25: Rasanya Pertama Kali
|
❤🌞🍉
D u a p u l u h
L i m a
|
Pulang ke Seoul naik kereta adalah ide yang selalu terdengar bagus untuk Irene. Dia suka kereta dan bunyi mesinnya. Aneh, memang. Tapi Irene suka suasana kereta dan orang-orang yang ada di sana.
Entah kenapa setiap detik di kereta terasa begitu berharga. Mungkin karena banyak penumpang yang ingin pulang melepas rindu pada rumah mereka masing-masing.
Tapi entahlah dengan antusiasme Vante. Anak ini malah tidur bersandar di bahu Irene sekarang.
Dan Irene memang membiarkannya. Anggap saja syukuran karena pria ini sudah tidak marah.
Irene memutar kepala pada jendela. Langit pada jam ini adalah favoritnya. Orang-orang menyebutnya golden hours. Dan sebutan cantik itu memang cocok sekali.
Langitnya berwarna ungu gradien yang tercampur dengan hamparan kapas warna merah jambu, belum lagi bias cahaya matahari berwarna jingga yang menambah estetika di indera penglihatan Irene.
Irene merogoh tas bahunya, hendak meraih kamera ponsel. Beberapa guncangan di bahu Irene nampaknya membuat Vante terjagaㅡmembuat Irene berhenti bergerak karena merasa sedikit bersalah.
"Oh, kamu terbangun."
Vante mengerang pelan, berkata dengan suara serak yang lucu, "Kamu sih, menganggu."
"Daripada tidur, lihat, deh. Kesukaanmu. Langit sore."
Vante menurutㅡtumben.
Ia ikut memutar pandangannya seperti Irene. Mulutnya sedikit bergerak
"Wah, gila. Ini sih langitnya tampan banget kayak aku," kata Vante sambil menyengir.
Mata mereka jadi bertemu. Ada sesuatu yang tak biasa di sana. Bola mata Vante mendadak jadi sangat menarik dan Irene ingin melihat sebuah senyuman di wajah pria itu. Tapi yang Irene lihat di bola mata Vante malah pantulan dirinya sendiri yang tersenyum.
T-tunggu, kenapa Irene malah tersenyum bodoh seperti itu?
Irene menggelengkan kepalanya dan berusaha mengalihkan fokusnya. Tiba-tiba Vante membuat jantungnya berdegup saat berkata dengan mata dan intonasi serius;
"Boleh tidak aku menciummu?"
Irene gagal.
Seperti ada yang memukul gong keras-keras di jantungnya. Debarannya semakin kencangㅡakibatnya atensi jadi penuh diberikan untuk Vante. Ia hanya mengerjap, kombinasi dengan tatapan panik.
Sesuatu dalam diri pemuda itu membuat Irene mengangguk panik.
"...y-ya?"
Irene menatap lama Vante dengan jantung yang berdegup kencang. Di kepalanya ia panik, bingung harus melakukan apa. Dan anehnya, di sana Vante masih menatap mata Irene.
Sebentar.
Irene harus memejamkan mata dulu, ya? Apa wajahnya harus condong? Terus? Lalu tangannya kemana? Pegang apa?
Kepalanya serasa diputar-putar. Ia malu sekali.
Jemarinya meraih kerah jaket Vante dan baru mau saja mencondongkan wajah. Akan tetapi, Vante lebih cepat dan lebih dulu mencium gadis itu dan melumat bibirnya dengan lembut. Irene memejamkan matanya dan membalas ciuman tersebut. Saat bibir mereka bertemu, napas Irene serasa berhenti dan degupan jantungnya semakin tak karuan. Bibir Vante terasa hangat, lembut, dan juga dalam. Sekonyong-konyong semua kata yang berarti indah mengisi hati Irene saat itu juga.
Ini musim panas. Tapi kepala Irene malah penuh dengan lagu-lagu romantis yang biasa diputar di musim semi.
Tangan Vante mengelus punggung Irene dan itu membuat Irene menegang gugup. Ia terkejut, ia tak pernah melakukannya dengan siapapun. Ini pertama baginya.
Tapi entah kenapa sentuhan lembut yang Vante berikan pada punggungnya membuat ia terlena. Terbuai sampai dalam. Rasa nyaman ini membuat Irene tak ingin melepaskan pria ini. Tapi otaknya memberontak pelan.
Apa ini tidak apa-apa?
Ah, pasti di seberang sana Vante merutuki kemampuan amatir bibirnya.
Irene menarik diri dan tautan bibir mereka lepas.
"Kenapa dipikirkan, sih?" Protes Vante, kemudian menarik Irene lagi, "Rasakan saja. Biarkan mengalir, dasar pemula."
"A-apa?"
Belum siap melanjutkan, Irene mendorong dada prianya pelan. Semuanya terasa begitu cepat. Pipi memanas saat Vante mulai memperkecil jarak diantara ujung hidung, membuat aktivitas mereka terhenti.
"T- tunggu! Tunggu." Irene berusaha menstabilkan napasnya, jantungnya yang berderu.
Gadis itu memalingkan wajah, kemudian tangannya menangkup wajahnya yang memerah. Duh, kenapa ia malu sekali, ya?
Kemudian Vante memeluknya, "Ya sudah. Besok-besok saja kalau masih malu," ia tersenyum geli.
Alis Irene bertaut. Ia mengernyit gelisah. Ah, tidak bisa begini. Tak boleh.
Ia meneguk salivanya sendiri. Irene juga mengutuk dirinya gara-garaㅡakhirnyaㅡia melakukan hal sederhana yang dianggapnya gila.
Misteri hati yang patut dipecahkan.
Irene menarik kerah jaket Vante satu kali lagi. Lalu melandaskan kecupan ringan yang lama di bibir Vanteㅡmenghasilkan kekehan dan senyum super lebar yang terpatri di wajah pria tersebut.
"Ya ampun, Irene Bernice."
Kemudian satu kali lagi, ia merengkuh Irene dalam dekapannya, menggesekkan hidungnya dengan hidung Irene. Bibirnya pelan-pelan masuk diantara belah bibir gadis itu, mencari celah nyaman, perlahan melumat, dan beradu di dalam sana. Badannya dicondongkan, menyapu jarang hingga membuat Irene terdorong di sudut. Telapak tangannya diletakkan di belakang Irene, jaga-jaga supaya kepala gadisnya tidak terantuk jendela.
Sesaat melepas tautan dan mengeluarkan desah ringan, Vante berucap dengan sunggingan miring yang terlukis di wajahnya.
"Sekarang sudah sadar kalau aku tampan, 'kan?"
Irene terkekeh pelan. Ia paham maksud Vante bukan sebatas itu.
'Sekarang sudah sadar dengan perasaanmu kepadaku, kan?'ㅡlebih terdengar begitu di telinga Irene.
"Terserah kau saja. Daripada sakit lagi."
"Tapi enak ya jadi orang sakit. Diturutin melulu."
"Dan juga dapat bubur spesial," cetus Irene.
"Iya, meskipun nggak enak."
"Ugh. Sudah kubilang itu enak. Kau saja yang banyak pilih."
Vante tersenyum miring. Kemudian menopang dagu, "Yah, kalau nggak pilih-pilih, nggak akan bertemu dirimu, Irene Bernice."
"Maksudku bukanㅡUgh. Sudahlah."
Ah, payah. Kalah terus. Kapan sih Victorius Vante bisa dikalahkan?
Vante mengintip jendela. Menatap turunnya mentari yang perlahan digantikan gradien biru nila yang semakin menggelap. Kemudian pemuda itu tersenyum tipis.
"Sesampai di Seoul, nanti kupertemukan dengan ibuku, ya."
Bola mata gadis itu menerawang jauh. Teringat pada senyum mendiang ibunya yang mendadak masuk ke dalam kepala.
Teringat tatkala ibunya yang mengenalkan radio padanya bersama Jennie, teringat pada perasaan menggebu yang dimilikinya saat memulai mendalami dunia penyiaran dibalik radio. Semua itu membuat Irene merasa baik setelah lama merasakan kehilangan.
Kalau dunia seindah ini, ia ingin merasakan hidup di dalamnya lebih lama. Sungguh.
Manik Irene melembut saat menatap Vante yang kembali bersandar di bahunya dengan mata terpejam. Pemuda itu tidak tidur. Hanya bermanja ria dengan menghirup aroma floral dari ceruk leher Irene.
Vante juga suka sekali dengan wangi rambut panjang Irene. Tangan besarnya diletakkan di pinggang, memeluk gadis itu dengan hangat, menularkan pandangan yang menghangat pada manik Irene.
Namun mata gadis itu berubah menjadi awas saat mendadak ponselnya memberi satu notifikasi. Ada e-mail di sana.
"Pendaftaran Beasiswa 2018/2019 Communication at London"
Irene menggigit bibir. Secepat ini, ya?
Dan ada satu pesan lain yang mendadak masuk dan membuat mata Irene membulat. Penuh euforia dan antusias.
[Interview Invitation] GH London Radio Studio Job Placement
I-ini sungguhan? Aku bisa ke London secepat ini?
Tapi setelah sesuatu mengetuk isi kepalanya, ia tersadar. Matanya berubah muram sembari menatap Vante penuh arti, penuh makna. Irisnya berubah sendu seiring jemarinya yang menyelip di antara helai rambut prianya.
Ia menghela napas dalam. Dilema. []
________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro