Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05. Ada Yang Tahu?

Hola semuanya!

Summer Rain update lagi!

Makasih banyak buat 1K+ vote dan 200+ komentar di part sebelumnya.

Part ini komentarnya bisa 1K lebih, nggak? ^^

Selamat membaca. Semoga sukaa!

05

*

Playlist : Gfriend (여자친구) – Me Gustas Tu (오늘부터 우리는)

*

"Siapa sih yang nggak sebel kalau dibandingin sama saudara sendiri? Lebih mending dibandingin sama anak tetangga, sumpah!"

Summer Zefanya Airlangga

*

"Winter kemana?" Suara Jeremia Airlangga memecah keheningan suasana sarapan di meja makan, mata tajamnya melirik kursi yang biasanya ditempati Winter Airlangga, anak sulungnya. Pria itu sendiri duduk di kursi yang terletak paling ujung—pusat dari semuanya. Sudah rapi dan tampan dengan setelan kerjanya di usianya yang menyentuh pertengahan lima puluh.

Scarlett yang duduk di kursi sebelah kanannya menyahut. "Udah berangkat, Pa. Dari jam lima pagi tadi. Katanya ada yang harus dikerjain di kantor."

Ucapan Scarlett sedikit melunakkan tatapan pria itu. "Bagus. Nggak salah Papa percayain Firma Hukum keluarga kita ke dia." Akan tetapi, kini giliran Summer yang menerima tatapan menyelidik Papanya. "Kalau anak Papa yang satu ini gimana? Masa nggak bisa ngejar Kak Winter? Kemarin Papa lihat nilai Summer masih gitu-gitu aja kecuali ulangan Matematika yang terakhir. Apa jangan-jangan Summer masih ikutan ekskul nggak jelas?"

"Summer udah nggak ikut Cheers kok, Pa. Summer juga udah mulai ikutan les piano lagi," jawab Summer cepat-cepat—secepat ia menyelesaikan makan dan meneguk susu hangatnya. Mengantisipasi kemungkinan ia akan mendapatkan pertanyaan yang lebih menyudutkan dari ini.

Nilai ulangan Matematika yang dimaksud Papanya adalah nilai sempurna yang didapat Summer ketika kertas ujiannya seratus persen diisi oleh Rain, hal yang baru pertama kali Summer lakukan karena terdesak—mengingat malam itu dia benar-benar tidak belajar. Sementara untuk nilai-nilai yang lain, sekalipun kadang Rain masih membantunya—sebagian besar yang lain adalah hasil belajar keras Summer sendiri. Kebanyakan berkisar antara 85-92. Skor yang tentu belum bisa memuaskan Jeremia.

"Apa butuh les tambahan lagi? Anaknya Om Hendra, siapa deh namanya—juga gitu kan, Ma?"

"Annisa?" Scarlett memastikan, kemudian menggeleng. "Kalau buat Summer, jangan dulu deh, Pa. Kasian. Udah terlalu banyak kegiatannya."

Guru les private yang didatangkan empat hari dalam seminggu, kursus untuk persiapan masuk ke universitas, les piano, les melukis—bahkan latihan berkuda di akhir pekan. Jika kebanyakan murid merasa sekolah adalah neraka, maka Summer malah berpikir Sekolah adalah tempatnya untuk beristirahat. Paling tidak, sampai ia tiba di rumah. Itu salah satu alasan yang membuat Summer senang menemani Rain latihan, juga hal yang membuatnya keberatan ketika teman-temannya berniat menunda rencana pergi ke rumah Karina. Karena memang sesulit itu baginya mencari waktu luang.

Akan tetapi, sepertinya Jeremia masih bersikeras. "Nggak bisa diusahain habis pulang sekolah? Kapan memang jam pulang pastinya Skyline?"

"Pa, tetep aja..." Scarlett menarik napas panjang, berusaha menginterupsi. "Bukannya kemarin juga Papa udah janji, les piano itu bakal jadi les tambahan Summer yang terakhir."

"Bener. Tapi kalau nilai Summer masih kayak gitu?"

"Mama udah liat nilai Summer. Nggak ada masalah menurut Mama."

Jeremia mengabaikan istrinya, tatapannya kembali kepada Summer. "Memangnya Summer nggak pengen kayak kak Winter? Summer tahu sendiri, kan? Dulu Kak Winter jadi juara bertahan paralel di Skyline. Dia juga—" Aktif organiasi, ketua OSIS idaman, juga kapten futsal sekolah yang bisa bawa Skyline menangin turnamen nasional.

Tanpa mendengarkan ucapan Jeremia sampai habis, Summer jelas sudah sangat hapal semua hal yang ingin Papanya katakan. Winter yang sempurna. Winter yang membanggakan. Summer yang masih jauh jika dibandingkan dengan Winter.

Sebagai anak pertama, kakaknya tidak gagal. Semua prestasinya selalu Papanya banggakan. Sementara Summer? Prestasi Summer sebagai kapten yang membawa sekolahnya menjuarai turnamen cheers tingkat nasional ketika SMP, tidak pernah dibahas sama sekali. Tidak penting. Yang menjadi tolak ukur adalah prestasi Winter, Summer baru bisa dikatakan hebat jika bisa menyamai kakaknya itu.

"—kalau mau nyamain Kak Winter, Summer ya harus usaha keras. Jangan kalah sama kata males atau capek. Sekarang udah nggak boleh main-main. Masa depan Summer taruhannya."

"Pa—"

"Pagi, Om. Tante." Sapaan Rain memutus ucapan Scarlett, sekaligus memunculkan senyum cerah di wajah Summer.

Seperti biasa, Rain sudah rapi dengan seragamnya. Rambut cowok itu juga masih tampak basah ketika berjalan menghampiri mereka.

"Rain, sini. Ayo makan bareng-bareng dulu," ucap Scarlett.

"Nggak usah, Tante. Makasih. Barusan udah di rumah."

"Wah, Rain masih suka jemput Summer?" Benar saja, seperti yang sudah Summer perkirakan, perhatian Jeremia sudah beralih pada cowok itu. Karena itu Summer bergegas berdiri dan meraih backpacknya—bersiap kabur.

"Setiap hari, Pa. Kalau bukan karena Rain, Summer pasti banyak kelabakannya," timpal Scarlett.

Jeremia terkekeh. "Oh, ya? Akur terus ya kalian. Jangan sampai berantem. Om titip Summer ya, Rain."

"Tenang, Om. Bakal aku jagain."

"Ih, Papa! Apaan sih pake nitip-nitipin Summer sama Rain. Emangnya Summer anak kecil?" Summer merengut sebal melihat senyum geli di wajah Rain ketika ia berjalan menghampiri cowok itu.

"Bukan sih, tapi kebiasaan ngerengeknya masih sama kayak anak kecil. Iya nggak, Om?" Rain tersenyum mengejek, kemudian menatap Jeremia seakan meminta persetujuan. Sangat jelas ia memang berniat menggoda Summer. "Apalagi kalau udah ngambek."

"Nah, tuh. Rain aja tahu."

"Ih! Nggak gitu! Udah ah, ayo berangkat. Perasaan Summer kena mulu." Summer buru-buru meraih lengan Rain, menariknya menjauh dengan wajah yang terus menekuk.

"Seriusan ngambek nih?" Rain baru duduk di kursi balik kemudi, ketika ia masih menemukan raut muram Summer, cewek itu bahkan melipat kedua tangan di depan dada sambil memalingkan wajah ke jendela. "Iya deh, iya. Rain nggak godain lagi," ucap Rain sambil mulai melajukan mobilnya.

"Summer bukan ngambek sama Rain tau...."

"Hm, terus?"

"Papa. Papa mau maksa Summer buat ikutan les tambahan lagi. Rain kan tahu sendiri jadwal Summer udah banyak banget." Summer menoleh pada Rain, mengerucutkan bibir—memuaskan diri menatap tatapan hangat cowok itu. "Ya, tapi Papa mana peduli, sih. Yang Papa tahu kan dia pengen Summer jadi kayak kak Winter. Kak Winter gini, kak Winter gitu. Summer tau, Kak Winter emang seperfect itu. Tapi siapa sih yang nggak sebel kalau dibandingin sama saudara sendiri? Lebih mending dibandingin sama anak tetangga, sumpah!"

Summer melihat senyum kecil terbit di ujung bibir Rain. "Anak tetangga? Aku dong?"

"Iya juga ya. Ish! Ogah. Nggak jadi. Males banget dibandingin sama Rain. Rain sama Kak Winter mah nggak ada bedanya. Sama-sama nyebelin."

"Nyebelin apanya? Kamu juga pasti bisa."

"Kalau nggak ada bakat dari lahir, susah tau." Summer mengerang, ekspresinya seakan-akan dia baru saja diminta memindahkan Monas ke Surabaya. Tapi, bukankah dunia memang seperti itu? Beberapa orang berjuang keras—tapi, tetap tidak bisa mendapat hasil terbaik, sementara beberapa orang yang lahir dengan kemampuan lebih, bisa mendapatkan hal terbaik, bahkan dengan usaha yang belum seratus persen. Salah satunya Winter.

"Gitu tuh, Kak Winter masih aja benci sama Summer. Ngajakin ribut mulu, ngomongnya Summer selalu dimanjain Mama Papa. Padahal yang ada, Papa muji-muji dia terus. Summer mah cuma butiran bubuk Rinso dibanding Kak Winter."

"Kalian masih sering berantem, emang?"

Summer mengangguk. "Semalem aja berantem." Summer memalingkan wajah ke jendela, sengaja menurunkan kaca untuk menatap jalanan kawasan elite yang mereka lalui, "Udah ah, nggak usah bahas kak Winter lagi. Cuma bikin badmood."

Tidak ada tanggapan dari Rain, membuat perjalanan mereka hanya ditemani suara dari luar.

Summer menghela napas panjang, teringat akan pertengkarannya dengan Winter semalam. Mama memang berkata Winter sudah pergi pagi-pagi sekali karena pekerjaan, tapi entah kenapa Summer merasa itu hanya alasan karena cowok itu malas melihat wajahnya. Dulu, Summer mengira alasan kenapa Winter tidak menyukainya karena ia terus mengekor—mengganggu. Tapi, semakin kesini, Summer berpikir jika alasan kebencian Winter mungkin disebabkan karena Summer memang tidak cocok menjadi adik cowok itu. Mereka seperti dua kutub magnet yang bertentangan. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari Summer, sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan Winter.

***

Pintu gerbang belum tertutup, bel masuk juga belum berbunyi ketika Ferrari Rain memasuki pelataran SKYLINE. Kali ini, Rain memarkirkan mobilnya di halaman parkir, bersebelahan dengan mobil-mobil mewah lain.

"Tumben banget nggak telat?" Suara Eva menjadi penyambut begitu Summer turun dari mobil, rupanya cewek itu juga baru sampai dengan Pajero putihnya.

Summer menyengir. "Ada Papa, makanya nggak boleh lelet."

"Dasar. Ya udah, masuk bareng yuk," ajak Eva.

Summer mengangguk, tapi ia menyempatkan diri menoleh pada Rain. Cowok itu juga sudah keluar dari mobilnya dan langsung berjalan ke arah Lucas and the genk yang kebetulan juga sedang berkumpul di lapangan parkir.

Lucas yang menyadari tatapan Summer sedang tertuju pada mereka, langsung berseru. "Woah, ada Summer juga! Sini, Sums. Kumpul sama kita. Si Eva yang geulis sekalian dibawa," ucap Lucas, cowok itu mamasang tatapan menggoda kepada mereka.

"Apaan dih, lebay banget." Sekalipun dengan nada sinis, Eva tetap mengikuti Summer menghampiri kumpulan cowok-cowok itu. Kebanyakan yang berkumpul adalah anggota SIRIUS, kecuali Mark—yang jika tidak salah adalah anggota klub futsal sekolah.

"Eva jangan galak-galak, nanti cantiknya makin susah ditolak!" Seperti biasa, Lucas selalu menjadi pemancing keributan. "Pacaran sama Abang yuk, Ev! Jangan kayak sebelah. Berangkat bareng tiap hari, jadian kagak," sindir Lucas lagi.

Rendi yang berdiri di sebelah Lucas menoyor pelan kepala cowok itu. "Dih! Koyok gelem ae Eva ambek awakmu! Nggak usah sama dia, jadian sama aku aja, Ev!" (Dih. Kayak Eva mau aja sama kamu)

"Opo seh arek iki! Seneng melok-melok ae." (kenapa sih anak ini! Ikut-ikut aja!)

"Kon iku sing melok-melok ae. Udah tau orang Bandung, tapi sok-sokan ngomong Jowo terus!"

"Karepku lah, Cok!" (terserah aku lah, bangsat!)

"Lambemu!" (Mulutmu!)

"Terus deh berantem, gelut kalau bisa. Lapangannya luas." Celetukan Eva menghentikan perdebatan Rendi dan Lucas. "Heran. Punya masalah hidup apa sih nih anak dua? Kerjaannya ribut mulu."

"Lagi PMS kayaknya. Perlu diperiksa nih dalemnya, takutnya malah KW," ucap Mark yang tiba-tiba saja masuk ke pembicaraan. Sontak saja, halaman parkir itu dipenuhi tawa—hanya Lucas dan Rendi yang kini menatap kesal Mark kompak.

"Ndasmu!" umpat Rendi sambil ganti menoyor kepala Mark. Summer hanya geleng-geleng kepala melihatnya, sama halnya dengan Rain. Tapi, memang celetukan Lucas dan Rendi yang kerapkali menjadi hiburan—pengundang tawa ketika mereka berjalan bersama-sama memasuki gedung SKYLINE.

Sesekali Summer dan Eva juga ikut berbincang dengan teman-teman Rain. Well, teman Rain, teman Summer juga. Summer bahkan sudah sangat sering bermain di markas SIRIUS, bahkan ketika tidak ada Rain. Summer juga sempat menemukan Freya dan teman-temannya menatapnya sinis dari ujung lorong, tapi dia mengabaikannya.

Summer baru akan menuju lokernya ketika ia memilih berhenti di sebelah Rain, sementara cowok itu mengambil surat dan susu kotak yang ditempel di pintu lokernya.

"Heran deh, masih jaman ya kirim begituan. Apa susahnya sih, kirim chat atau DM Instagram? Jangan-jangan yang kirim jelek," ucap Summer.

"Kenapa? Cemburu, ya?" Rain malah balas tersenyum menggoda, membuat Summer menampilkan tampang jijik.

"Dih. Ngapain?"

Rain hanya terkekeh, lalu mengulurkan susu cokelatnya pada Summer. "Mau?"

"Nggak, buat Rain aja. Habisin. Siapa tahu nanti tinggi Rain bisa ngalahin traffic light," tolaknya sebelum berjalan cepat kearah lokernya sendiri. Membuka pintu lokernya cepat-cepat, lalu meringis, khawatir jika semua acting pura-pura tidak tahunya tadi jadi tampak aneh. Summer juga takut detak jantungnya yang menggila bisa didengar Rain.

Hingga, tiba-tiba saja Summer merasakan seseorang menyenggol lengannya, membuatnya menoleh pada Eva. "Siapa sih yang sok kegatelan gitu? Udah tahu Rain seringnya sama kamu, masih aja kirim begituan."

Summer tersenyum, ia mengambil beberapa buku dari loker, lalu menutup pintunya.

"Nggak ada masalah sih. Summer sama Rain kan juga cuma sahabatan."

"Bener sih, tapi tahu diri dikit bisa nggak, sih? Yang dia incer itu Tuan muda Ganendra! Nggak tau apa sebagian besar murid sekolah udah nge-ship Rain sama Summer?!" ucap Eva sebal.

"Itu mah Eva aja," kekeh Summer, terus berusaha mempertahankan senyumnya.

Eva salah, bukan hanya sekali dua kali Summer mendengar bisik-bisik negatif tentang dirinya, terlebih ketika dia dengan terang-terangan menolak tawaran Freya. Bahkan, sampai membuat Summer merasa sebagian besar murid di sekolah ini tidak menyukainya—tapi, seperti biasa, Summer lebih memilih mengabaikannya. Toh, itu tidak penting.

Lebih dari itu, sebenarnya ucapa Eva lebih mengganggu Summer.

'Tahu diri dikit bisa nggak, sih?'

Summer tahu, Eva tidak berniat mengatakan itu padanya, tapi ia tetap saja tertohok. Summer tahu Eva benar, dirinya memang tidak tahu diri. Padahal dia dan Rain bersahabat, tapi dengan tidak tahu dirinya terus mengirimkan surat-surat bodoh macam itu.

"Duh, duh, duh. Draco bukan Malfoy dateng. Are you okay, Rain?" Ucapan heboh Lucas mengambil perhatian Summer, ia sudah tentu akan mencari keberadaan cowok itu ketika tiba-tiba saja tubuh tegap tinggi yang dibalut seragam dan jas pengurus OSIS menghalangi tatapannya.

Summer mendongak, mengernyit mendapati ketua OSIS mereka, Draco, sudah ada di hadapannya.

"Summer ya?" tanya cowok itu.

Summer mengangguk, bingung dengan alasan yang membuat si ketua OSIS ini sampai menyapanya.

"Kenalin, aku Draco. Ketua OSISnya SKYLINE."

Eva berdeham menggoda, sementara Summer sekali lagi hanya mengangguk. Mengerjap. Bingung harus menanggapi seperti apa, toh yang dikatakan Draco adalah hal yang jelas semua murid SKYLINE tahu.

"Aku denger katanya kamu salah satu anggota MUN club yang masih belum dapet anggota kelompok karena jarang masuk. Eh, tau nggak kalau sebentar lagi MUN club kita bakal ngadain MUN Competition tingkat provinsi?"

"Enggak. Summer nggak tahu." Summer hanya menggeleng, dia memang tidak tahu. "Emangnya wajib harus dapet kelompok?"

"Kompetisinya, satu kelompok diisi dua orang. Aku baru aja masuk jadi belum—" BRAK!

Suara gebrakan pintu loker tidak hanya menghentikan ucapan Draco, tapi juga mengejutkan Summer. Ketika ia menoleh, barulah Summer tahu jika suara itu datang dari loker Rain.

"Cari kelompok lain. Summer udah ada kelompok," ucap si tersangka—Rain Ganendra yang kini ganti berjalan menuju mereka. Jemarinya masuk ke saku celana. Summer sendiri makin bingung, kelompok apa? Sumpah—Summer sama sekali nggak tau apa-apa?!

Draco mengernyit, mendongak ketika Rain berhenti tepat di depannya. "Siapa? Bukannya kamu nggak ikut MUN Club?"

"Emangnya kalau mau ikut kompetisi harus masuk MUN Club dulu?" Rain memiringkan kepala, tersenyum, lalu menarik lengan Summer agar mendekat padanya. "Ini cebol butuh temen kelompok yang bisa bikin dia dapet Piagam, bukan temen yang cuma mau modus."

"Cebol?-" Summer mendongak, menatap Rain sebal. "Rain! Bisa nggak sih, sehari aja nggak usah ngatain Summer?"

"Terus, kamu yang bisa gitu? Emang paham MUN itu gimana?"

"Wah nantangin?" Rain menyeringai, lalu ia ganti menatap Summer. "Piagam juara MUN kira-kira cukup nggak, buat Om Jeremia seneng?"

Summer mengerjap. "Eh?"

"Nah, udah fix. Cari kelompok lain. Yang ini udah ke-booking."

Dalam sepersekian detik, tidak ada jawaban. Hanya ada adu pandang Draco dan Rain, hingga cowok itu memutus pandangan—ganti menatap Summer dengan wajah tersenyum. "Ya udah. Ketemu di MUN Club aja, ya. Hari Jum'at jam 3 kalau kamu lupa," ucap Draco sebelum pergi dari sana, membuat lorong itu seketika dipenuhi bisik-bisik para murid.

Summer kembali menatap Rain. Bingung. "Eh, beneran? Rain mau ikut kompetisi bareng Summer?"

Rain balas menoleh, cowok itu baru akan menjawab ketika tiba-tiba saja lengan Lucas udah melingkar di pundaknya.

"Makanya, dibilangin jadian, ya jadian aja. Jangan berlindung di balik kata temenan Giliran mau ditikung—ngamok!" ejek Lucas, yang seperti biasa selalu siap menjadi tim hore. "Kalau ibarat lagu : Pacarku memang dekat. Lima langkah dari rumah. Tak perlu kirim surat—" Lucas melirik Summer, sebelum mengalihkan pandangan pada yang lain "—SMS juga nggak usah," nyanyinya sambil berdangdut ria, bahkan Lucas membuat tangannya seakan-akan menjadi Mic.

"—kalau rindu bertemu, tinggal nongol depan pintu~~" kali ini tatapan Lucas tertuju pada Rain. "Ta—duh, Rain!" hingga, nyanyian itu tergantikan dengan erangan karena jitakan Rain.

"Apaan sih, lo lebih cakep kalau diem," dengus Rain.

"Oh, salah bro. Resiko orang ganteng, ngapain aja tetep cakep," respon Lucas santai, membuat Rain melangkah pergi. Dengan masih terkekeh, Lucas menoleh pada Summer, mengedip genit. "Duluan ya, cantik." Kemudian, cowok itu berlari menyusul Rain.

Sontak, semua orang tergelak, tapi tidak dengan Summer. Summer terus menatap punggung Rain dan Lucas yang menjauh, wajahnya sudah memerah, jantungnya bahkan berdegup cepat. Lirik 'surat' dalam lagu Lucas, ditambah lirikan cowok itu membuat pikirannya langsung kemana-mana. Tidak—tidak mungkin cowok gesrek itu tahu. 

TO BE CONTINUED.

___________________

HOPE YOU LIKE IT!

JANGAN LUPA KOMEN, VOTE + SHARE KE TEMAN KALIAN YA! ^^

Spam 🌤️ kalau kalian suka Summer.

Spam 🌧️ di sini kalau kalian suka Rain.

Spam ❄️ di sini kalau kalian suka Winter.

Spam ⚡ di sini kalau kalian nungguin Thunder.

Spam 😂 di sini kalau kalian ngakak sama kelakuan Lucas 🤣

***

Mas Hujan

Tim Hore-nya

AN : 

Hola semuanya! Apa kabar kalian?

Makasih banyak ya, udah kasih Summer Rain kesempatan sampai sini. Makasih udah mau baca. Semoga kalian masih betah dan suka ya ^^

Maaf ya, ternyata Thunder belum mau nongol di chapter ini wkwkkw 

Oh ya, buat yang nggak tau MUN itu apa, MUN itu singkatan dari Model United Nation, jadi kayak simulasi sidang PBB gitu. Semacam debat, tapi pesertanya berperan jadi delegasi negara-negara. Ikut MUN itu bisa ber-group, bisa juga sendirian wkwkw. Dan sumpah, menurut Dy sendiri—MUN itu lebih seru daripada debat. Apalagi sebelumnya, kita juga disuruh bikin position paper yang biasanya juga bakal dilombain. Anak Hubungan Internasional pasti nggak asing sama ini. Bahkan kayaknya sekarang udah banyak murid SMA yang juga suka ikutan, salah satunya adek Dy yang cowok wkwk. Dy sendiri baru tahu MUN pas masuk HI, sebelum itu Dy nggak tahu info sama sekali huhuhu.

Pas kuliah, Dy beberapa kali ikut MUN, sempet dapet penghargaan best position paper bagian UNHCR juga—tapi itu dulu. Pas awal-awal semester, ketika Dy masih sering ikut kegiatan-kegiatan, alih-alih malah sibuk sama wattpad :') Salah satu kenalan—kakak tingkat yang Dy kenal lewat MUN di Malang sekarang juga udah jadi diplomat huhu. Pokoknya menurut Dy, MUN itu seru. Rasanya pengen banget balik ke masa-masa itu, tapi udah telat kayaknya. So, gantinya adek Dy yang sekarang Dy arahin ke sana.

Oh ya, di bawa ini Dy lampirin salah satu MUN yang Dy temuin di Youtube :

https://youtu.be/mpf36NkWxfQ

Kayaknya AN Dy udah kepanjangan ya, pasti kalian udah pada bosen bacanya wkwkw

Oke, See you soon! Sayang kalian ^^

With Love,

Dy Putina.

Istri Sah Kim Mingyu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro