Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 2 - i love you as the drowning person loves the sea

Perasaan apa yang berenang-renang di dadanya?

Para duyung yang pernah bertemu manusia mengatakan bahwa mereka memiliki bau amis yang lebih buruk daripada bangkai ikan. Meskipun memiliki keasinan yang sama dengan ikan, tubuh mereka tidak enak untuk dimakan, bahkan membuat beberapa duyung yang mencobanya mual selama satu minggu. Keberadaan manusia tidak begitu berguna hingga mereka mati. Satu-satunya yang menarik dari mereka hanya kedua stik panjang yang mereka gunakan untuk berjalan.

Mengapa kasus itu tidak jatuh pada manusia yang dia selamatkan?

Tidak ada bau amis yang melayang-layang di kulit manusia itu, tetapi dia tidak bisa mengatakan hal yang sama dengan rasanya. Setiap Sinclair membayangkan dirinya mengigit manusia itu, wajahnya langsung panas dan tidak nyaman, ditambah jantungnya berdegup dengan berisik seolah ingin melompat keluar. Sesuatu dalam dirinya mengatakan ada sensasi misterius yang bisa dibongkar jika dia benar-benar mengigit manusia itu.

"Terima kasih."

Suara duyung dikenal dengan melodis yang bisa menghipnotis predator. Nyanyian penuh perasaan dan racun mematikan yang bisa menenggelamkan siapa pun, bahkan ikan sapu-sapu yang sekedar lewat juga terikat ke dalam sihirnya. Sinclair menjadi murid peringkat pertama dengan suara merdu di sekolahnya, bahkan gurunya mengatakan dia memiliki bakat untuk menjadi salah satu prajurit yang bisa mengalahkan tiap manusia sembrono yang berani menghancurkan rumah mereka. Namun, dia terlalu meremehkan dunia luar, karena suara manusia juga sama kuatnya.

Sinclair tidak bisa melupakan bagaimana nada lembut dan suara pelan bisa menciptakan ombak dahsyat di dalam benak. Rasanya seluruh keindahan menyatu di nada dan suaranya hanya untuk mengucapkan dua patah kata.

Sial. Dia ingin mendengar suaranya lagi.

"Lagi pikirin apa hayo?"

Sinclair tersentak, merapikan kertas coretan di hadapannya cepat-cepat agar tidak diintip siapa pun. "Ro-Rodya? Kamu tidak patroli hari ini?"

"Hm, sudah kok. Patroli kamu membuahkan banyak hasil, yang pasti bukan ke arah positif." Rodya menyandarkan punggungnya ke kursi taman, seolah ingin menyatukan tubuh belakangnya kepada kursi agar bisa istirahat lebih nyaman.

"Masih ada warga yang melakukan penyeludupan ramuan itu?"

"Biasalah, kumpulan orang bodoh," ujar Rodya santai.

Beberapa bulan yang lalu, seorang warga menemukan rumah penyihir kuno yang dibunuh oleh Raja Utopia karena memakan banyak korban dari kerajaan. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada para duyung yang datang kepada si penyihir untuk mencari pertolongan; mereka hanya menemukan barang-barang korban tanpa jejak keberadaan yang lebih jelas, jadi banyak orang berasumsi bahwa penyihir kuno itu memakan mereka atau menjadikan mereka sebagai bahan utama ramuannya.

Sinclair memundurkan kepalanya ketika sebuah kaca dengan cairan berwarna terang ditunjukkan langsung di depan mata. Tidak seperti ramuan cair yang biasanya dia lihat, ramuan di dalam botol kecil itu terlihat padat--lingkaran yang memecahkan diri lalu bersatu kembali. Ketika Sinclair ingin mendekatkan pandangannya lebih dalam, objek perhatian langsung disembunyikan dari lapangan visi. Rodya tersenyum miring melihat wajah bingung bercampur cemberut khas Sinclair.

"Bayar dulu."

"Jangan bercanda seperti itu, Rodya."

"Siapa yang bercanda?" Wanita itu memainkan botol kecil berukuran jari telunjuk di sela-sela jarinya, memamerkan keahlian yang telah dia tingkatkan selama guru menjelaskan. "Aku dengar dari seseorang beberapa hari yang lalu kamu pulang telat. Kamu juga bengong dan tidak konek saat diajak bicara."

"S-Siapa yang bilang begitu?" Sinclair langsung mengalihkan pandangan. 

Rodya bersiul riang. "Ternyata yang pulang telat itu benar. Oh, tidak kusangka akan tiba harinya Sinclair tertarik pada manusia. Ini harus dirayakan!"

"Aku hanya mengintip sebentar ke daratan. Tidak sampai ke daratan juga sih," gumam Sinclair, "Lagipula, apa salahnya dengan itu? Aku hanya ingin lihat kapal mereka lebih jelas."

"Yakin? Kamu tidak bertemu dengan manusia habis itu jatuh cinta dengannya?"

Semua kata-kata lenyap di ujung lidah.

Sunyi dengan kecanggungan meresap di sekitar membuat semuanya tambah jelas. Rodya terkesiap, menutup mulut sambil mengeluarkan suara terkejut paling dramatis yang pernah Sinclair dengar, sementara pemuda itu hanya bisa menggerutu dengan rona merah menjalar panas hingga ke ujung daun telinga.

"Serius?! Padahal aku hanya bercanda!"

"Emang kenapa kalau aku tertarik dengan salah satu manusia?" balas Sinclair sewot.

"Nggak apa-apa, sih." Rodya mengedikkan bahu. "Aku hanya tidak menyangka saja. Dongeng tentang manusia dan duyung jatuh cinta terdengar begitu... fiktif, tapi aku tidak menyangka bisa melihatnya sendiri di dunia nyata. Jadi manusianya seperti apa? Kamu menyentuh kakinya tidak? Apa nafas mereka sangat bau seperti ikan amis?"

Sinclair gagap dalam sekejap. Dari sekian banyak pertanyaan, dia tidak menduga bahwa Rodya akan mempertanyakan sesuatu yang di luar pikiran segala duyung. Biasanya rupa yang pertama kali dipertanyakan atau bagaimana suara mereka, tetapi tentu saja Rodya akan mempertanyakan bagian yang menurutnya paling krusial--kaki dan aroma badan.

"A-Aku tidak cari tahu sampai itu," ujarnya.

"Iyakah? Sayang banget," ucap Rodya dengan senyuman pedih. "Kamu tidak mau cari tahu?"

Entah mengapa, dia bisa merasakan pembicaraan mereka mengarah ke sesuatu yang berbahaya.

Apakah Sinclair ingin cari tahu? Tidak ada untungnya juga. Namun, sisi gelap dari pikirannya berbisik panas, bertanya bagaimana rasa kaki gadis itu jika di permukaan yang kering, bagaimana aroma gadis itu, apakah aroma floral atau buah yang biasanya Damien bicarakan dari novel-novel tua yang dia temukan. Sinclari bisa merasakan kehangatan kembali menyebar di kedua tangannya.

Rodya tersenyum miring, mulai mengelupas jarak di antara mereka, dan membisik, "Kamu mau cari tahu?"

"Tidak, terima kasih!" elak Sinclair, menjauhkan badannya dari bisik godaan, namun rangkulan erat Rodya menahan dirinya untuk kabur. "Aku akan tersesat di tengah jalan."

"Itu tidak akan terjadi selama aku disini untuk membimbingmu," ujar Rodya percaya diri. "Aku tahu banyak tentang manusia, bahkan pernah berinteraksi dengan mereka secara langsung. Ramuan ini juga sepertinya belum di tahap sempurna, jadi kita bisa mencobanya."

Seolah ada benang terikat di leher, tangannya terulur pada botol ramuan yang diulurkan kepadanya. Permukaan kaca yang tipis dan rapuh terlihat tengah menatap Sinclair kembali, mempertanyakan isi pikirannya terombang-ambing bagaikan perahu di tengah badai. Tenggorokannya terasa kering, saliva sulit ditelan, dan Sinclair mulai merasakan keringat lengket muncul di telapak tangan.

Bukankah Rodya seharusnya menjadi orang dewasa yang tahu apa yang baik untuk anak muda? Wanita itu perlahan terlihat seperti penyihir yang ada dalam legenda. Penyihir yang menenangkan setiap jiwa sedih yang datang ke guanya, bermohon untuk mengabulkan permohonan mustahil mereka. Penyihir gelap yang bisa membelah lautan dengan kekuatan tak bisa diukur oleh neraca kebijaksanaan.

Dan, bagaikan jiwa malang yang kehilangan harapan pada dunia, Sinclair meneguk isi ramuan tersebut tanpa sisa. Rasa hambar menguasai lidah, lalu semuanya berubah begitu cepat.

Botol ramuan itu jatuh ke dasar tak terlihat sementara Sinclair merasakan sesak tak terbayang di dalam dada. Tangannya mengenggam erat leher, melepaskan belunggu apa pun yang membuat insangnya tidak bisa berfungsi layak biasanya. Pandangan perlahan menjadi buram.

"A-Apaan...? Ini--Kamu serius?"

Rodya tersenyum misterius, menarik tangan Sinclair agar berenang ke atas dengan siripnya yang mulai melemah.

"Aku iri padamu, Sinclair. Kamu akan menjelajahi dunia baru--yah, hanya untuk tujuh hari saja."

*

Siapa pun yang berani melawan sistem sudah pasti dicap sebagai kriminal tanpa pengecualian. Pemerinatahan absolut akan melenyapkan siapa pun yang berani mengacungkan pisau ke wajah mereka, memastikan tidak ada lagi kruco-kruco yang punya niat bodoh untuk menjatuhkan mereka ke tanah.

Seluruh warga terbungkam saat melihat eksekusi salah satu anak muda yang ketahuan mengumpati kepala pemerintahan di tempat publik. Sejak saat itu, tidak ada satu pun mulut yang berani mempertanyakan atau melawan pemerintah. Tidak ada yang mau mati sebelum jadwalnya.

Iya, tidak ada yang berani. Semuanya hanya bisa bersembunyi, membiarkan kumpulan anak muda dan rakyat kecil mengacungkan pisau mereka, tidak terpukul atas ratusan pistol yang juga terarah ke kepala mereka. Kinan salah satu anggota pemberontak tersebut, bersama teman-temannya yang berharap pemerintahan gelap berhenti untuk mewujudkan sebuah masa depan dimana seluruh warga tidak perlu hidup dalam ketakutan.

Namun, perjuangan mereka terhenti. Sebagian dari teman-teman seperjuangannya telah ditangkap, disiksa, lalu dibuang ke laut. Kinan pun termasuk, sebelum sebuah keajaiban muncul, dan dia kembali bernafas di tengah pantai dengan kaki keram karena berenang.

"Kembali ke kota adalah ide buruk. Semua barangku juga pasti dibuang sama mereka entah dimana. Belum tentu juga aku bisa menghubungi Laut atau Sunu," gumamnya. Maka, tanpa ada pilihan lagi di tangannya, dia kembali ke markas awal mereka.

Sudah dua hari sejak dia berhasil kabur dari pembunuhan terencananya. Kinan harus menyusun rencana pemberontakan lain, sekarang dengan penuh hati-hati dan tanpa perantara agar tidak ketahuan. Hanya dia sekarang--sendirian. Tidak ada teman-teman yang lain membantu.

Aroma pantai menggelitik hidung, disusul dengan angin garam yang meniup beberapa surai rambut, membuat pandangannya dihalangi. Kinan menyapu rambutnya ke belakang, menunjukkan jidat penuh luka lebam yang belum membaik. Dia meringis setiap denyutan itu menciptakan tekanan rasa pusing yang seharusnya sudah membuatnya terbiasa.

"Sial."

Tombak batu di tangannya digenggam erat.

"Sialan."

Bulir panas bergelinding di pipi, memberikan sensasi perih di setiap luka lecet yang juga belum sembuh. Jari-jari memilin ujung bajunya yang sudah kusam oleh pasir dan debu. Isakan parau keluar dari bibirnya.

Mengapa dunia sangat kejam pada mereka? Apakah dosa mengharapkan kebebasan? Apakah salah bermohon untuk hidup tanpa ketakutan bahwa esok tidak bisa melihat matahari lagi? Kinan tidak apa bila harus mati, jika kematiannya bisa menjadi pengorbanan untuk masa depan lebih cerah. Setidaknya, perjuangan yang tengah mereka pikul bisa membuahkan hasil--titik harapan untuk masa depan yang selalu mereka idamkan.

"Eurgh..."

Tangisannya berhenti ketika mendengar geraman tak dikenal. Kinan kembali bersiaga, mengusap kasar jejak air mata yang menganggu pandangan, dan melihat sekitar. Dia berada di sisi pantai yang jauh dari kehidupan masyarakat, jadi rasanya mustahil ada seseorang di area hutan seperti ini.

Ah, jangan optimis. Kita ketahuan juga karena terlalu berharap pohon-pohon besar melindungi tempat persembunyian.

Kinan sudah pernah merasakan kematian. Dia tidak perlu takut menghadapi untuk kedua kalinya.

Dengan lebam kuning membiru di sepanjang betis, kakinya diseret untuk menghampiri sumber geraman tersebut. Daripada suara penuh kekesalan, Kinan mengenalnya sebagai tangisan hewan buas. Apakah ada beruang di sekitar sini? Laut pernah mengatakan tidak ada hewan buas selain hewan-hewan kecil di sisi pantai ini. Bisa jadi pemuda itu salah tebak. Entah itu binatang atau manusia, Kinan harus siap dengan tombaknya.

"Siapa disana? Tunjukkan dirimu!" 

Kinan menoleh ke setiap arah, mencari siluet yang mencoba bersembunyi dari pandangan. Gadis itu menggerutu, rahangnya mengeras karena kesal. Sungguh, dia berharap bahwa suara itu milik teman perjuangannya yang juga berhasil kabur atas bantuan mukjizat.

"Argh..."

Kepala bergerak cepat ke sumber rintihan.

Tubuh terkulai emas disapu oleh ombak pantai. Rumput laut terikat di salah satu pergelangan kaki. Kinan tidak bisa mempelajari wajah si tubuh karena dihalangi rambut basah dan sebagian wajahnya tertimpa pasir. Tanpa mengangkat sehelai kain lusuh yang menutupi tubuh tersebut, KInan bisa menebak bahwa dia tengah telanjang bulat.

Astaga. Apakah orang itu juga termasuk pemberontak dari kelompok lain? Kinan tersenyum lega. Meskipun bukan temannya, setidaknya dia memiliki teman satu perjuangan yangberhasil selamat dari tangan-tangan orang kejam.

Kinan kembali melihat sekitar, memastikan bahwa tidak ada orang selain mereka berdua, lalu menghampiri tubuh yang hanya bisa mengeluarkan suara tak jelas.

"...Aku seret saja, kah?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro