5. Masalah Datang
Pagi ini setelah bangun tidur dan mandi, aku hanya diam di tepi kasur memandang kosong lantai tak berkutik sedikit pun.
Triing
Lamunanku seketika buyar oleh suara notifikasi di ponsel dan bergegas untuk membukanya.
(Felix) : Apa kau baik-baik saja?
Pertanyaan yang membuatku sedikit terkejut. Pasalnya kenapa ia menanyakan kabarku? Biasanya paling cuma tanya tentang tugas atau pengurusan.
(Aku) : Baik kok.
(Felix) : Kau serius?
(Aku) : Iya
(Felix) : Sebaiknya kau istirahat saja, jangan melamun terus nanti stres.
Pesan terakhir darinya cukup membuatku penasaran. Bagaimana ia tau kalau aku sedang melamun sedari tadi?
(Aku) : Terima kasih.
Karena tak lagi mendapatkan jawaban jadi aku mengabaikannya dan beranjak pergi menuju dapur untuk minum.
Disana aku melihat Emak sedang memasak dan berlalu mengambil gelas untuk diisi air.
"Kau jadi ke Jogja?"
"Jadi!"
Tok
Emak memukul pelan wajan dengan sendok pengaduknya. Kemudian, berbalik menatapku tajam.
"Tidak usah kemana-mana! Di rumah saja!"
Aku tersentak sampai hampir manjatuhkan gelas yang aku bawa. "Ta-Tapi aku sudah janji."
"Lebih baik tetap di rumah saja membantu Emak."
"Mak, aku bisa jaga diri."
"Tidak! Jogja itu jauh, ke sana dengan siapa kau?"
"Dengan sahabatku."
"Perjalanannya?"
"Sendiri."
Emak mengamatiku sebentar dan kembali memasak. "Jika tak ada yang menemanimu dalam perjalanan tak akan Emak izinkan."
"Baiklah," ucapku mengambil gelas yang ku isi air tadi dan kembali ke kamar.
Meletakkan gelas di meja belajar. Aku memandang air bening itu sebentar melamunkan ucapan emak barusan.
"Sekarang bagaimana?"
☀️☀️☀️
Triing
Ponselku menyala menandakan ada notifikasi yang masuk. Aku hanya memandang ponsel yang hidup mati hidup mati tanpa mau membukanya. Walau begitu saja aku masih bisa membacanya sekilas.
(Alma) : Man teman ku tersayang, yang aku kangenin. Besok lusa jadi 'kan?
(Cindy) : Jadilah sudah susah payah aku minta tolong sama Mama. Akhirnya di ijinkan.
(Lusi) : Eh, aku takut kalau nyasar. Gimana dong?
(Alma) : Ya sudah, sekalian saja kau tinggal disana.
(Lusi) : HEEE?!
(Putri) : Hei, aku boleh ngajak orang?
(Cindy) : Kau ajak siapa put?
(Putri) : Temen sekampusku namanya Riska.
(Lusi) : Tambah rame.
(Alma) : Eh, si Aria gimana? Kok diam saja.
(Cindy) : Offline mungkin.
(Alma) : Ya sudah.
(Putri) : Oh iya, kemarin aku sudah pesan hotelnya. Nanti aku kirimkan alamat tepat hotelnya.
(Cindy) : Boleh lihat hotelnya?
(Putri) : Oke, sebentar
Setelahnya ada simbol kamera yang aku yakini Putri sedang mengirimkan foto. Sampai sini aku masih tak berniat sedikit pun untuk membukanya. Takut jika akan mengecewakan mereka, takut jika akan membuat mereka terluka karena diriku.
Triing
(Felix) : Jika kau terus membuat orang lain bahagia, kapan kau akan bahagia?
Entah kenapa mataku tak sanggup melihatnya terlalu lama. Dia itu ... kenapa bisa tau yang aku rasakan? Heran aku tiap melihatnya seperti ini rasanya kesal tapi juga senang.
Beranjak dari kasur meletakkan ponsel di meja, aku kembali rebahan ke kasur dan menutup diriku dengan selimut. Entah aku harus bagaimana sekarang, kepalaku pusing memikirkan semua itu. Rasanya aku seperti ditarik dua kutub magnet yang berlawanan, membuatku semakin diam di tempat tanpa bisa bergerak.
Mataku perlahan terpejam, pergi membawa ingatanku menyelam ke dunia yang dapat membuatku terhipnotis. Samar-samar aku bisa mencium bau parfum apel mint sebelum aku terlelap.
☀️☀️☀️
'Aria'
Suara itu membangunkanku dari bunga tidurku. Hari ternyata sudah siang, terlihat dari cahaya matahari yang sedikit memasuki kamarnya.
"Aria."
Suara itu ditambah gedoran pintu yang keras itu yang membuatku terjengit dan langsung duduk sambil memandangi pintu.
"Iya."
"Cepat bangun ada temanmu di depan yang mencarimu."
Teman? Pagi buta begini ngapain ke rumahku? Eh, sudah siang. Aku lirik jam di dinding atas meja belajar dan ternyata sudah tidak pagi lagi jam menunjukkan pukul 09.13 pagi.
'Sudah siang,' pikirku.
"Cepat keluar!"
"Iya Mak."
Terdengar suara langkah kaki menjauhi pintu dan saat itu aku kembali merebahkan tubuhku di kasur menatap kosong langit kamar. Tidak lama cuma beberapa detik kemudian duduk lagi meluruskan tulang yang pegel karena tidur. Merapikan selimut sebentar, mencari sisir sekaligus mengucir rambutku yang tidak seberapa ini dan terakhir keluar dari kamar menuju kamar mandi.
Sabar ya wahai tamu, aku cuci muka dulu sekaligus sikat gigi cuma 5 menit kok gak lama. Setelah selesai aku langsung menemuinya, sang tamu tak di undang itu.
Bisa aku lihat Emak sedang mengobrol dengan tamu itu. Dari siluet bayangan yang di pantulkan oleh kaca jendela itu memperlihatkan seseorang yang mengenakan pakaian ber-Hoodie, wajahnya tidak kelihatan sih tapi sepertinya dia sedang tertawa bisa di lihat reaksi Emak yang cekikikan.
"Iya, siapa ya?" Aku hanya mengeluarkan kepalaku dan sebagian tubuh masih berada di balik pintu. Betapa terkejutnya aku melihat orang itu dengan santainya duduk di kursi dengan cekikikan dan tangannya memegang cangkir berisi teh.
"Kalau begitu Emak mau masuk dulu ya, Nak."
Emak memandang orang itu ramah sekali giliran berbalik bicara denganku expresi sangarnya keluar. "Ya! Temani tamumu!" desis Emak dengan expresi mengancam.
Aku hanya mengangguk dengan malas dan melirik kebun di samping rumah menghindari tatapan ngeri dari Emak.
Saat Emak berlalu masuk pun aku masih membeku di tempatku tak mau duduk di kursi apalagi menyapa tamunya rasanya begitu malas.
"Hei, aku tamu."
"Terus? Memangnya kenapa?"
"Bukankah tamu itu Raja harusnya di sambut."
Aku meliriknya dari belok pintu. "Tadi sudah di sapa sama Emak 'kan?" tanyaku dan di balas anggukannya.
"Ya sudah," lanjutku masih setia dibalik pintu.
Sialnya setelah itu hening beberapa saat, merasa canggung akan situasi ini membuatku ingin kembali bersembunyi di balik selimut.
"Mau keluar?" tanyanya sambil membuka hoodie jaketnya. Sekarang baru terlihat jelas wajah datarnya yang menyebalkan itu. Si Pak Ketua yang dingin, yang suka merepotkanku ketika di kampus. Aku pun memandang Felix sesaat kemudian berjalan keluar dari balik pintu.
"Sudah."
"Bukan keluar dari pintu tapi jalan-jalan," ucapnya sambil menelengkan kepala.
'Ya, aku tau maksudmu tapi apa aku harus menyetujuinya?' pikirku sambil melihat dedaunan di pot depan rumah.
"Mau apa tidak? Aku ingin bertanya sesuatu tapi tidak di sini."
Aku heran dengan orang ini jika bertanya kan tinggal bertanya saja kenapa harus pakai jalan-jalan segala?
Tapi...
Aku melihat ke dalam rumah, di sana kakakku yang mengajak anaknya bermain sambil nonton TV. Sementara, anaknya (keponakanku) sudah tertawa sambil melihatku mengajak bermain.
'Duh, kenapa jadi begini?'
"Kalau kau maー"
"Aku ... boleh juga sih keluar sebentar, lagi pula aku juga ingin ketenangan."
'Aku harap selama ketenanganku itu dapat membuatku berpikir jernih untuk mencari solusi permasalahanku. Aku harus bisa memilih,' pikirku bimbang.
"Lagi pula aku juga tidak mau mengurus bocil itu," bisikku pelan, sangat pelan.
Felix mengeluarkan ponselnya, tanpa menatapku dan berkata, "Kalau begitu aku tunggu di sini sampai jam 10."
"Kenapa harus jam 10?"
"Hah, memangnya kau sudah mandi? Kau yakin akan keluar rumah tanpa mandi terlebih dahulu?"
"Kampret!"
Aku berlalu masuk ke rumah meninggalkannya sendiri di luar.
"Mak, aku mau mandi dulu. Si Felix mengajakku keluar."
"Cieee, yang kencan."
"Pacarmu Ar?"
Sialan! Seharusnya aku tidak perlu pamit. Aku membanting pintu kamar mandi, mengabaikan suara keras yang ditimbulkan oleh pintu tersebut.
Beberapa menit bersiap-siap, jam sudah menunjukkan pukul 09.54 pagi. Sekarang sudah siap untuk pergi. Aku memakai rok panjang berwarna biru tua dengan motif bunga sampai mata kaki yang di paduan dengan Tunik bermanset berwarna toska. Di bagian pinggang aku beri ikat pinggang berwarna coklat biar tidak monoton. Rambutku aku biarkan tergerai dan hanya memakai bando dengan hiasan pita di sisi kanannya. Terakhir, aku memakai sepatu bot berwarna coklat tua.
Selesai, cukup feminim dan aku suka. Tanpa make up dan parfum karena aku tidak suka memakainya. Aku juga tidak memakai apa pun di tanganku seperti jam atau gelang. Barang-barang itu tergeletak di lemari semua tak pernah aku sentuh. Mereka semua terlalu merepotkan.
Oh iya untuk ponselku, aku letakkan di tas selempang hitam kecil. Tas itu cuma berisi ponsel dan uang saja tidak ada benda lain selain kertas parkir hari-hari sebelumnya yang malas aku buang.
Aku bergegas turun untuk menemui Felix. Di perjalanan menuju keluar mentalku sudah di uji dengan ejekan dari kakakku. Aku berpamitan dengan Emak dan kakak kemudian keluar. Bapakku sedang bekerja jadi tidak bisa berpamitan.
Yah, orang itu masih disana. Begitu keluar Felix masih santai memandang ponselnya yang entah apa isinya.
"Jadi berangkat tidak?" tanyaku dibalas anggukan darinya.
Felix mematikan ponselnya, meletakkannya di saku jaket dan memandangku. Hanya sebentar kemudian dia terbatuk-batuk dan berlalu mendahului.
"Tunggu dulu!"
Felix berhenti dan memandangku. Aku meletakkan tanganku di pinggang dan menatap Felix tajam.
"Habiskan dulu tehnya! Tidak sopan sekali."
"Haruskah?"
"Tentu saja, setidaknya suguhan dari tuan rumah walau itu cuma teh sebaiknya habiskan agar tuan rumah tidak kecewa."
Felix meminta maaf dan berbalik menghabiskan tehnya.
"Minum sambil duduk!"
Dia hanya menurut dan duduk di kursinya tadi. Yah, begitulah jalan-jalannya ditunda oleh segelas teh. Ketika dia selesai aku memintanya menunggu lagi sebentar, aku mengambil gelasnya membawanya masuk ke dapur dan kembali lagi. Aku lihat Felix sudah siap diatas motornya.
"Tungー kita naik motor?"
"Iyalah."
Apa yang kau pikirkan wahai Felix. Kau bilang jalan-jalan ya berarti jalan kaki dung masa naik motor itu namanya berkendara.
"Jadi jalan gak?"
"Tunggu dulu! Bukankah kau bilang tadi jalan-jalan, kenapa naik motor?"
"Karena tempatnya jauh terpaksa naik motor. Jalannya nanti kalau sudah sampai."
"Harus ya boncengan gitu?"
"Mau pake motor sendiri silahkan, memangnya kau bisa mengendarainya?"
"..."
Sebenarnya kemana-mana aku suka memakai sepeda itu karena aku tidak bisa naik motor. Aku takut tersungkur saat berkendara.
"Cepat naik keburu siang nanti semakin panas."
"H-heh! Kenapa aku harus naik? Kan cowok sama cewek tidak boleh bersentuhan."
Disaat aku panik dia malah sibuk untuk menghidupkan mesin motornya. Dia mengabaikanku!
"Maaf jika harus bersentuhan."
"O-oke."
Brum
Motor yang di naiki Felix nyala. Dia duduk diam menungguku untuk naik bahkan tanpa menoleh ke arahku.
'Dasar golem es!'
Dengan gugup aku melipat rokku dan menaiki motor. Sengaja aku bonceng menghadap samping, selain mencegah rokku tersangkut di mesin motor menurutku untuk perempuan bonceng seperti ini lebih sopan dan pantas.
Felix melirikku sesaat sebelum mengendarai motornya melaju di jalanan. Sepanjang perjalanan aku hanya diam mengamati pemandangan sekitar, Felix juga tidak berucap apapun dia fokus mengendarai motornya.
Motor itu melaju di jalanan menanjak. Semakin jauh melaju semakin jalan ini menanjak. Aku sekarang mengerti isi pikirannya dari melihat arah tujuan yang akan ia tuju. Dari jalan raya belok masuk ke pemukiman warga jalannya cukup luas tapi sepi.
Motor ini berbelak-belok di beberapa persimpangan sampai pemukiman habis dan berganti dengan ladang kebun teh dan perbukitan. Waktu perjalanan menuju tempat ini kurang lebih satu jam. Felix memarkirkan motornya di tempat yang aman.
"Woah, Kemuning."
"Ayo!" ucap Felix berjalan mendahului. Ia berjalan menuju arah barat dan aku mengikutinya dari belakang. Kanan kiri kami terdapat kebun teh yang membentang luas. Saat menemui persimpangan kami belok ke arah utara menuju bukit. Terdapat tangga yang dari tanah yang di bentuk menyerupai anak tangga dengan kayu panjang sebagai pegangan.
Pemandangan yang di suguhkan begitu memukau mata apa lagi angin yang berhembus dapat membuat orang tenang. Karena disini daerah pegunungan tidak memungkinkan diriku untuk tidak kedinginan walaupun cahaya terik pagi bersinar terang. Jujur dari awal masuk daerah ini aku sudah merasa kedinginan.
Sesampainya di atas ada sebuah kedai yang kursi pelanggannya di luar. Di sekitarnya terdapat kebun pertanian dan ada beberapa pohon Mahoni yang tumbuh lebat. Di tepi bukit ini juga diberi pagar kayu agar orang yang ke pinggir tak jatuh.
'Duh, capek. Tinggi banget bukitnya,' batinku mengeluh yang berkeringat dingin.
Felix memintaku untuk mencari tempat duduk sementara dia pergi ke kedai untuk memesan makanan. Kedai ini tidak terlalu ramai mungkin karena masih terbilang pagi. Jadi aku memilih duduk di kursi dekat pagar pembatas agar bisa melihat pemandangan langsung tanpa harus terhalang pengunjung lain yang berlalu lalang.
Seperti namanya Lembah Semilir, tempat ini sangat sejuk dan asri. Semilir angin yang berhembus lebih kencang karena ketinggian tempatnya. Untuk tinggal disini pun siapa saja pasti betah. Tempat ini berada di sisi utara Kemuning dan tempatnya tepat di atas bukit. Julukan Kemuning itu digunakan orang sekitar untuk hamparan kebun teh yang luas.
Tak berapa lama kemudian Felix datang membawa nampan yang berisi dua mangkuk Soto dan dua Teh Panas.
"Boleh tanya sesuatu?" tanya Felix memecah keheningan sambil menaruh nampan di meja.
"Iya? Ada apa?"
"Kau ada masalah apa? Kau bisa cerita kalau kau mau," ucap Felix sambil mengalihkan pandangannya ke arah kebun teh di bawah.
'Tsundere!' cibirku dalam hati.
Gara-gara ucapannya aku kembali mengingat janji pada sahabatku yang dihalangi Emak. Aku bingung harus memilih yang mana.
"Itu...."
Felix berbalik kembali melihatmu tapi aku tertunduk lesu.
"Jika tidak mau tidak apa-apa. Itu privasimu," ucapnya sambil mengaduk teh lalu meminumnya.
Aku menggigit bibirku mencoba menahan moodku yang mulai memburuk. "Sebenarnya aku sedang bingung."
"Beberapa minggu lalu aku dan sahabatku membuat janji untuk reuni di Jogja lusa pagi. Namun, Emak tak mengizinkanku pergi. Aku tak punya keberanian untuk mengatakan ini ke mereka tapi, aku sendiri bingung harus bagaimana agar mereka tidak kecewa."
Tes
Aku tak tahan lagi. Aku tak peduli lagi jika air mataku mengalir, ini sudah melewati batas kemampuanku.
"Kau lebih mementingkan kecewanya sahabatku dari pada kecewanya ibumu?"
Jleb
Sialan kau Felix, kata-katamu tepat menusuk ulu hatiku.
"Ah, bukan itu yang aku maksud! Kalau kekecewaan itu ada alasan yang jelas tak masalah tapi, jika alasan itu tidak jelas aku hanya akan berakhir bingung dan tidak mengerti."
'Dasar Tsundere! Kenapa kau berkata perkataan yang membuatku semakin bingung.'
Tes tes tes
Aku menggeser mangkuk dan gelas di meja untuk memberiku ruang agar bisa menyembunyikan wajahku. Aku tak peduli lagi dengan sekitar, Felix juga tak bergerak melakukan aktivitas. Aku tahu itu karena tak terdengar suara apapun selain pengunjung yang berlalu lalang.
Hal berikutnya aku merasakan rambutku di elus. Hanya saja hanya memakai dua jari.
"Ar, kasian rambutmu masuk ke mangkuk."
Aku bergegas mengangkat kepalaku dan menendang kaki Felix. Sayangnya meleset, kakiku menghantam kursi dengan kerasnya. Benar saja rambutku basah dan meneteskan air kuah soto dari mangkukku tadi.
"Hiks, sakit."
"Astaga, lihat expresimu itu lucu sekali," ucap Felix sambil bertopang dagu.
Aku tak peduli dengan ucapan Felix malah sibuk mengelus telapak kakiku yang kesakitan. Aku sudah lelah dengan permasalahan yang aku hadapi. Berusaha keras untuk mencari solusi yang tepat tapi malah diberi sikap seperti ini itu membuatku muak.
"Maafkan aku. Jika dipikir lagi permasalahanmu tadi sangat mudah mencari solusinya."
Aku masih setia mengelus kakiku yang sakit sambil sesekali menghapus air mataku yang jatuh. Sebenarnya aku ingin berteriak agar langsung saja ke intinya tapi aku sudah terlalu lelah untuk melakukannya.
"Apa Ibumu melarangmu karena kau pergi sendiri? Kenapa kau tidak ajak Sevi saja? Dia 'kan petualang."
Seketika berhenti melakukan aktivitasku. Benar juga yang dia katakan tapi apa itu bisa membantu?
"Apa itu akan berhasil?"
"Aku punya cara agar itu bisa berjalan lancar, jika kau mau sih."
Tangan Felix terulur mengusap air mataku dengan kedua jarinya dan terakhir dia menjitak keningku. Seketika aku diam membeku, dia benar-benar bisa membuatku terkejut. Namun, bukan perlakuannya tadi yang membuatku terkejut tapi melihatnya tersenyum walau tipis untuk pertama kalinya setelah lima tahun ini.
☀️☀️☀️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro