10. Petir Datang
Playlist : Weeekly – After School
Kaget nggak update lagi? Wkwkw
Jam berapa kalian baca ini?
Siap tekan bintang dan ramaikan komentar? ^^
Happy reading. Sayang kalian ^^
*
10
*
Rain aja udah cukup buat Summer.
—Summer Zefanya Airlangga
*
"Sum, bangun. Makan dulu bentar, terus minum obat." Panggilan Rain dan goncangan di tubuhnya membangunkan Summer. Pusing. Summer mengerjap ketika lampu utama kamar yang sudah dihidupkan membuatnya silau.
Summer menggeleng, makin menenggelamkan wajahnya ke bantal. "Nggak mau. Summer pusing. Mau tidur."
"Bentar aja, habis ini tidur lagi. Biar besok udah mendingan," bujuk Rain sambil menarik tangan Summer—memaksanya bangun. "Ayo dong. Ini Mbok Nurlam udah repot-repot bikinin kamu bubur loh. Nggak kasian?"
"Kok bisa Mbok Nurlam tau," gerutunya. Mau tidak mau Summer beranjak duduk sekalipun dengan kepala yang terasa berdentum, memosisikan diri untuk bersandar di kepala ranjang. "Pasti Rain yang bilangin. Nyesel Summer angkat telpon Rain."
Ketika pulang tadi, Summer sudah merasa tidak enak badan, tapi ia sengaja langsung masuk ke kamar agar tidak merepotkan siapa pun. Apalagi ia juga sempat bertemu Winter di ruang tamu, sedikit berdebat ketika kakaknya itu memarahinya karena apa yang terjadi di sekolah. Pembuat masalah—memangnya apa lagi yang Winter bisa pikirkan tentangnya?
"Aku juga nyesel nelpon kamu, harusnya kan sekarang udah main sama yang lain."
Sementara Rain mengambil mangkuk bubur di atas nakas, Summer beberapa kali terbatuk—terdengar cukup parah hingga Rain menatapnya khawatir.
Bibir Summer mencebik. "Ih! Jadi nyalahin Summer. Summer kan nggak minta." Lagi, Summer terbatuk. "Mau pergi ya pergi aja. Rain main, Summer tidur. Beres."
"Mana bisa pergi kalau tau kamu gini?"
"Ya tinggal pergi aja."
"Keras kepalanya disimpen buat nanti aja, kalau udah sembuh." Rain mengacak rambut Summer, duduk di sampingnya dan mulai menyuapkan bubur. "Lagian kamu itu bego banget! Bisa-bisanya kehujanan. Habis les ngapain?"
"Tadi sambil nunggu Pak Ilham, Summer ke mini market dulu, beli susu pisang." Summer meringis, bukan karena tatapan memicing Rain, tapi karena adegan pencurian tadi berputar di kepalanya. Kalau dipikir-pikir lagi, itu malu-maluin. "Pas lagi jalan buat balik ke tempat les, eh, hujan."
"Makan lagi," ucap Rain sambil mengulurkan satu sendok berisi bubur kepada Summer. "Lain kali nggak usah aneh-aneh. Sakit cuma perkara susu pisang. Ntar kalau mau lagi, bilang aku. Biar aku beliin satu kardus, habis itu habisin."
Summer hanya mencebik mendengar omelan dan ucapan sarkas Rain. Padahal biasanya ia pasti akan mendebat Rain, tapi kali ini Summer seakan tidak punya tenaga. Lemas karena terlalu sering batuk, kepalanya juga masih pusing.
Diam-diam Summer memperhatikan wajah serius Rain ketika menyuapinya, berdebar dalam diam melihat betapa perhatiannya cowok itu. Siapa cewek yang tidak akan jatuh jika terus diperlakukan dengan cara seperti ini?
Summer kerap kali mendengar, katanya anak bungsu itu akan selalu mendapat perhatian, dimanjakan, diutamakan, tapi entah kenapa Summer merasa itu tidak benar. Mamanya terlalu sibuk, Papanya hanya peduli untuk mencetaknya menjadi se-sempurna Kakaknya, sementara Winter terlalu sibuk membencinya, menghakimi semua kekurangan Summer tiap kali bertemu. Tidak apa-apa. Summer tidak akan mempermasalahkan itu semua, dia masih punya Rain. Setidaknya masih ada Rain.
"Udah." Summer menolak melanjutkan makan setelah suapan kelima. Pusing, Summer juga merasa tidak sanggup makan lagi.
"Terakhir," bujuk Rain.
Summer menggeleng. "Nggak mau. Yang tadi juga kata Rain terakhir," ucap Summer sambil terbatuk.
"Ya udah, langsung minum obat kalau gitu." Sekali pun keningnya mengernyit, Rain mengalah, kembali menaruh mangkuk di atas nakas, lalu meraih obat dan air minum yang sudah tersedia di sana.
"Tadi mau main sama siapa?" tanya Summer setelah meraih gelas minuman dan obatnya, teringat dengan ucapan Rain tadi. Padahal setahunya, biasanya cowok ini selalu mengajaknya tiap mau keluar bersama teman-teman yang lain, itu pun tidak sering.
"Temen-temen, kumpul-kumpul doang sih di café tempat Lucas kerja. Rencananya tadi nelpon buat ngajakin kamu juga," jawab Rain sambil memperhatikan Summer yang meminum obat. Begitu Summer selesai, cowok itu langsung mengambil gelasnya. "Nah, sekarang udah baru tidur."
"Balik sana, katanya mau main."
"Habis ini, kamu tidur dulu."
Summer mengangguk, ia sudah akan menempatkan posisi tidurnya ketika pintu kamarnya terbuka. Winter sudah berdiri di ambang pintu ketika Summer menoleh, menatapnya dan Rain bergantian dengan kening mengernyit.
"Mau ngapain?" tanya Summer dengan suara serak.
Tidak ada jawaban. Winter hanya beralih menatapnya lagi selama beberapa detik, kemudian berlalu tanpa menutup pintu.
"Ish! Kebiasaan! Kenapa sih jadi orang ngeselin banget," omel Summer sambil meraih boneka Pika-Pika. Pasalnya, bukan hanya sekarang, sering kali ketika Summer sedang belajar, menonton film, atau bahkan hanya berbaring tidak jelas di ranjangnya, Winter kerap kali membuka pintu—melihat-lihat tanpa mengatakan apa-apa, kemudian pergi tanpa menutup pintu lagi.
"Gausah dipikirin. Tidur aja, apalagi lagi sakit. Tadi kata Mbok Nurlam kalian berantem ya?"
Summer mengangguk, menutup mata sambil memeluk Pika-Pika. "Kak Winter marah gegara tau Summer berantem. Ya emang bener sih kata dia, tingkah Summer malu-maluin," jawab Summer dengan nada menyesal. "Tapi, yang bikin Summer sedih, Kak Winter nggak pernah tanya penyebabnya. Paling nggak, Kak Winter biarin Summer ganti baju dulu gitu sebelum marah-marah. Summer terlalu ngarep ya, Rain? Mana pernah Kak Winter peduli Summer."
"Udah, tidur sana." Selain ucapan itu dan elusan di kepalanya, tidak ada jawaban dari Rain. Mungkin karena jawabannya hanya akan menyakiti hati Summer. Tidak apa-apa, toh tanpa jawaban Rain, Summer juga sudah tahu.
***
"Mbok Nurlam beneran nggak lihat gantungan Pika-Pika Summer?" Summer bertanya sambil berjalan menuruni tangga, sudah rapi dengan seragam dan jacket abu-abu yang serasi dengan rok abu-abu kotak-kotaknya. Tali ransel Summer hanya terpasang sebelah, Summer membawa tasnya ke depan tubuh sambil memegang resleting yang harusnya menjadi tempat gantungan Pikachu.
"Nggak, Non. Tadi udah Mbok cari sampai ke depan-depan, tapi belum ketemu. Nanti Mbok coba cari lagi."
"Yah, masa ilang." Summer mencebik, wajahnya yang pucat tampak makin muram begitu berjalan menuju meja makan. Winter sudah duduk di sana, tampak memainkan ponsel sebelum mata tajamnya ganti menatap Summer.
"Apa?! Summer belum telat. Nggak usah marah-marah," dengus Summer sambil beranjak duduk. Terbatuk, tapi tidak separah semalam.
"Siapa juga yang mau marah-marah?"
"Biasanya kan gitu."
"Emang aku gila? Kalau kamu udah bener, siapa yang mau marah?"
"Emang di mata Kakak, kapan Summer pernah bener?"
"Winter, Summer ... kenapa sih masih pagi udah berantem aja?" Suara Scarlett terdengar, perempuan itu mendekat ke meja makan, lalu meletakkan sandwich di atas piring Winter dan Summer. "Summer yakin mau sekolah? Nggak izin dulu aja?" tanya Scarlett lagi sambil memeriksa kening Summer. "Ini badan kamu masih agak panas. Istirahat di rumah dulu aja, ya? Biar habis ini Mama panggilin dokter."
"Nggak usah, Ma. Lagian hari ini ada ulangan Sosiologi," jawab Summer sambil mencomot sandwich. Summer sudah belajar pagi-pagi tadi, menggantikan jam belajar malam yang terlewat karena sakit. Sayang jika dia harus mengikuti ulangan di hari yang lain. Tapi bukan hanya karena itu. Dibanding harus beristirahat sendirian di rumah, Summer lebih suka berangkat ke sekolah. Lagi pula, tubuhnya sudah terasa lebih baik.
"Yaudah, lain kali kalau sakit langsung telpon Mama, biar Mama langsung pulang. Untung semalem ada Rain sama Kak Winter."
Ucapan Mamanya soal Rain memang benar, tapi ... Winter? Tidak ada pengaruhnya, Summer merasa sampai ia tidur, cowok itu tidak sekali pun masuk ke kamarnya lagi. Tapi, Summer memilih diam, hanya mengangguk, enggan membesar-besarkan hal yang tidak penting.
"Summer kalau ngerasa nggak sanggup sama jadwalnya, nggak usah dipaksain, biar Mama yang bilang sama Papa," ucap Scarlett lagi.
"Nggak usah, Ma. Summer masih bisa, kok."
"Kamu tuh harus bersyukur. Aku dulu nggak pernah ditawarin pengurangan jadwal gitu," timpal Winter.
Summer menatapnya sebal. "Terus aja banding-bandingin. Ngiri ya?"
"Bukannya ngiri, cuma sebel aja. Tapi hidup kamu itu udah enak. Papa marah karena nilai kamu kurang, Mama ngggak terima. Padahal dulu kalau aku gitu, yang marah ya dua-duanya."
"Summer juga pernah kok dimarahin Mama. Kak Winter aja yang nggak tau!"
"Semarah-marahnya Mama sama kamu, tetep beda lah. Kamu mah nggak pernah ngerasain rasanya jadi anak pertama."
"Lah, emang menurut Kakak jadi anak terakhir itu enak?"
"Paling nggak, tekanan hidupnya nggak gitu berat."
"Iya deh, serah. Emang Kak Winter yang paling oke." Summer berkata sarkas, tidak ingin memanjangkan perdebatan, sementara Scarlett hanya menggeleng pelan melihat perdebatan keduanya.
Setelah itu sarapan hanya diisi oleh keheningan. Percuma, jika pembicaraan ini diteruskan, Summer tahu mereka hanya akan adu nasib. Di mata Winter pasti akan tetap merasa hidup Summer yang paling nyaman, sekalipun kenyataannya tidak seperti itu. Winter mungkin menganggap Summer yang paling dimanjakan, padahal Summer merasa di rumah ini pemegang kasta tertinggi tetaplah Winter. Berbeda dengan Summer, pendapat Winter sebagai anak pertama selalu didengar, terutama oleh Papa. Summer bahkan tahu, Scarlett sendiri kerap kali harus mengatakan keinginannya lewat Winter agar disetujui Jeremia.
"Ayo, aku anterin." Hingga ucapan Winter yang tidak biasa membuat Summer langsung menatapnya. Aneh. Emangnya ada angin apa?
Summer menggeleng, meraih susu hangatnya. "Nggak usah, udah sama Rain. Ntar Kak Winter repot."
"Nggak repot. Sekalian ada yang mau diurus sama Yayasan juga." Tentu saja, mana mungkin kakaknya ini menawarinya tanpa sebab.
Summer tidak kunjung menjawab, memilih meneguk susu hangatnya lebih dulu. "Tetep berangkat sendiri-sendiri aja. Biasanya Summer juga sama Rain," tolak Summer, berangkat dengan Winter sama saja dengan memberi kesempatan perdebatan mereka berlanjut di dalam mobil. Bersamaan dengan itu Rain datang, membuat Summer buru-buru berdiri. "Ma, Summer berangkat. Ayo, Rain."
"Males banget gue lihat muka lo mulu. Kapan resign jadi sopir adek gue?" decak Winter melihat Rain mendekat.
"Winter, nggak boleh gitu...." Scarlett memperingatkan, lalu ganti menatap Summer. "Hati-hati, ya. Langsung kabarin rumah kalau nanti nggak enak badan, biar Pak Ilham jemput." Summer mengangguk sambil tersenyum. Menyembunyikan perasaannya jika sebenarnya dibanding Pak Ilham, Summer lebih suka mendengar ucapan Scarlett yang akan menjemput.
"Rain, Tante titip Summer, ya."
"Apa sih, Ma. Nitip-nitipin Summer sama dia," gerutu Winter.
"Iya, Tante." Seperti biasa, Rain mengabaikan Winter, kemudian ia meraih ransel Summer lebih dulu dan beranjak bersama Summer. "Udah nggak ada yang ketinggalan, kan?"
"Udah kayaknya, tapi gantungan Pika-Pika Summer ilang."
"Terakhir kali lihat di mana?"
"Pas pulang sekolah masih ada kok. Habis itu nggak tau, lagi dicariin Mbok Nurlam disekitar rumah. Siapa tahu keselip," ucap Summer muram. "Sedih banget sih kalau ilang beneran. Pengen nangis. Rain kan tau sendiri itu Summer bela-belain beli di Jepang."
"Dibilangin pas itu dilepas aja. Aku coba cariin yang baru habis ini. Siapa tau ada yang jual."
"Nggak usah. Kalau emang ilang, ya udah gapapa. Nggak mau kalau bukan punya Summer sendiri," tolak Summer. Selain karena akan sangat sulit menemukan orang yang menjual gantungan Pikachu Limited Edition seperti miliknya, kalau pun ada harganya pasti sangat mahal. Yang Summer dapatkan kemarin saja sudah seharga motor, hasil tabungannya selama beberapa bulan. Summer tidak mau merepotkan Rain untuk hal seperti itu.
"Apa nih?" Summer baru masuk ke mobil Rain ketika ia menemukan paper bag coklat di sebelah kursinya.
"Kue cokelat. Yang Bunda bikin kemarin masih ada. Ambil aja, biasanya kan kamu doyan," ucap Rain sambil mulai mengemudikan mobilnya.
Senyum Summer mengembang lebar, ia memangku paper bag itu sambil menatap Rain menggoda. "Cie, tuan muda inget sama Summer, nih?"
"Sebenernya sih nggak, niatnya tadi mau aku makan sendiri." Rain lalu menoleh, tersenyum geli. "Tapi buat Emak Pika-Pika aja deh. Kasian, kan anaknya baru aja ilang."
Seketika Summer mencebik. "Ish, Rain! Kenapa Summer diingetin lagi?!"
***
"Summer, Summer—Summer! Sini!" Summer baru turun dari Ferrari Rain ketika teriakan Eva membuatnya menoleh. Cewek itu tampak berlari kecil ke arahnya tanpa membawa tas. Sepertinya Eva sudah masuk sebelum kembali ke parkiran lagi. "Dari tadi aku nungguin kamu sama yang lain! Ada kabar penting! Kamu mesti tau!"
Summer mengernyit. "Kabar penting apa?"
"Ada anak bar—"
"BU BOSS UDAH SEMBUH?!" teriakan Lucas memotong ucapan Eva, sekaligus membuat Summer menoleh pada Lucas yang seperti biasa sudah berkumpul dengan gengnya. Rain sudah menghampiri mereka, sementara Lucas menatap Summer jahil. "HARUSNYA SIH IYA. KAN UDAH DIJAGAIN PAK BOSS."
"Apaan sih!" dengus Summer, menatap sebal Lucas. Teriakan Lucas begitu keras, seakan memang sengaja membuat semua di parkiran mendengarnya. Berhasil, Summer merasa beberapa pasang mata menatap ke arahnya. "Rain! Tolong dong, itu temennya dikarungin dulu."
"Nggak sekalian dikasih makan buaya?" timpal Mark.
Eva ikut berdecak. "Yang ada malah buayanya kerasukan buaya!"
"Duh, Neng Eva bisa aja." Lucas terkekeh, meresponsnya dengan kerlingan mata. "Cemburu ya, aku godain Bu Boss?"
"Dih. Ngapain?"
"Ah, masa. Nggak usah malu-malu meong, kalau cemburu tinggal bilang aja." Lucas berpose dengan menempelkan jempol dan telunjuknya di bawah dagu. "Aku pastiin! Hubungan kita nggak bakal gantung kayak sebelah."
"Sindir teroosssss," timpal Rendi sambil mencekik leher Lucas menggunakan lengannya.
Melihat itu, Eva menggeleng pelan. "Emang rada stress itu anak."
"Makanya, nggak usah ditanggepin," ucap Summer. Bersama Eva, ia ikut berjalan menuju gedung sekolah di belakang geng Lucas. "Tadi Eva mau ngomong apa deh?"
"Ah iya! Ada anak baru tau, Sum! Cowok. Namanya Thunder Dean Candrakusuma. Pindahan dari Jakarta. Pasti tau kan keluarga Candrakusuma? Sekelas lah sama Rain. Eh, kamu juga ding." Eva menyengir. "Nah, si Thunder masuk ke kelas kita! Anaknya cakep banget, sumpah! Tapi katanya sih, tingkahnya kayak setan."
"Kayak setan gimana?" dari semua info yang Eva berikan, hanya hal itu yang menarik perhatian Summer.
"Katanya dia sering pindah-pindah sekolah karena sering dikeluarin. Kalau nggak tawuran, ya berantem. Terakhir, katanya dia dikeluarin karena matahin kaki temannya, sampai masuk rumah sakit."
Summer mengernyit ngeri. "Ih, masa sih. Sekelas Skyline nerima anak kayak gitu."
"Sumpah! Aku juga nggak tau gimana ceritanya, mungkin karena power keluarganya kali, ya. Yang jelas informannya terpercaya!"
"Jangan bilang si Angel?" tebak Summer. Siapa lagi lambe turah SKYLINE jika bukan cewek itu. "Yakin terpercaya? Kasian kalau ternyata nggak bener, tapi dianya udah dicap enggak-enggak."
Eva menggaruk tengkuk, terkekeh garing, membuat Summer memutar bola matanya. Akan tetapi, setelah itu jemari Eva menunjuk motor Ducati Monster merah metalik yang terparkir tidak jauh dari mereka.
"Tapi, kayaknya beneran deh. Itu motornya. Pas dia datang tadi, suara knalpotnya rame sendiri. Kayaknya dimodif. Tampilannya juga kayak ketua geng."
Summer mengernyit, memperhatikan motor yang terasa familiar. Summer merasa ia pernah melihatnya entah di mana. Tapi, Summer mengabaikan itu, toh motor dan anak baru yang katanya berandal itu sama sekali bukan urusannya. Sembari terus mendengar ucapan antusias Eva tentang info-info yang cewek itu dapat mengenai cowok itu, Summer terus berjalan menuju tempat loker.
"Gimana nih, Tuan muda. Kayaknya secret admirernya udah bosen. Tuh, nggak ada kiriman surat sama susu kotak lagi." Suara Lucas terdengar samar-samar, membuat Summer meringis diam-diam. Ia merutuk Freya dalam hati, teringat jika cewek itulah yang membuatnya sampai lupa menyelipkan surat di loker Rain. "Sum?! Ada pendapat?"
Summer mendengus, menatap Lucas sebal, lalu membuka loker. Enggan menanggapi segala godaan cowok itu.
"Sum! Sum! Itu loh orangnya, lagi jalan ke sini dari lorong sebelah kanan. Sumpah! cakep bangeeett. Auranya ya Tuhan!" Summer masih mengambil beberapa barangnya di loker ketika telunjuk Eva berkata heboh sambil menoel-noel pundaknya. "Sum! Liat sebentar, dong! Apa terobos aja ya? Siapa tau, se-setan-setannya dia, kalau sama pacar ntar berubah jadi kayak cowok-cowok bad boy bucin di Wattpad."
"Eva mah kebanyakan baca wattpad." Summer menghela napas panjang, menatap Eva bosan, kemudian mengedarkan pandangan—berusaha mencari cowok yang dimaksud Eva. "Lagian kayak apa sih anaknya?"
"Itu! Yang bajunya dikeluarin sama almamaternya ditaruh pundak. Lagi jalan ke sini!"
Bersamaan dengan ucapan Eva, mata Summer terbelalak begitu menemukan sosok itu.
Tidak—tidak. Summer reflek berbalik, menatap bagian dalam loker lagi—berusaha menutupi kepalanya dengan pintu loker yang masih terbuka. Bagaimana bisa murid baru di kelas mereka adalah cowok yang baru kemarin susu pisangnya Summer rampas?!
"Yah, udah lewat," ucap Eva dengan nada lemas.
Masih dengan berusaha menormalkan jantungnya yang berdegup cepat, Summer berbalik menatap Eva, menutup pintu loker begitu memastikan cowok itu benar-benar melewati mereka.
"Sum! Gimana? Cakep banget, kan? Yuk cepetan ke kelas. Pengen cuci mata."
Ucapan Eva membuat Summer meringis, teringat jika sekalipun ia menghindar sekarang—dia akan tetap bertemu cowok itu di kelas.
"Summer kayaknya nggak ke kelas dulu, deh,." Summer buru-buru mencari cara agar tidak bertemu dengan cowok itu sekarang, khawatir si nyebelin itu masih mengingatnya. "Mau ke UKS aja. Kepala Summer sakit lagi," ringis Summer sambil memijit kening, berpura-pura sekaligus menahan diri untuk tidak menjedotkan kepalanya ke loker.
Seketika Summer menyesal. Mamanya benar, harusnya hari ini ia tidak perlu berangkat ke sekolah. Dunia benar-benar nggak sesempit daun kelor, kan?
Kalau sampai cowok itu buka mulut, mengatakan Summer merampas susu pisangnya, mau ditaruh di mana muka Summer nanti? Apa harinya tidak bisa lebih buruk lagi?
TO BE CONTINUED.
___________________
HOPE YOU LIKE IT!
Spam 🌤️ kalau kalian suka Summer.
Spam 🌧️ di sini kalau kalian suka Rain.
Spam ❄️ di sini kalau kalian suka Winter.
Spam ⚡ di sini kalau kalian nungguin Thunder.
***
(Summer yang lebih milih kabur ke UKS)
(Thunder, yang sebenernya nggak ngapa-ngapain T.T)
(Mas Hujan yang nggak tau ada geledek dateng TT)
(Mbak Iris yang belum muncul, tapi udah dihate aja TT)
(Mas dingin, yang nyebelin. Tapi dimaafkan gegara ganteng)
AN :
Sampai di part ini, kalian lebih milih masuk tim mana?
#TimRain
#TimThunder
Benci nggak sama Winter?
Huwaaaa! Seneng banget udah nyampek part 10 huhu. Tokoh-tokohnya juga udah pada dateng! Siap-siap ya, habis ini kita mulai masuk ke alur yang sebenarnya ^^
Eits, jangan khawatir. Nggak bakalan ada konflik yang gimana-gimana, karena ini work tersantuy yang Dy buat—yang Dy enjoy bikinnya. Nggak bakalan ada konflik berdarah-darah yang gimana wkwkw. Selain untuk karakter yang super duper kaya seperti ciri khas cerita romance Dy yang lain—mungkin Summer Rain vibenya bakal lebih kayak Teenlit terbitan Gramedia zaman dulu; kayak Jingga dan Senjanya Esti Kinasih, atau ceritanya Orizuka. Dy kangen sumpah baca teenlit jaman itu, di mana kita bisa nikmati alurnya tanpa perlu mikir keras huhu. Gampang ditebak pokoknya. Apa pun itu, Dy berharap kalian suka ^^
Vote sama komen yang banyak ya! Biar Dy makin semangat ^^
Makasih juga buat 600 komentar lebih di part sebelumnya, padahal Dy nggak narget wkwkw. Di Summer Rain pokoknya Dy nggak mau malak atau masang target—biar Dy nulisnya juga happy. Yang jelas, Dy sangat menghargai komentar dan vote dari kalian ^^
Btw sini Dy bisikin; Part depan ada Iris!
See you soon!
Sayang kalian ^^
With Love,
Dy Putina
Istri Sah Kim Mingyu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro