Sophie, Eva sama Karina, Rain kenalnya juga gegara mereka temen Summer."
Rain tersenyum. "Bener juga."
"Bukan karena Summer, kan?" Summer memeluk erat bantal Pika-Pika, sedikit ragu untuk mengungkapkan kerisauannya selama ini. "Asal Rain nggak lupain Summer, Summer nggak masalah Rain punya temen cewek lain. Takutnya, selama ini Summer nggak sadar udah ngekang Rain sampai Rain nggak temenan sama yang lain."
Mata Rain memicing. "Kenapa tiba-tiba ngomong gitu? Aku nggak pernah ngerasa dikekang kamu."
"Masalahnya, banyak temen-temen yang mikir gitu. Rain bucin ke Summer, makanya nggak lirik-lirik yang lain. " Summer memajukan bibir. "Padahal kan nggak gitu. Emang gegara kita udah deket dari kecil aja, makanya nempel terus. Oh, itu lagi. Gara-gara Rain ngomong ke Thunder kalau Summer pacar Rain, sekarang di Skyline jadi makin kesebar kita pacaran beneran tau. Rain nggak keganggu?"
"Kamu keganggu?"
"Enggak sih. Tapi takut aja—"
"Ya udah biarin. Selama kita nggak rugi, biarin aja mereka ngomong gimana-gimana."
"Masalahnya itu bikin beberapa orang jadi benci Summer." Summer mencebik, teringat dengan bisik-bisik yang kerap kali ia dengar. "Nggak ngaruh sih, tapi tetep aja kadang bikin kepikiran dikit. Seringnya dibilang Summer kegatelan. Mentang-mentang deket sama Rain, Summer jadi bisa numpang nempel ke circle SIRIUS yang susah ditembus. Apalagi sekarang anak-anak jadi mikir kita pacaran beneran. Apa nggak makin-makin? Padahal kan nggak gitu."
Dalam sekelebat, Summer seakan melihat kilat marah di mata Rain. Hanya sekejab sebelum tergantikan dengan senyum jahil Rain. Membuat Summer merasa ia salah lihat.
"Pacaran beneran aja gimana?" goda cowok itu.
Summer terbelalak, segera menggeleng cepat untuk menyembunyikan jantungnya yang jumpalitan. "Nggak gitu juga Rain!" rengeknya.
"Terus maunya gimana?" Rain menggeser kursinya mendekati Summer, menatapnya serius. "Kalau pilihannya ngejauh dari kamu, aku nggak mau. Mending aku ratain Skyline aja."
Summer mendengus, melempar bantal Pika-Pikanya pada Rain. "Ratain-ratain! Emangnya Skyline punya kakek Rain?!"
"Punya Ayah."
"Tapi ya nggak gitu juga Rain! Bercandanya nggak lucu ish." Summer mencebik. "Lagian Summer juga nggak minta Rain ngejauhin Summer. Nggak bakal. Rain nih, awas aja kalau nanti ngejauh duluan!"
"Tuh, bercanda kamu juga nggak lucu. Mana ada aku gitu." Rain bangkit dari kursinya, ikut duduk di ranjang—tepat di samping Summer, lalu menyandarkan kepala di bahu Summer, memeluk cewek itu dari samping. Tangan Rain yang bebas meraih tangan Summer, membawanya ke kepalanya. "Dari pada dibuat mikir yang enggak-enggak, mending kamu elus kepala aku. Capek banget tau. Habis ujian, liburan kemana yuk nanti."
Debaran Summer kembali tidak karuan. Sambil berharap Rain tidak merasakannya, jemari Summer mengelus lembut rambut Rain sesuai keinginan cowok itu. "Ututututu. Kasin banget yang kecapekan. Tuan muda Rain jadi kumat deh manjanya," kekeh Summer. "Temen-temen yang lain ada yang tahu nggak, seorang Rain kalau udah kumat, manjanya bisa ngalahin Summer?"
"Kalau sampai ada yang tahu, ya berarti kamu."
"Lah, kok?"
"Kan manjanya cuma sama kamu."
"Bentar aja ya tapi. Tugas Summer masih belum selesai," kata Summer cepat—sengaja agar dirinya tidak terlalu memikirkan ucapan Rain. Cuma kamu—nyebelin! Apa Rain tidak tahu itu kata-kata berbahaya yang membuat Summer selalu jadi berharap lebih? Merasa paling spesial. "Katanya habis ini juga mau ke café tempat Lucas kerja bareng anak-anak."
"Heem. Sisa tugasnya dikerjain di sana aja."
"Yaudah habis ini Summer beres-beres. Naik motor, ya? Katanya kemarin Ayah kasih Rain motor baru. Summer pengen cobain naik motor."
Rain menggeleng. "Kapan-kapan aja, jangan sekarang. Kamu masih belum pernah naik motor."
"Ish! Tapi Summer pengen!"
"Café Lucas lumayan jauh. Kalau tiba-tiba hujan, terus kamu flu lagi, siapa yang repot?"
"Bodo. Rain nyebelin!"
"Biarin."
"Yaudah sana! Nggak usah manja-manja lagi sama Summer," dengus Summer sambil mencoba mendorong Rain menjauh. Gagal—karena yang ada, Rain makin memeluknya erat seperti koala.
"Rain, ish!"
"Protes lagi, kamu nggak aku ajakin."
"Dih. Di luar doang Tuan muda kalem. Nggak Taunya suka ngancem," dengus Summer, yang hanya ditanggapi tawa rendah Rain.
***
"Ini Chocolate Macchiato spesial buat Bu Boss. Biar makin semangat nugasnya," ucap Lucas sambil meletakkan minuman Summer di atas mejanya, begitu pula dengan minuman Rain, Rendi, Teye dan Jojon. Mark tidak ikut, katanya ia harus mengantarkan anjingnya ke dokter.
"Makasih," respon Summer.
Rendi langsung menimpali. "Pake sok nyemangatin! Tugas sendiri udah belum?"
"Lah rak opo jare aku. Julid ae lambemu!" (Lah, kan apa kata aku. Julid ae lambemu!).
"Awas! Engkok ojok nyeleh nekku!" (Awas! Nanti jangan pinjem punyaku!)
"Iya, nggak janji," ucap Lucas sambil mengerling, sebelum kemudian meninggalkan meja mereka—bergegas melayani meja yang lain. Masih jam delapan malam, tapi café tempat Lucas bekerja sudah cukup ramai, nyaris semua meja sudah terisi. Untungnya, cowok itu sudah menyediakan meja bunder besar untuk mereka di lantai satu, tepat di dekat dinding kaca yang memperlihatkan view taman minimalis di luar. Yang kemudian Summer jadikan tempat untuk meletakkan Macbook, alat tulis dan buku tugasnya.
"Cas—cas! Kok iso seh aku nduwe konco koyok awakmu! Asyuu tenan!" (Kenapa sih, aku bisa punya temen kayak kamu? Anjing banget!) omel Rendi sembari mencomot roti panggangnya, hal yang membuat Summer yang masih fokus dengan tugasnya menggeleng sambil tertawa kecil, sangat tahu jika kata-kata kasar itu adalah hal yang makin mengeratkan mereka semua.
"Ada yang susah lagi, nggak?" tanya Rain di samping Summer. Rendi sendiri sudah beranjak—menghampiri Jojon dan Teye yang sudah bermain billiard di ujung ruangan lebih dulu.
Summer menggeleng. "Masih bisa, kok, Rain kalau mau main duluan gapapa. Refreshing. Tadi katanya capek," ucap Summer. Berbeda dengannya, ternyata Rain sudah selesai mengerjakan semua tugasnya sebelum berangkat. Untungnya, Summer sudah berhenti terheran-heran dengan cara cowok ini mengerjakan tugas mereka yang sulit secepat itu. Lalu, Summer mendongak, mencebik mendapati cowok itu masih di dekatnya. "Dibilangin sana main, gabung sama yang lain. Kalau ada yang nanti nggak bisa, Rain pasti Summer panggil."
"Yaudah, aku ke sana dulu ya." Rain bangkit berdiri, jemarinya terulur, mengacak puncak kepala Summer. "Jangan kemana-mana. Nanti diculik orang."
"Emangnya Summer bocil?" omel Summer, Rain hanya tersenyum kemudian bergabung dengan yang lain.
Summer menyempatkan diri untuk meminum Chocolate Macchiato-nya sebelum melanjutkan mengerjakan tugasnya. Dari Mbok Nurlam, Summer tahu jika minggu ini Papanya akan pulang. Dengan hasil les piano yang sudah keluar, Summer tahu—siap tidak siap, dia pasti akan dimarahi melihat betapa jauh nilainya dengan Annisa. Untuk sedikit meredakan kemarahan Papanya, paling tidak Summer harus membuat Papanya puas dengan nilai-nilainya yang lain.
"Semangat Summer! Bisa kok, bisa!" Summer menggumam pelan, menyemangati dirinya sendiri. Tidak boleh mengeluh, apalagi paling tidak hari ini dia bisa sedikit mengilangkan penat dengan mengerjakan tugasnya di luar. Seperti biasa, selain ketika di sekolah, bersama Rain adalah waktu di mana Summer bisa sedikit menghela napas.
Summer sudah fokus dengan tugasnya ketika suara berikut getaran dari ponsel Rain yang ada di atas meja mengambil perhatiannya. Sebuah panggilan, dari kontak yang belum tersimpan.
Meraih ponsel cowok itu, Summer sudah akan memberitahu Rain ketika panggilan itu terputus lebih dulu. Menampakkan wallpaper ponsel berupa foto Summer ketika berhasil membawa cheerleaders SMP mereka menjuarai kompetisi tingkat nasional bersamaan dengan tim basket yang dipimpin Rain. Summer merengut, menatap wallpaper itu sebal. Bahkan setelah waktu telah berlalu, Rain masih saja tidak mau berhenti menggodanya—memajang foto yang menurut Summer jelek karena tersenyum dengan mata menutup. Pipinya juga terlihat tembam.
Summer berniat memprotes, ketika panggilan lain kembali menggetarkan ponsel cowok itu. Lagi-lagi dari nomor yang belum tersimpan.
"Rain! Ada telpon!" Summer sedikit berteriak, sengaja agar suaranya bisa terdengar di tengah café yang sedikit ramai.
Rain yang sudah memegang tongkat billiard menoleh, lalu berjalan menghampiri Summer. "Siapa?"
"Nggak tau. Nggak ada namanya," ucap Summer sambil menyodorkan ponsel Rain. Bibirnya mencebik. "Wallpaper Rain kenapa masih belom diganti? Ngeselin! Summer di sana jelek tahu!"
Rain terkekeh, mengambil ponselnya. "Bentar. Mau angkat telpon dulu."
"Awas aja kalau masih tetep!" Tidak ada jawaban, Rain hanya mengerling sebelum beranjak keluar ke halaman samping café—menghindari kebisingan untuk menjawab telpon.
Tanpa sadar, tatapan Summer terus tertuju pada cowok itu. Bertanya-tanya, kenapa cowok selalu terlihat jauh lebih tampan ketika mengenakan kaos warna hitam, seperti Rain sekarang. Akan tetapi, detik selanjutnya Summer menggeleng cepat—segera fokus ke tugasnya lagi usai sadar ia sudah memikirkan hal yang tidak penting.
Tidak lama dari itu, Rain kembali.
"Udah diganti?" Summer bertanya sambil meraih ponsel Rain yang kembali cowok itu taruh di meja. "Ih, Rain! Dibilangin ganti!"
"Lucu tau."
Summer merengut. "Mana ada! Rain, ish! Sukanya godain Summer mulu!"
"Barusan yang nelpon Iris, ngomongin Olimpiade," ucap Rain. Summer mengernyit, tidak mengerti kenapa cowok itu mengatakannya, padahal Summer tidak bertanya.
"Terus?" tanya Summer. Kemudian, melihat Rain mengambil ponselnya, Summer sadar jika cowok ini sengaja mengalihkan perhatian. "Ih, Rain! Ganti dulu foto Summer!"
"Dia mau ke sini, mumpung katanya dia lagi nggak jauh. Mau kasih soal sama ada yang mau didiskusiin sebentar. Gapapa kan?"
Summer menghela napas panjang, menatap Rain jengkel. Tidak paham kenapa Rain masih harus menanyakan hal remeh seperti itu. "Ya gapapa. Sekarang ganti wallpaper Rain dulu! Summer malu kalau temen-temen Rain lihat. Mata Summer merem! Niat godain juga ada batasnya kali," rengek Summer.
"Siapa juga yang niat godain." Rain mengambil tempat di samping Summer, lalu mulai mengotak-atik ponselnya. Summer ikut melihat, memeriksa apakah kali ini Rain benar-benar akan memenuhi keinginannya—tapi, cowok itu malah membuka fitur kamera. "Lihat sini. Pose yang bener. Ntar ngerengek lagi."
Summer mengernyit. "Hah?"
"Foto bareng. Buat ganti yang tadi," kata Rain sambil bersiap mengambil foto selfie. Melihat Summer yang masih saja diam, cowok itu menoleh. Menatap Summer gemas. "Nggak jadi diganti nih?"
Summer mengerucutkan bibir, hendak memprotes. Akan tetapi melihat raut wajah Rain yang seperti sudah siap menangkal semua protesnya, Summer terkekeh, "Susah emang jadi orang imut, fansnya banyak," kata Summer sambil merangkul lengan cowok itu dengan sebelah tangannya, sementara tangannya yang bebas membentuk tanda finger heart ketika menghadap ke kamera.
Rain hanya tesenyum geli, kemudian mengambil beberapa gambar mereka berdua dengan pose yang berbeda. Tertawa ketika pada akhirnya Summer selalu memprotes tiap kali mendapati matanya menyipit tiap kali ia tersenyum.
"Jelek ah, jelek! Nggak mau!" protes cewek itu. "Udah, ah! Ganti gambar Pika-Pika aja deh Rain, kayak punya Summer!"
"Pika-pika yang ini?" Rain tersenyum, mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, lalu memamerkannya ke depan wajah Summer. Seketika mata Summer membulat, mendapati Rain sedang memegang gantungan Pikachu limited edition seperti miliknya yang diculik Thunder.
"Pika-Pika! Rain! Dapet dari mana?!" teriak Summer sambil mengambil gantungan Pikachu itu. Berbeda dengan Thunder yang tidak mau mengembalikan gantungan kunci itu padanya, Rain langsung memberikannya pada Summer.
"Udah dari kemarin-kemarin sih nemu yang jual. Tapi karena sibuk basket, baru bisa COD-an tadi. Mark yang akhirnya ngambilin. Terus dititipin ke Lucas gara-gara harus meriksain anjingnya. Makanya kita ke sini."
Summer menatap gantungan Pikachunya dan Rain bergantian dengan tatapan tidak nyaman. "Habis berapa ini? Mahal ya?"
"Balikin sini kalau nggak mau," ucap Rain sambil mengulurkan tangan—meminta gantungan itu dari Summer. Tentu saja, Summer meresponnya dengan menjauhkan gantungan Pika-Pikanya sambil menggeleng cepat.
"Nggak boleh diambil lagi, kan udah dikasih Summer. Makasih ya." Summer tersenyum, lalu menatap sedih ketika menatap Pikachunya lagi. "Gara-gara si Thunder nyebelin nih. Rain jadi repot-repot beli. Tega banget dia emang, bisa-bisanya nyulik Pika-Pika Summer! Padahal Summer kan cuma rebut susu pisang dia doang."
Rain mengernyit. "Susu pisang?"
"Lupain—lupain. Nggak penting." Summer tersenyum, menahan ringisan, kesal sendiri karena keceplosan.
Untungnya, Rain tidak berusaha mencari tahu lagi. Cowok itu bangkit berdiri, berniat kembali ke teman-temannya. Tapi, sebelum itu dia mengacak puncak kepala Summer. "Lain kali, nggak usah berurusan sama dia lagi. Kalaupun harus dan dia ngapa-ngapain kamu, kasih tau aku," ucap Rain tegas, tapi dengan tatapan lembut. "Siapapun yang gangguin kamu atau bikin kamu nggak nyaman, kasih tahu aku. Nggak peduli siapa lawannya, aku pasti bakal terus ada di pihak kamu," janji cowok itu.
TO BE CONTINUED.
___________________
HOPE YOU LIKE IT!
Pilih MASUK GENGNYA RAIN atau GENGNYA THUNDER?!!
Spam next yang banyak di sini dong!!!
Spam 🌧️ di sini kalau kalian pendukung Rain garis keras ^^
Spam ⚡ di sini kalau kalian masih punya rasa percaya sama Thunder!
Spam 🌤️ di sini kalau kalian suka Summer!
Spam ❄️ di sini kalau kalian pengen Winter nongol lagi wkwkw
***
AN :
MENURUT KALIAN, PERASAAN RAIN SAMA SUMMER ITU GIMANAAAA?
Part ini full sama Summer & Rain yaaa. Tanpa gangguan wkwkkw. Nggak ada Thunder, nggak ada Freya, Iris, apalagi Winter. Isinya adegan uwu doang.
Part selanjutnya Iris Denada muncul. Asal kalian tahu, Iris ini tipe tokoh utama banget! Kalau di novel-novel lain, si Iris ini biasanya yang jadi tokoh utamaaa. Kalem, pinter—baik. Kayaknya kalian bakal suka :') Tapi di Summer Rain, malah Summer yang jadi tokoh utamanya wkwkwk. Efek authornya yang nggak percaya jodoh lintas kasta—padahal cowok idamannya yang kayak Jung Jaehyun sama Kim Mingyu. Bener-bener tidak tahu diri sekali yaaaa :')
Oh, ya. Sekalipun judulnya Summer Rain—nggak melulu Summer jadiannya sama Rain ya. Tapi, tenang deh. Dy ini pecinta happy ending, entah happy ending versi apa. Dan, Dy juga mau pesen sama kalian—jangan terlalu membenci tokoh yang muncul. Sama kayak hidup, di cerita ini tiap tokohnya juga nggak bisa dibedain dalam warna hitam sama putih. Kalau mereka keliatan baik, mungkin karena kamu lagi mandang lewat sudut pandang mereka. Kalaupun mereka jahat—pasti ada alasannya. Persis kayak yang dibilang bundanya Rain.
Last, yang mau Dy tekanin banget. Karakter di Summer Rain, tetep di Summer Rain yaaa. Jangan bawa-bawa sama castnya di dunia nyata. Jadi, misal nanti kalian sebel banget sama Thunder—jangan sampai bikin kalian jadi benci Ong. Sumpah, di dunia nyata, cast yang jadi Thunder itu orangnya kayak Lucas wkwkkw. So, jangan baper-baper wkwkw
See you di next part! Sayang kalian semuaaa!!!
With Love
Dy Putina
Istri Sah Kim Mingyu.
***
FOLLOW INSTAGRAM :
DYAH_AYU28
DAASA.STORIES
RAIN.GANENDRA
SUMMER.AIRLANGGA
THUNDER.DEAN
WINTER.AIRLANGGA
FREYA.DHARMAWANGSA
IRIS.DENADA
FOLLOW TIK-TOK :
GODDESS_DY
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro