07. Takut Rain Marah
07
*
"Seriusan nanya. Ketika ada cowok ngebaperin cewek, mereka sebenarnya nyadar nggak sih?" –Summer Zefanya Airlangga.
*
"Miss Winter nyebelin! Hukumannya masa kayak gini?!" Summer mengeluh dengan raut wajah seperti akan muntah. Tapi, ia berhasil menahannya, lalu menunduk lagi untuk melanjutkan hukuman—memisahkan sampah-sampah yang tercampur menjadi dua jenis; organic dan anorganic. "Seorang Summer disuruh mungut sampah? Nggak mikir sumpah! Mana Summer nggak dibolehin ganti baju dulu!" gerutu Summer lagi.
Summer tidak tahu bagaimana rupanya sekarang, yang jelas Summer merasa buruk. Bukan hanya siraman jus jambu Freya, bau sampah yang seperti melekat di badannya berhasil memusnahkan hafalan Geografi yang tidak seberapa semalam.
"Kan enak gitu. Nanti pas ganti, bajunya jadi nggak bau sampah." Kekehan Lucas terdengar di belakangnya, yang langsung diikuti rutukan. "Fak! Nih bocil beban tim banget, anjir! Uninstall aja ML-nya. Main Ep-Ep aja!"
Summer yang tidak mengerti maksud ucapan Lucas berbalik, kemudian mengernyit sembari berjalan menghampiri cowok itu. "Lagi ngapain sih?" tanya Summer.
Berbeda dengan Mark, Teye, Icung, Sophie, Eva, bahkan Freya yang masih melanjutkan hukuman mereka, Lucas malah tampak sibuk memainkan ponsel sambil bersandar ke tangga. Grafik game yang tidak Summer ketahui namanya terlihat begitu ia mengintip layar ponsel Lucas.
"Ih! Jangan game terus! Kapan selesainya kalau Lucas gitu!" Summer memukul lengan Lucas dan merebut ponsel cowok itu.
"Lah! Sum! Itu ML nggak bisa di-pause!" protes Lucas sambil berusaha mengambil ponselnya lagi, tapi Summer menggeleng tegas—menyembunyikan ponsel Lucas di belakang tubuh.
"Bodo amat."
"Satu game, deh! Satu game! Habis itu aku bantuin lagi!"
"Nggak! Udah tau nggak bisa dipause, ngapain main?!"
"Kan bosen, sekalian buat refreshing habis ulangan Geografi," keluh Lucas. Rencananya tadi memang gagal, karena ternyata Miss Winter menaruh hukuman mereka pada waktu istirahat kedua—dan akan berlanjut ke jam pulang sekolah jika masih belum selesai. "Lagian udah dibilangin nggak usah. Suruh aja Freya yang beresin semuanya. Kan udah biasa megang pom-pom tuh, pasti dia lebih jago buang sampah!"
"Sinting! Lo pikir Cheers itu club peduli lingkungan apa?!" Geraman Freya menyelip diantara perdebatan mereka. Cewek itu bahkan sudah berbalik, menatap mereka kesal.
"Nanya?" decih Lucas yang tidak dipedulikan Freya. Tatapan cewek itu kini fokus pada Summer, makin mengganas.
"Lo juga, berisik! Gatel banget jadi cewek!" maki Freya.
Lucas berdecak, telunjuknya terarah pada Freya. "Noh, noh, noh! Sok-sokan banget! Lihat aja mulut songongnya! Harusnya bukan cuma kebagian beresin sampah basah, suruh itu orang beresin semuanya," julid Lucas, membuat Summer menyunggingkan senyum geli, hal yang ia yakini makin membuat Freya membencinya. Tapi, Summer sama sekali tidak peduli. "Mumpung nggak ada yang jagain. Kita jadiin dia babu aja!"
Summer melihat sekelebat tatapan gentar di mata Freya, yang berusaha cewek itu tutupi dengan mendengus sebelum kembali melanjutkan tugasnya. Menggelikan. Sangat lucu melihat Freya yang biasanya sok menjadi ratu di antara para dayangnya berubah menjadi tikus yang terpojok. Tidak akan ada yang membela cewek itu di sini semisal Summer memang berniat merundungnya.
Sayangnya, Summer tidak ingin melakukan perbuatan yang sering ia lakukan ketika SMP; mengganggu orang-orang yang membuatnya kesal. Summer tidak mau membuat seseorang marah.
Karena itu Summer melepas Freya, mendorong Lucas agar kembali bekerja. "Nggak usah banyak protes! Sana kerjain lagi!"
' "Dih! Emangnya yang tadi ngoceh terus siapa? 'Panas banget! Summer nggak dibolehin ganti baju dulu!' Pika-pika?!" Selain melibatkan Pika-Pika, Lucas bahkan sampai menirukan nada bicara Summer, membuat cubitan Summer bersarang di pinggang cowok itu. "Aw! Sum!"
"Makanya, jangan nyebelin!" dengus Summer, bibirnya mengerucut. "Salah Pika-Pika apa, sih? Nggak usah ikut-ikut Rain, deh!"
Lucas tersenyum menggoda. "Ceilah, spesial gitu ceritanya? Nggak boleh ada yang ngikutin Tuan Muda Ganendra?"
"Apaan sih!" Summer kembali mencubit Lucas, lalu menoleh pada Mark. "Mark, nggak punya cita-cita buat ngurusin ini anak?"
Mark mengangkat sebelah alis. "Nggak punya. Kalau cita-cita ngelempar dia ke tong sampah, kayaknya ada."
"Butuh bantuan, nggak?" timpal Teye.
"Heh! Heh! Berani banget sama Tuan muda Lucas!"
"Tuan muda dari Hong Kong?!" ejek Eva. Cewek itu bahkan melemparkan botol air mineral ke kepala cowok itu. "Nggak cocok, Luc! Nggak cocok!"
"Lah, Neng Eva. Gimana sih, calon Papa Mertua Neng Eva kan emang dari Hong Kong?"
Eva mengernyit. "Ha?"
"Tuh anak kan emang blasteran Sunda – Hong Kong, Ev. Makanya bentukannya nggak jelas," timpal Teye sambil mengangkat plastik hitam besar berisikan sampah yang sudah cowok itu pisahkan, lalu memasukkannya ke bak sampah besar. "Paling bener ojo diladeni. Engkuk tambah kumat." (Paling benar jangan ditanggepin. Nanti malah kambuh).
"Heh! Cangkeme! Kumat jarene? Kumat?" (Heh! Mulutnya! Kambuh katanya? Kambuh?) Lucas menyerbu Teye, melompat dan mencekik leher cowok itu menggunakan lengannya dari belakang. "Nek aku temenan kumat, kon wes tak pateni!" erang cowok itu. (Kalau aku beneran kambuh, kamu udah aku buat mampus!).
"Eh! Udah! Kapan ini selesainya! Plis deh, males banget kalau pulang sekolah masih harus ubek-ubek sampah!" kali ini Sophie yang berteriak. Sementara Summer hanya menggeleng, melanjutkan pekerjaannya, sekalipun kerap kali terhenti lagi karena candaan teman-temannya yang mengundang tawa.
Mendapat hukuman rasanya ternyata tidak buruk-buruk juga, pikir Summer. Hal yang jelas tidak dirasakan Freya.
***
"Sophie, Eva! Summer lupa lagi bawa baju ganti!" Summer merengek usai membanting pintu lokernya. Begitu banyak barang di dalam loker yang pintu bagian dalamnya ditempeli banyak stiker Pikachu itu, mulai dari buku paket tebal hingga aksesoris tidak penting, tapi tidak ada baju seragam, bahkan pakaian olah raga. Summer baru ingat jika empat hari yang lalu ia sudah memakai baju seragam cadangannya dan ia lupa membawanya ke sekolah lagi.
"Sumpah kesel banget. Padahal Summer udah coba inget-inget, apalagi pas itu sampai pinjem jersey Rain. Kalian bawa baju ganti cadangan lagi, nggak?"
Sophie dan Eva saling bertukar pandang, lalu menggeleng. "Cuma bawa satu, tapi aku juga pengen ganti. Nggak betah, tahu sendiri kita udah pilah-pilah sampah," keluh Eva.
"Aku juga. Maaf banget ya, Sums," sahut Sophie juga.
"Yah, gimana dong." Summer mencebik, lalu melihat jam tangan Gucci-nya, lalu makin panik melihat jam masuk untuk pelajaran selanjutnya hanya tinggal lima belas menit. Dibanding seragam Summer yang sudah terkena tumpahan jus jambu, seragam Sophie dan Eva memang jauh lebih baik. Tapi, tidak mungkin Summer meminta mereka mengalah untuk hal yang membuat temannya tidak nyaman.
"Ke Koperasi sekarang sempet nggak ya?" tanya Summer lagi. Koperasi SKYLINE yang menyediakan seragam terletak di sebelah kanan gerbang—cukup jauh dari tempat mereka mengingat betapa luasnya area sekolah. "Mana habis ini pelajaran Miss Winter lagi. Tuh guru sensi banget ke Summer. Masa Summer mesti dihukum dia lagi?"
Eva meringis, terpikir kemungkinan terburuk. "Kalau lari, mungkin bisa, Sums. Apalagi habis itu masih harus ganti."
"Ayo deh, gas. Coba aja dulu. Aku temenin," ucap Sophie.
"Lah, kamu nggak ganti bareng aku?"
Sophie menatap Eva bingung. "Lah, Summer? Masa dia dibiarin lari-larian sendiri?"
Eva tidak kunjung menjawab, memilih mengigit bibir bawah, membuat Summer buru-buru mengeluarkan suara—tidak ingin ada kecanggungan. "Nggak usah, gapapa. Summer bisa sendiri kok. Eva sama Sophie duluan aja, Nanti Summer nyusul." Dua temannya ini sudah ikut dihukum karena ia bertengkar dengan Freya, tidak mungkin Summer membiarkan mereka dihukum lagi karena masalah seragamnya.
"Tapi, Sums—"
"Udah, gapapa. Summer bisa sendiri, kok." Summer memotong ucapan Sophie dan menyunggingkan senyum. "Summer duluan ya, kalian sana ganti," ucap Summer, lalu berlalu meninggalkan mereka sambil melambaikan tangan, memantapkan tekad untuk pergi sendirian. Tidak ada yang perlu Summer takutkan selain terlambat, Summer juga tidak peduli dengan banyak pasang mata yang menatapnya tertarik bahkan jijik melihatnya berlarian di lorong dengan penampilan seperti ini.
Well, memangnya apa alasan yang membuat Summer harus peduli?
Summer nyaris mencapai pintu masuk Skyline—masih belum ke halaman ketika ia melihat Rain datang dari arah berlawanan.
Reflek, Summer menghentikan langkahnya, membungkuk dan memegang lututnya untuk menormalkan napas. "Rain, dari mana? Udah selesai? Rendi mana?" tanya Summer sedikit tersenggal, sementara tatapannya masih tertuju pada Rain yang mendekat dengan raut ... marah?
Mampus. Summer buru-buru menegakkan tubuh melihat Rain sudah berhenti di depannya. Apa Rain sudah tahu kasusnya dengan Freya. Salah satu alasan yang membuat Summer kerap kali menahan diri untuk tidak membuat masalah, apalagi merundung orang-orang yang membuatnya kesal adalah janjinya pada cowok ini. Tidak masalah orang lain mau berpikir dan memandangnya seperti apa, Summer tidak peduli. Tapi, cara Rain menandangnya sangat penting bagi Summer.
Tunggu! Tapi tadi dia tidak salah, kan? Itu kasus pembelaan diri, bukan pembully-an! Bukan Summer yang membuat masalah, tapi Freya!
Alasan itu sedikit banyak membuat Summer tenang, ia berniat mengatakan pada Rain nanti—jikalau ia benar-benar terpojok. Namun, tetap saja berdoa dalam hati beritanya belum sampai pada cowok ini.
"Rendi di kelas. Nih seragamnya." Rain berdecak sambil mengulurkan paper bag berlogo SKYLINE. "Pas kamu dihukum, aku beliin ini di Koperasi. Pasti lupa nggak bawa ganti, kan? Mana aku kirim chat nggak dibaca," ucap cowok itu lagi dengan tatapan yang sedikit melembut, tapi tetap saja membuat Summer meringis.
Oke. Jika Rain sampai memberinya seragam, berarti cowok ini memang sudah tahu.
"Hehe, makasih." Summer tertawa garing sambil mengambil paper bag itu takut-takut. Sengaja mengalihkan pandangannya dari Rain.
"Baru ditinggalin sebentar padahal, bisa-bisanya berantem."
Summer mencebik. "Bukan salah Summer! Freya duluan yang ngajak ribut. Tanya aja sama Lucas."
"Kan aku sering bilang, kalau ada orang mancing-mancing, jangan tanggepin."
"Ya masa Summer diem aja dijahatin. Sinetron banget," omel Summer. "Udah ah, Summer mau ganti seragam dulu. Udah mau masuk. Marah-marahnya nanti aja," ucap Summer sambil berbalik, berniat kabur dari Rain yang masih menatapnya penuh selidik.
"Nggak usah ribut-ribut lagi!" Samar-samar Summer mendengar teriakan Rain di belakangnya, yang kemudian ia tanggapi dengan mengangkat tangan, memberikan tanda oke tanpa berbalik. Lagi pula pesan Rain sangat mudah untuk diikuti, kecuali ada yang memancing. Toh, Summer bukan tipe yang akan memancing keributan lebih dulu.
"Nyebelin banget sumpah lagaknya! Kalau bukan karena ada temen-temennya, habis udah dia!" Sayangnya bukan hanya ucapan Freya, Summer juga berpapasan dengan cewek itu di pintu masuk toilet perempuan. Kali ini kondisinya berbalik, Freya bersama dayang-dayangnya, sementara Summer sendirian.
"Wah, ada kak Freya," sapa Summer lebih dulu. Ia bahkan tersenyum manis, sengaja menunjukkan jika ia tak gentar sama sekali. Tipe seperti Freya pasti akan menjadi jika ia berada di atas angin, tapi berubah ciut jika ternyata lawannya tidak takut.
Benar saja, cewek itu mendengus. "Kenal?" tanyanya sinis, dan seperti harapan Summer, setelah itu Freya dan dayang-dayangnya segera pergi dari sana, meninggalkannya dengan tatapan benci, persis seperti yang Summer mau.
Summer mengembuskan napas lega ketika gerombolan cewek-cewek itu menghilang. Bukan karena Summer takut menjadi target mereka, tapi Summer tidak mau terlibat masalah lagi seperti pesan Rain. Summer tidak mau membuat cowok itu marah.
Tidak masalah jika semua orang di sekolah membicarakannya, bahkan tidak menyukainya. Summer tidak peduli. Tapi, ia tentu tidak akan bisa tidak peduli dengan pandangan Rain.
***
Selama di kelas, Rain belum membahas soal kasus Summer. Itu karena Summer yang terus menghindar sepanjang pelajaran, ia bahkan hanya berbalik ke belakang saat meminjam dan mengembalikan catatan Rain saja. Tapi, Summer tahu, ketika bel sekolah berbunyi, ia tidak akan bisa menghindari cowok itu lagi.
Akan tetapi, Summer tidak tahu ini hal yang harus ia syukuri atau sebaliknya. Karena begitu kelas bubar, Rain sudah keluar lebih dulu setelah berpesan padanya untuk menunggu dengan yang lain.
+62XXXXXXX
Apa-apaan itu video kamu di group angkatan? Tingkah kamu mirip preman jalanan!
Habis sekolah langsung pulang!
Summer merengut, merasa menyesal dengan tangannya yang tergelincir dan membuka pesan Winter, malas melihat protes si perfect kesayangan Papa. Pembuat ulah—Summer tahu apa yang sekarang kakaknya itu pikirkan tentangnya. Seperti biasa, Winter bahkan tidak pernah sekali pun menanyakan penyebabnya. Apalagi menanyakan perasaan Summer. Bagaimana harinya?
"Eh, liat-liat! Freya ngincer siapa lagi tuh?" Ucapan Lucas membuat Summer mengalihkan perhatian dari ponsel, ia memang sedang berjalan bersama teman-teman Rain. "Gila sih. Itu mah bukan Kunti lagi, Sum. Tapi Mak lampir!" ucap Lucas lagi.
Di dekat tangga, Summer memang melihat Freya seperti sedang merundung seorang cewek berambut panjang. Cewek yang tidak Summer ketahui namanya itu terduduk dengan kepala menunduk di depan Freya dengan buku-buku di sekitarnya.
"Kayaknya dia masih marah perkara Summer deh, makanya sekarang nargertin si cupu jadi target keselnya dia," timpal Eva.
"Si cupu?" tanya Summer.
"Iris. Anak beasiswa." Eva menatap Mark dan Teye di sampingnya, berniat memastikan, yang kemudian diangguki cowok itu. "Anggota OSIS juga kalau nggak salah. Tapi, nggak tau, masih bisa-bisanya jadi samsaknya Freya. Apa karena hidupnya cuma buat belajar doang ya, makanya nggak tau caranya ngelawan. Percuma aja mah pinter, kalau modelannya gitu."
Di SKYLINE, memang hanya murid-murid yang sangat berprestasi yang bisa mendapatkan beasiswa, mayoritas berasal dari keluarga biasa saja, atau bahkan kurang mampu.
"Lah, kalau soal ngelawan, bukannya Bu Boss kita doang cewek yang berani ngelawan itu Lampir?" kekeh Lucas.
"Iya juga sih—"
"Yang lain kenapa cuma nontonin, sih? Kan kasihan. Nggak ada yang mau bantu apa?" Sophie menggerutu, tanpa sadar memotong ucapan Eva.
"Ya, kan bukan urusannya. Daripada kejebak ribut sama Freya, terus jadi targetnya? Mau?" jawab Eva.
Summer sebenarnya setuju dengan Sophie, ia sempat melirik cewek itu ketika melewati geng Freya, tapi Summer juga tidak melakukan apa-apa. Suka tidak suka, ucapan Eva juga benar. Apalagi hari ini dia juga sudah ribut dengan Freya. Mencampuri urusan cewek itu sama halnya dengan mencari ribut lagi.
"Nah, itu Rain!" Teye berkata, bersamaan dengan Rain yang terlihat dari arah sebalilknya. "Dari mana aja?"
"Tadi ada urusan sebentar," jawab Rain begitu bergabung dengan mereka, lalu ia melihat Lucas. "Cas! Atur temen-temen di lapangan dulu ya. Ntar aku balik, mau nganterin Summer pulang dulu."
"Summer nggak nungguin?"
"Ada les dia. Biar istirahat dulu," jawab Rain sambil memberi kode agar Summer mengikutinya. Summer sebenarnya sedikit bingung, karena seingatnya hari ini ia memiliki janji untuk menemani Rain latihan lagi. Tapi, Summer memilih bungkam, lalu berjalan mengikuti Rain satu langkah di belakang cowok itu. Khawatir Rain masih marah dengan yang tadi.
"Tunggu sini apa ikut ke parkiran?" tanya Rain begitu mereka sampai di pintu masuk sekolah. Cukup banyak murid yang berdiri di sana, menunggu jemputan.
"Ikut ke parkiran aja."
Rain hanya mengangguk, membuat Summer buru-buru mengikuti langkah panjang cowok itu, agak kesusahan karena Rain berjalan lebih cepat dari biasanya. Untungnya Rain menyempatkan diri berhenti, menunggu Summer ketika jarak mereka tepisah sekitar empat langkah.
"Rain masih marah ya?" Summer baru duduk di kursi sebelah pengemudi ketika berhasil mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
Rain yang baru masuk menatapnya dengan satu alis terangkat. "Marah?" tanya cowok itu sambil mendekatkan tubuh. Tanpa sadar Summer menahan napas, sementara jantungnya mulai berdegup cepat. Terlalu dekat—jarak mereka terlalu dekat. Saking dekatnya, ketika Summer menarik napasnya, ia sampai bisa mencium aroma woody yang seperti bercampur dengan wangi pantai dari parfum Rain.
Untungnya, usai memasangkan sabuk pengaman Summer, tubuh Rain menjauh.
"Gegara Summer berantem sama Freya," cicit Summer sambil menautkan tangannya gugup. "Summer nggak tau harus gimana kalau Rain sampai beneran marah, tapi Summer cuma pengan jelasin, sedikitpun Summer nggak pengen cari masalah. Rain tahu sendiri kan, Summer nggak bakal nyiksa orang kalau Summer nggak disalahin duluan?"
Rain tampak menghela napas panjang. "Aku tahu, makannya aku sering bilang sama kamu. Kalau emang ada yang kelewatan banget, kamu tinggal bilang aku. Biar aku yang beresin."
"Ya masa Summer mesti ngerepotin Rain sama hal nggak penting?"
"Emang biasanya nggak?" cibir Rain. Skakmat. Ucapan Rain sangat tepat, memangnya pernah Summer tidak bergantung pada Rain?
"Iya sih, tapi tetep aja. Lagian kenapa sih? Malu ya punya temen suka bikin masalah?" Summer melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Rain sebal. Berusaha mencari alasan. "Apa jangan-jangan karena Rain malu sama Summer? Emang banyak kok yang bilang, Rain sama Summer itu nggak pantes. Rainnya pinter, diem, Summernya kayak kucing gar—aw!" Summer mengaduh ketika tiba-tiba saja Rain menjitak keningnya tanpa peringatan. "Ih, Rain! Kenapa jitak Summer?!"
"Isi kepala kamu tuh, minta dijitak." Rain berkata gemas sambil mengetuk-ngetuk kening Summer dengan telunjuk.
Summer mencebik, ia berusaha menepis jemari cowok itu. "Rain!"
"Aku emang nggak suka ngelihat kamu sering kena masalah, tapi bukan karena aku malu. Itu karena aku benci banget lihat kamu kenapa-napa," ucap Rain sambil mengeluarkan plester dari saku seragamnya, lalu menempelkannya ke kening Summer yang mendapat luka goresan kecil dari kuku Freya. "Aku tadi keluar duluan buat cari ini. Kayak gini nih, nggak sadar kan kamu kalau keningnya luka?"
Summer terdiam, tidak mampu menemukan kata, sementara jantungnya kembali berdegup cepat. Nyebelin! Rain benar, Summer memang tidak sadar wajahnya terluka. Tapi, Rain juga sama. Summer sangat yakin cowok ini tidak sadar kalau tingkahnya yang seperti ini selalu membuat Summer berdebar tidak karuan. Bukan salah Summer jika rasa sukanya pada Rain jadi semakin dalam.
"Ada aku. Kamu bisa ngandelin aku semau kamu." Sungguh, Summer merasa jantungnya ingin meloncat-loncat ketika Rain mengatakan ini. "Kalau disuruh milih, dibanding lihat kamu kegores, aku pasti bakal lebih suka direpotin kamu. Aku suka kamu bergantung sama aku."
Degup jantung Summer semakin menggila ketika ia merasakan Rain mengacak-ngacak puncak kepalanya. Hingga, Rain melanjutkan, "Itu kewajiban orang tinggi buat jagain kurcaci. Udah pendek, jelek—eh, masih aja luka-luka. Kalah telak ntar kamu sama Pika-Pika."
"Rain, ih kebiasaan! Bisa nggak sih, sehari aja nggak jadi haters Pika-Pika?!" Summer memekik, memukul lengan Rain berkali-kali sebelum berhenti ketika Rain mulai mengemudi.
Dengan bibir mengerucut, Summer mengalihkan tatapan ke jendela. Berusaha keras menulikan telinganya dari tawa geli cowok itu.
TO BE CONTINUED.
Tuan Muda Rain
Emaknya Pika-Pika
Mas Winter yang udah ngamuk
Iris Denada, si murid beasiswa
Freya. Galak sih, tapi cantik wkwk
AN :
Hallo kalian! Makasih banyak ya udah mau nungguin update-an yang rada ngaret huhu. Dy seminggu kemarin lagi rest, karena satu dua hal yang bikin bad mood XD
Semoga kalian terus suka sama ceritanya ya!
Ngomong-ngomong, nggak ada yang mau masuk tim Iris apa? Kalau di cerita lain, dia tahu harusnya yang jadi tokoh utama, bukan kucing garong kayak Summer wkwkw.
Oke, see you soon! Sayang kalian semuaaa!
With Love, Dy Putina.
Istri Sah Mark Lee.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro