14: Rasa Cemburu (Bagian Dua)
I'd never say to you. Somehow these words would never mean a thing to you.
|
❤🌞🍉
E m p a t
b e l a s
|
"Kembalikan kaus kaki sushiku!"
Astaga. Irene salah dengar, nggak, sih?
Satu teriakan Victorius Vante lagi-lagi berhasil membuat Irene ingin memijat kepala. Yang benar saja, masa pria itu meneriakinya di siang bolong gara-gara kaus kaki sushi yang dipinjamnya?! Baiklah, itu hak Vante kalau ia mau barangnya dikembalikan. Tapi tidak sekarang. Demi Tuhan, kenapa harus detik ini?
"Dasar pencuri kaus kaki," gerutu Vante duduk di antara Irene dan Dean, sengaja memisahkan keduanya.
"Vante, kau sungguh menyebalkan!"
"Aku pemilik kaus kaki ini, jadi—" Irene menarik Vante pergi sebelum pria itu berhasil menyelesaikan kalimatnya.
Setelah lepas dari pandangan Dean, dengan frustasi Irene mengacak-acak rambutnya. Ia sungguh tidak paham kenapa Vante harus bersikap seperti itu. Sambil memijit dahinya yang mulai dipenuhi peluh, ia berpikir keras, merangkai kata-kata yang tepat untuk mendamprat pria ini.
"Jangan acak-acak rambut begitu. Jelek."
"Karena siapa?!"
Tanpa rasa bersalah, Vante mengendikkan bahu, "Kau. Kan kau sendiri yang mengacaukan rambutmu."
Argh! Kalau bisa menggiling Vante jadi daging roti isi, Irene akan melakukannya saat ini juga. Irene berjongkok dengan gusar, kepalanya ditopang oleh kepalan tangan yang bertumpu di lutut.
Indera Irene melihat jari kaki beserta seluruh telapak kaki Vante dibalut oleh kaos kaki putih bermotif kentang goreng. Masih dalam kondisi super sempurna. Dan itu tentu membuatnya semakin kesal. Apalagi jari kaki itu sekarang bergerak naik-turun seperti sedang meledeknya.
Tiba-tiba sebuah tangan hinggap di kepalanya.
Begitu Irene mendongak, Vante, tanpa ekspresi, membuat gestur tangan seperti rentenir tepat di depan hidungnya.
"Kembalikan. Atau aku bantu lepaskan kaus kakinya di sini?"
Irene ingin sekali melepas utang (baca: kaus kaki sushi) yang sedang merenggutnya dan mengembalikannya dengan cara bayar di muka, literally dilempar di muka Vante. Sungguh.
Tapi tidak bisa karena Irene sedang pakai sneakers. Tidak lucu kalau nanti sampai di rumah, ia bertemu Dean dengan bau kaki semerbak yang menusuk indera penciuman.
Seandainya saja kaus kaki Irene tidak ketinggalan. Dia tidak perlu mengalami humiliasi seperti ini.
"Kau tidak menjawab," Vante mensejajarkan pandangan dengan ikut berjongkok di depan Irene. "Oke, aku yang lepaskan."
"Maumu apa, sih? Kan tidak ada masalah dengan kaus kaki yang kau kenakan saat ini."
"Tiba-tiba aku mau pakai yang sushi."
"What the heck, Vante Kim? Tadi pagi kau pinjami aku yang ini karena kau bilang kaus kaki ini jelek."
"Tadi pagi," ulang Vante penuh penekanan, "bukan sekarang."
"Kau sebenarnya kenapa, sih?!"
"Apanya?"
"Bersikap seperti ini."
"I don't know," kata Vante sambil memalingkan wajah.
Irene mau menyerah saja rasanya, "Kumohon, berhentilah menjahiliku—"
Sebenarnya, ada yang ingin keluar dari mulut Vante.
Seperti kata-kata memalukan yang tidak akan berarti bagi Irene. Dan takkan pernah Vante ucapkan.
Tapi tenggorokan seperti tersedak, membuatnya sulit memberitahu Irene alasan atas perbuatan kekanakkannya.
"Kembalikan saja," tukas Vante, bikin makin dongkol.
ISH! Persetan dengan kaki bau!
Irene pun melepas satu per satu benda yang melindungi telapak kakinya, mulai dari tali sepatu yang menghambat, dan sekarang kulit putih sepatu yang melapisi kakinya sejak tadi siang. Selesai satu kaki. Ia akan mengulang langkah yang sama untuk kaki kanannya sebelum mencopot sepasang kaus kaki terkutuk itu.
Tapi tiba-tiba saja tangan pria itu meraih sepatu Irene yang terlepas dan meletakkannya di bawah telapak kaki kiri Irene, membantu gadis itu mengenakan kembali sepatunya.
Tanpa suara, Vante mengangkat tumit Irene, menyelipkan kaki mungil itu ke dalam sneakers, lalu mengikat tali sepatu milik sang gadisㅡyang sedang menatap sang adam dengan degupan jantung yang mengherankan.
Muncul lagi. Vante yang tadinya menyebalkan, seenaknya, kekanakkan, dan menguras emosi, tiba-tiba berubah.
Vante adalah karakter yang tidak pernah berubah. Dia hanya Victorius Vante Kim.
Tanpa melakukan apapun, Irene hanya membiarkan jemari panjang Vante mengikat tali sepatu miliknya dengan cekatan. Selain urat nadi yang terlukis jelas di kulit tangan Vante, perhatiannya terbagi pada rambut hitam sang lelaki yang kejatuhan sebuah daun.
Dengan gugup, ia pelan-pelan menyingkirkan daun tersebut. Di saat itu juga, kepala si pemilik mendongak.
"D- daun," ujar Irene terbata-bata sambil menunjukkan daun hijau tua di depan wajah Vante.
Vante mengambil alih daun dari tangan Irene kemudian mengangguk berterima kasih.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Vante tidak banyak bicara. Pikirannya seolah melayang ke suatu tempat (yang Vante sendiri tidak tahu berlokasi dimana). Mungkin jika ada yang bisa bantu menjelaskan kemana perginya pikiran Vante, tolong kiranya kirim bantuan kepadanya. Vante butuh itu.
"Irene."
"Ya?"
"Kau suka padanya?"
Sejenak keheningan melanda, butuh beberapa puluh detik bagi Irene untuk mencerna pertanyaan Vante dan memutuskan jawaban tepat untuk diberikan kepada pria itu.
"Maksudmu?" Irene membalas defensif.
Vante mencebik sebelum membalas dengan nada sinis, "Memangnya ada orang lain selain Dean?"
"Sebenarnya kau tahu banyak hal seperti ini darimana?"
Vante terkekeh, "Tertulis jelas di jidatmu. Saya suka Dean. Begitu."
Irene menunduk, berusaha merapikan perasaannya yang berkecamuk, "Tolong jangan bilang padanya."
"Buat apa?"
"Siapa tahu."
"Bagaimana jika Dean juga menyukaimu?"
Lagi-lagi pertanyaan itu berkecamuk di dalam pikiran Irene, dan jawaban yang ada di kepalanya hanya satu, ia tidak tahu. Sungguh. Irene tidak tahu.
"Jangan menanyakan hal yang bukan urusanmu." Akhirnya Irene menjawab ketus demi pertahanan dirinya.
"Jawab saja," kata Vante agak memaksa.
Irene mendesis sebelum menimang-nimang jawabannya, "Mungkin aku akan sangat bahagia? Tapi di saat yang sama, semuanya akan menjadi canggung. Aku sudah terbiasa dengan posisiku dan posisinya di kehidupanku... Dean juga pasti begitu," Irene menjawab dengan sangat hati-hati.
"Dan soal Dean menyukaiku atau tidak, itu mustahil. Karena Dean sudah punya kekasih. Bahkan cantik sekali."
Vante menyeringai, "Kau tidak akan pernah tahu isi hati orang."
Satu kalimat sederhana Vante membuat Irene bergeming. Keduanya tenggelam dalam sekelebat angan yang menguras malam.
Malam itu rintik gerimis hujan turun, pelan-pelan, seirama dengan langkah keduanya.
Pada punggung mungil milik gadis yang berjalan kurang lebih 5 meter di depannya, Vante hanya bisa menatapnya kosong. Ia memperlambat langkah, membiarkan punggung Irene masuk duluan ke rumah dan hilang perlahan-lahan dari matanya.
Dean menyukaimu, Bodoh.
Vante tidak pernah bermaksud ikut bergabung dalam hubungan bentuk geometri tiga sisi ini. Tapi rasanya ia telah menjadi salah satu sisinya.
Ironis.
Sebagai si pemeran utama pria kedua. []
_________
Notes:
Hehe. Hehe. Hehe. 👋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro