Bonus (3): Proposal Pernikahan
Kondisi padang pasir sekalipun terasa lebih lembab dibanding bibir Vante saat ini. Ah, sudah berapa lama dia menunggu hari ini tiba?
Seperti yang kalian tebak, hari ini adalah hari yang dipilih Vante untuk melamar Irene.
Ia tidak ingat sudah berapa kali ia merekam suara dan latihan di depan cermin untuk mengatakan kalimat simpel-tapi-sukses-membuat-gugup itu kepada kekasihnya. Bahkan dia ambil cuti demi perkara ini.
"W-will you marry me?"
Vante menatap intens.
Ke cermin tentu saja. Dia masih latihan.
Lantaran tak puas, maka ia berdeham keras kemudian berbaring di kasur dengan pikiran kemana-mana. Malam ini dia akan mengatakannya. Malam ini, sepulang Irene pulang dari stasiun radio. Rencananya harus berhasil.
Oke, jujur saja Vante sudah pernah merencanakan acara proposal sebelumnya. Mungkin ini sudah rencana yang, uh, mungkin kelima. Rencana-rencana sebelumnya selalu gagal. Ada saja pengacau.
Entah Jennie yang tiba-tiba menelepon minta dijemput karena kesepian dan ingin makan ayam. Atau karena ada pengantar paket datang pagi-pagiㅡlike, the hell?! Rajin banget sih kerjanya? Apa tidak bisa malas satu hari supaya Vante bisa melamar Irene?
Ada satu kali, acara surprise Vante di Indonesia sempat batal karena sepupunya yang masih SMA, Dylan, tiba-tiba merengek minta bantu dibelikan buket untuk seorang gadis kecengannya karena dia sudah nyasar dua kali menuju flower shop terdekat. Sebenarnya Vante, si pria berumur 27 tahun ini, ingin sekali bilang dengan nada gaul khas percakapan Dylan yang notabene masih anak muda; Halo, kawula muda! Punya handphone dipakai buat cari online shop bisa kali.
Well, mungkin akan terdengar awkward menilai bahwa dia ini sudah hampir kepala 3 untuk menggunakan intonasi seperti yang di atas. Namun, mengingat bahwa Dylan terus memohon karena dia butuh itu untuk acara ulang tahun, akhirnya, Vante dengan segenap hati menemani si adik kecil untuk membeli bunga. Bahkan ia menggambar peta sekaligus peringatan supaya Dylan tidak menganggu acaranya lagi.
Hem, sebenarnya ia membantu Dylan karena untuk alasan tertentu dia malah teringat pada masa-masa dulunya dengan Irene di bangku kuliah.
Istilahnya itu 'bucin,' kalau kata Dylan.
Mirip. Sebelas dua belas dengan lelaki yang ikut menginap ke Daegu padahal sudah bayar uang denda hanya untuk modus mengenal cewek galak yang menginjak sepatu putihnya usai dari ruang kemahasiswaan.
Vante tersenyum-senyum kecil dan tanpa disadari, tiba-tiba saja pintu sudah terbuka.
Oh, astaga. Bukankah harusnya Irene kembali pada pukul 8? Ini baru pukul 6 petang.
"Vante?" panggil Irene dengan lembut, seperti biasanya.
Pemuda itu beranjak cepat, merengkuh wanitanya dengan hangat kemudian menciumi bibir milik Irene yang masih dipolesi lipstik.
"Emh, Sayang, aku ingin istirahat lebih awal," Irene mendorong pelan dada Vante, kemudian gadis itu mengikat rambut menjadi satu kuncir dan pergi ke toilet untuk menghapus riasan serta membasuh wajah.
Vante ingin bicara. Ia menunggu timing yang tepat. Tapi, demi Tuhan! Kenapa waktu itu tak kunjung tiba? Kenapa malah usai mencuci muka, Irene malah terlihat seperti ingin tidur?
"Kamu kok pulang lebih cepat hari ini?"
"Tidak enak badan. Kayaknya aku demam. Pegang dahiku coba," tapak femininnya mendekat. Punggung tangab Vante diarahkan untuk menempel pada kening Irene. Gadis itu menghela napas lelah.
"Aduh, kenapa sayangku malah sakit..." misuh Vante.
Sedangkan Irene malah tertawa pelan menanggapi pemuda yang entah kenapa terdengar sangat kecewa. "Temani sayangmu ini tidur saja, ya?"
Vante mengangguk menurut. Sebenarnya tidak mungkin untuk manusia kalong seperyinya tidur pukul 6. Tapi ia tahu kalau Irene suka bantal lengan.
Jadi, keduanya masuk ke dalam selimut, kepala Irene di atas lengan Vante yang direntangkan. Wajahnya menghadap Vante. Dan dari sedekat ini, Vante kembali dihadapkan pada pemandangan familiar yang selalu menyapanya tiap malam. Bulu mata lentik Irene. Hidung mancung Irene. Tak lupa, kulit putih susu milik gadisnya. Semua kombinasi familiar nan hangat itu menghantarkannya satu ide di otak; "Sakitnya tularkan ke aku saja, ya?"
Tahu-tahu, Vante melumat bibir Irene dengan dalam. Tangannya menangkup pipi Irene, mengusap-ngusap wajah si gadis yang tengah keletihanㅡyang seolah-olah menyerah begitu saja karena sakit yang menyerang, terserah kamu saja lah. Aku sudah tidak punya energi
Gadis itu sesekali membalas lumatan. Tatkala Vante mulai menaiki tubuhnya dan mengangkatnya tuk bersandar pada kepala ranjang, Irene mulai melingkarkan lengan pada leher Vante. Pemuda itu mulai memainkan lidah di dalam mulut Irene, namun seakan tersadar, ia berhenti sebentar.
"Kok kamu nggak nolak?" Tanya Vante dengan suara serak. "Kan lagi capek. Biasanya aku dimarahi."
Irene mencubit pipi Vante dengan sebal, "Aku tidur lagi, nih."
"Huu, no, no, no." Vante memeluk Irene erat-erat sebelum gadis itu sempat berbaring.
Irene membalas pelukan. Merasakan hantaran nyaman yang selalu menjadi rumahnya. Irene akan selalu merasa nyaman jika Vante berada di sampingnya. Sekalipun ia kelelahan dan kehilangan arah, dia tahu kalau Vante-nya akan selalu menjadi destinasi nomor satu yang paling hangat.
"By the way, aku baru sadar. Kenapa kamu tidak kerja?"
"Eh?" Vante mulai terbata. "A-anu. Dylan dan Mamanya minta tolong."
"Mereka sedang di Seoul?"
"Bukan. Bukan. Mereka menitip barang karena tahu aku bakal ke Indonesia dua minggu."
"Kenapa tidak bilang aku kalau kamu ke Indonesia?"
Eh, nah. Bagaimana ini? Akhirnya dengan kemampuan bohong seadanya, dia cuman membalas, "Tahun depan baru aku kesana."
"Hah?" Irene berkedip bingung. Ia yang tadi mengantuk malah jadi terbangun. Gadis itu duduk di atas ranjang dan Vante mengikuti. "Kalau tahun depan, untuk apa kamu sibuk cuti kerja hari ini?"
"Aduuuh," Vante pusing. Dia tidak punya bakat bohong, sumpah.
"Kamu bohong, ya? Mengaku."
"Oke, jadi begini, Reneㅡ"
"Kenapa kamu bohong?"
"Tunggu, biar aku ngomong dulㅡ"
"Kim Vante," tegas Irene yang mana membuat bulu kuduk Vante berdiri, sebab jika saja frasa Kim dan Vante disatukan dengan intonasi seperti itu maka kalimat lanjutan yang akan dilontarkan oleh Irene Bernice biasanya akan mulai bercabang kemana-mana. "Jangan bilang kalau kamu bawa cㅡ"
"NOOO! NO! NO! NO! Let me explain!"
"What?! Don't tell me youㅡ"
"Aku cuti buat propose kamuuu!" Sahut Vante frustasi.
Hening merayap. Netra Irene berkedip dua kali. Bingung, malu, senang pum bercampur jadi satu.
"Aku sudah berencana melamarmu sejak entahlah kapan. Rencanaku sudah gagal lima kali, atau bahkan mungkin lebih. Tapi mau gagal seribu kali pun, aku akan tetap mengulangnya. Rencanaku takkan berubah. Aku akan melamarmu. Meski lamaran yang kubuat ini bakal jadi proposal absurd sejagad raya."
"Aku latihan berpuluh-puluh kali di cermin untuk menyiapkan kata-kata romantis. Tapi sekarang aku lupa semua. Yang aku ingat, aku cuman ingin kamu jadi istriku."
Vante meneguk ludah gugup. Astaga. Ini benar-benar nerve-wrecking. "So, Irene Bernice, will you marry me?"
Gadis yang tanpa pulasan makeup, tanpa dandanan cantik, dan yang bukan duduk di restoran bintang lima untuk candle light dinner, melainkan duduk di atas kasur ini... kebahagiannya bahkan meluap lebih cantik, lebih indah, dan lebih romantis dari bayangan ideal itu semua.
Ia tersenyum haru dengan air mata di sudut, memeluk prianya dengan erat.
"Aku sudah lama menunggu kalimat itu."
"Aku tahu... makanya aku ingin sekali melakukannya. Aku tidak mungkin bawa cewek lain. Yang kucintai hanya kamu. Kenapa kamu berpikir seperti itu? Aku tidak suka."
Irene tertawa, "Kurasa kamu lupa kalau pacarmu ini mahasiswi paling pintar satu jurusan, ya?"
Vante tidak mengerti.
"Latihan proposal kamu... tiap malam aku dengar, tahu. Di toilet, kan? Saat aku sudah setengah terlelap, aku sering mendengar rapalanmu. Hehe. Dan tentu saja soal bawa cewek tadi hanya guyonan asal."
"Astaga, Irene! Kamu jahat!"
Apa Irene tidak tahu betapa kagetnya jantung Vante dibuatnya? Astaga. Vante pikir Irene benar-benar tidak mempercayainya setelah lebih dari 6 tahun bersama.
"Biarin. Memang kamu doang yang bisa membuat orang jantungan?" Vante merasakan gadis itu melingkarkan kedua lengan di lehernya tatkala menduduki paha Vante yang berkeringat, menyelipkan satu rambut ke belakang, lalu tersenyum begitu atraktif.
Dan sebelum Vante bisa berkata-kata lebih lagi, gadis itu menyisakan jarak seinci sembari berbisik serak, "Jadi, mana cincinku?" []
NOTES.
Finished! Hope you all enjoy this last piece.
Shout out to ChaHaneulgi for this Summer Flavor Artwork 😭💔
ㅡaku tuh terharu bet dibikinin beginian coba. Makasih banyak, ya. Kamu gatau betapa senengnya aku dikirimin hal2 kayak gini. Huhu.
Kalian yang juga pengen dibuatin cover, coba cek lamannya, ya!
Also buat, star_veluv yang udah kayaknya(?) ngikutin ini tahun awal tahun 2018, dong. Jaman aku baru memberanikan ngepost di wattpad setelah jadi 1 tahunan jadi readers tok ahaha. Makasih ya wik kamu sudah sering mempromosikan sana-sini. I love you 3000. Semoga lancar2 ya semuanya, kamunya jangan sakit! ❤
Also buat Aya staebaenight, sesuai janji aku. Maaf ini kado ultahmu yang super telat sekaligus penyemangat ujian SBM-mu. Good luck, ya, sayang! Unnie sayang kamu. 🥳
In the end, shout out buat semua semua semua semua readers yang kusayangi. Aku bener2 ga bisa sebut satu-satu. Aku hafal amet kok siapa aja yang marathon work aku dan drop a lot of comments. I love you all. Tapi aku di-love balik gak ya sama kalian? :(
Buat yang cuman numpang baca sampai titik ini juga, makasih banyak udah mau luangin waktunya buat baca kisah sederhana ini. Thanks a bunch!
Semoga SUMMER FLAVOR bisa jadi Anthem Vrene Shipper alias FF Nasional-nya Vrene, ya. Fufufu.
[]
Jangan lupa stream SALTNPAPER di Spotify biar Irene Bernice di-notice bias!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro