10: Rasa Tertohok
Every words of yours hit me on the spot I never realized I needed.
|
❤🌞🍉
S e p u l u h
|
Mereka berganti kereta ke jalur kereta lokal yang hanya memiliki satu gerbong dan satu jalur. Setelah gerbongnya berderak-derak di atas rel selama 2 jam, akhirnya mereka sampai di Stasiun Daegu.
Berbeda dengan langit Seoul yang dipenuhi menara seperti Namsan Tower, gedung-gedung pencakar langit, dan juga apartemen, langit di sini sangat luas. Hanya ada beberapa gedung tinggi, namun tidak menutup serat putih awan yang bergantungan. Matahari tidak perlu menyelipkan cahayanya dibalik gedung.
Di Geochang, Daegu, saat ini pukul dua belas lewat lima belas menit. Tidak banyak kendaraan yang lewat di sana, karena daerah ini terdiri dari jalan-jalan kecil yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua dan pejalan kaki saja.
Di cuaca super panas ini, Irene harus mau berjalan kaki menuju sekolah tujuannya. Cukup terpencil. Dan apabila sesuai dengan peta, seharusnya ada di ujung cabang kiri jalan. Rasa kesal karena jalan berdua dengan Vante pun harus dikesampingkan.
Demi beasiswa. Demi beasiswa. Irene menepuk pipi seraya menyemangati diri.
"Kenapa tepuk-tepuk gitu?" tanya Vante.
"Memang kau punya solusi lain?" Irene membalas dengan nada yang tidak terlalu ramah.
"Tidur."
"Kau saja yang tidur sendiri di hamparan aspal."
"Aku menjunjung tinggi solidaritas. Kalau aku tidur di sini, kau juga harus."
Irene mengeluarkan wajah masam, "Kau pikir kau presiden, bisa menyuruhku seenaknya."
Vante tersenyum lebar, bibirnya membentuk kotak yang menawan, "Betul sekali."
Belum sempat membalas, tiba-tiba saja suara keroncongan muncul dari perut Irene dan itu cukup membuat gadis itu merona malu. Diam-diam Irene membuang muka, berlagak seolah tak terjadi apa-apa.
Seiring dengan kekehan berat, Vante mengulurkan tangan kepada Irene, "Ayo, makan."
"Ini perintah presiden," Vante tersenyum miring sambil menaikkan alis.
|
○○○
|
Sembari menunggu pesanan mie soba dingin mereka datang, Irene sibuk membaca buku panduan community service. Vante yang sedari tadi memerhatikan rasanya gatal sekali ingin menyingkirkan buku itu jauh-jauh dari hadapan mereka berdua. Tapi dia sabar saja, memilih memangku dagu.
"Vante," panggil Irene yang sontak membuat Vante mengangkat dagu, jarang sekali gadis itu yang memanggilnya duluan. "Kok kau bisa tidak pusing soal panduan ini, sih?"
Tanpa banyak pikir, Vante menjawab cepat, "kan aku tinggal tanya kau," sambil menunjuk Irene dengan telunjuknya.
Ia lagi-lagi melebarkan senyum tanpa dosa, tanpa beban apapun, tanpa rasa malu juga.
"Dan aku kan bayar denda. Jadi kalau tidak buat laporan juga tidak masalah."
Sebelum ingin menyemprot Vante dengan macam-macam makian, mie soba yang menggugah selera itu hadir memikat indera penglihatan dan penciuman Irene. Terutama wangi semerbak dari udang bakar rempah-rempah sukses menggelitik hidungnya.
Lebih baik ia makan dulu. Isi energi sebelum menghajar si bodoh Vante.
Begitu rencana Irene, tapi sulit sekali. Di tengah-tengah menyantap makanan, pikirannya masih melayang pada panduan layanan komunitas yang menurutnya sulit untuk dilaksanakan. Lantas Irene membuka buku itu lagi.
Buku tebal itu begitu menganggu Vante untuk kesekian kalinya. Bahkan untuk makan saja, masa Irene tidak bisa meninggalkan urusan tersebut sebentar saja? Frustrasi sekali rasanya. Ditambah lagi Vante tahu, sama seperti dirinya, Irene juga belum makan siang. Bahkan lebih parahnya, pagi ini gadis ini hanya minum sereal instan.
Vante melempar sumpit di atas mangkuk. Lalu menarik buku itu secara paksa.
"Vante!" Irene menolak dengan galak.
"Makan."
Vante membalas dengan tegas. Meski tanpa emosi, namun rasanya Vante terlihat lebih galak. Dan hal itu membuat Irene sedikit lebih ciut.
"K- kembalikan," pintanya masih mempertahankan garis wajah keras dan pendirian bak batu.
"Ma-kan," ulang Vante. Kali ini pria itu benar-benar terlihat serius dan jauh lebih galak dari yang dikenal Irene sebelumnya. Semua ini diluar perkiraan. Jika biasanya Vante penuh gurauan dan selalu bicara seenaknya, kali ini nada bicaranya sangat otoriter dan dominan.
"Kenapa kau mengurusiku, sih? Apa urusanmu coba?" Irene mendesis sebal.
"Kau ini tidak pernah diperhatikan atau bagaimana, ya? Salah tingkah amat?" alis pria itu terangkat.
Merasa tertohok dengan kalimat Vante yang merupakan fakta, ia mencebik, "Macam kau ada yang urus saja.." dan mencoba membalas dengan sinis.
Satu kali lagi telapak tangan Vante mengambang di meja. Akhirnya Irene mengalah dan membiarkan buku itu jatuh di tangan Vante.
"Buku kok baca buku," desis Vante sekecil mungkin.
"The hell, Kim Vante? Aku mendengarnya."
Vante tidak mengindahkan pertanyaan si gadis, melainkan menyuapi dirinya dengan mie soba yang dengan lezatnya menari-nari di lidah begitu digigit.
"Jawab aku, Vante."
"Kau tidak menanyakan apapun."
"Apa maksudmu tadi?"
"Buku?"
"Iya."
"Aku mempelajarimu."
Mata Irene mengerjap dua kali, tak percaya.
"—Dan hasilnya, kau itu rumit. Seperti buku."
Keheningan merayap sehabis kalimat itu terlontar. Hanya terdengar dengungan rendah mesin pendingin dan kipas angin.
Vante mengoper sepasang sumpit kayu baru yang masih dilapisi plastik, "sekarang makanlah."
Irene menerima pasang sumpit kayu, lalu membukanya secara sembrono sampai jarinya tertusuk serpihan kayu tipis—yang siapa sangka ternyata sangat menyakitkan. Setitik darah keluar dari daging jari Irene.
"Kanㅡ" Vante beranjak dari kursi secepat kilat. Dengan spontan ia meraih tangan kiri Irene yang terluka, "Idiot."
Irene tidak tahu sejak kapan, matanya memerah dan penuh dengan linangan air mata, "a- aku bisa sendiri," gadis itu menarik tangannya dari genggaman Vante, tapi Vante tidak mengizinkan, Vante mempererat genggaman tersebut.
"Diam sebentar."
Irene tidak biasa menerima perlakuan seperti ini. Mungkin terlihat sebagai hal kecil bagi beberapa orang, tapi bagi Irene ini adalah hal besar. Irene canggung. Irene tidak biasa diperlakukan seperti ini.
Menyadari gestur Irene yang seperti ingin lekas bebas, Vante berucap pelan, meyakinkan gadis itu untuk memercayainya, "Aku merasa bersalah. Jadi, biarkan aku melakukannya untukmu."
Tak lama, serpihan kayu keluar dari jari Irene. Vante tersenyum pada Irene yang cemberut. Gadis itu sedang bersusah payah menyembunyikan air matanya.
"Sakit sekali?"
Irene mengusap air matanya dengan punggung tangan, "Hanya sedikit."
Semua orang yang melihat Irene juga tahu bahwa gadis ini berbohong.
Lagipula, semua orang yang pernah merasakan kemasukkan serpihan kayu memang biasanya akan menitikkan air mata. Tidak ada yang aneh dengan menangis karena hal tersebut. Tapi Irene gengsi sekali jika harus menangis di depan orang. Mau siapapun itu termasuk Jennie, Dean, sahabatnya Wendy dan Katie, apalagi Vante.
Tapi ia malah menangis di depan Vante. Orang yang masuk peringkat pertama di daftar 'Orang yang Paling Tidak Boleh Kutunjukkan Kelemahanku'. Bahkan ini adalah kali kedua.
"Hari ini, aku mempelajari hal baru," Vante berucap dengan puas. "Aku menemukan kebiasaan burukmu."
Dalam diam, Irene mengangkat alis, penasaran akan kalimat selanjutnya.
"Kau suka menyimpan banyak hal sendirian."
Tepat sasaran. Menohok pertahanan Irene. []
____________
[Cerita Summer Flavor sudah tamat. Sebagai pembaca yang budiman, harap meninggalkan jejak 👍]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro