Page 4
.
.
.
"Sayang, bagaimana dramamu di luar negeri? Apa orang tuamu datang?" tanya sosok pria dengan suara girang yang khas. Ia mengenakan setelan hitam berjas, dengan rambut hitam model peek-a-boo kuning yang dikepang ke samping, memperlihatkan setengah dahinya. Rasa antusias yang tak mampu ia sembunyikan dibuktikan dengan menempelkan pipinya pada dirimu.
Kau melemparkan pandangan sinis, sedikit risih karena diganggu setelah baru saja melangkahkan kaki keluar dari bandara. Wajahmu nampak memerah, tetapi kau tidak melarang sosok tersebut untuk menghentikan tingkah manjanya. Lalu, kau membalas, "Berhenti memanggilku seperti itu, Meguru-kun. Aku punya nama, tahu."
"Eeh, memangnya kenapa? Sebentar lagi, kita akan menikah, lho! Aku cuman penasaran saja, soalnya alasan utama kau berakting 'kan agar bisa diakui oleh Ba-san dan Ji-san. Mereka berdua bahkan sudah merestui panggilan ini, kenapa kamu sewot sekali, sayang?"
"Mau aku pukul di sini atau berhenti memanggilku dengan sebutan itu, huh?"
Mendengar balasan calon pasangan hidupnya, Meguru tertawa lepas seraya menjulurkan lidahnya. Sangat kekanakan, padahal sudah menginjak kepala dua hampir menuju tiga. Ia bukanlah anak kecil lagi. Tetapi, lihatlah tingkah menyebalkan itu. Ia berlari ke depan, membuatmu menghela napas dan mengulas senyum tipis.
Kau yang dulu hanya tahu akan dunia akting, kini melangkah dengan bebas bersamanya. Bachira Meguru adalah cahaya hidupmu yang sempat kau tolak sendiri. Ia bersinar terang layaknya mentari, membawa angin sejuk pada kehidupanmu. Drama Rapunzel di musim panas kala itu, membuatmu sangat bersyukur akan taruhan acak yang entah mengapa tiba-tiba ia ajukan.
Sudah sangat jelas, masa depan yang kau nantikan selanjutnya akan berwarna apabila berjalan dengan dirinya. Lantas, kau menoleh ke belakang, tiba-tiba saja membayangkan dirimu dan ia sewaktu masih remaja. Warna keabuan dan jarak yang begitu jauh itu kini perlahan telah sirna, digantikan oleh kilaunya kedekatan hubungan saat ini.
Oh, tidak, hampir saja kau mengulangi kesalahan yang sama silam lalu.
Tak akan ada yang bisa menjamin, apakah warna-warni terik musim panas itu akan selalu bertahan. Kehidupan kadang di atas dan kadang pula di bawah. Hanya saja, yang pasti, angin sepoi-sepoi yang tengah menerpa dirimu saat ini, mengingatkan untuk terus bertahan. Terik mentari yang menusuk kulit, menandakan bahwa kau masih hidup, masih banyak yang dapat dilakukan.
"[Name]-chan?" panggil Meguru, mengerjap kebingungan ketika menyadari bahwa dirimu berhenti sejenak, tak mengikuti langkah riangnya menuju rumah. Kini, kau memberikan atensimu padanya, menghapus kekhawatiran pikiran semata. Ia mendekatkan diri, memegang kedua tanganku seolah tengah mengatakan sesuatu.
Tak apa.
Kau memejamkan mata, menggeleng pelan sebagai respon dan menjawab, "Hm, ayo masuk ke dalam rumah. Aku ingin segera istirahat."
"Haha, ayo kalau begitu! Aku tidak sabar untuk memelukmu dan kita akan menonton pertandinganku melawan Inggris nanti malam! Oh, [Name]-chan pasti penasaran dengan muka ngambek Rin-chan karena aku mengoper bola ke Isagi!"
Ia mulai mengoceh akan pengalamannya selama pertandingan berlangsung. Kau memperhatikan gerak-geriknya dalam diam. Tawa, senyum, suara, dan gestur yang ceria. Kau meyakinkan diri sementara suara serangga mulai berbunyi. Ini benar-benar tak apa, kau mengulangkan kalimat itu berkali-kali.
Menyadari ada yang salah denganmu, Meguru menghentikan obrolannya. Ia berusaha menghibur dirimu, namun ia tahu benar bahwa kau adalah tipe yang suka memendam segalanya sendirian, tak membiarkan ia untuk mengetahui kekhawatiranmu.
"Kau nampak gelisah, [Name]-chan. Aku tahu, kau pasti lelah karena pulang dari bandara, 'kan? Tapi, sepertinya ada hal yang lain, hmm ..."
Ia menyipitkan mata, memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri berulang kali, berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya. Jari-jemarimu menahan pipinya, dan melemparkan pandangan kesal, "Hei, berhentilah bertingkah begitu. Malah, aku yang capek melihatmu, Meguru-kun."
"Haha, sayangku malu-malu!"
Tak ada satu hari serius apa bila menghabiskan waktu bersamanya. Membuatmu mendengkus kasar dan menunduk. Meguru terdiam, lalu mengelus helaian rambutmu dengan cepat. Kau mengernyit, semakin sebal dikarenakan rambutmu sekarang ini pasti telah acak-acakan akibat ulah spontannya.
"Berhenti, hei."
"Tidak mauuu! Aku tidak akan berhenti sampai [Name]-chan memberitahuku isi hatimu! Ah, apa ini soal dirimu yang sangat malu untuk mengatakan cinta padaku? Jangan khawatir, dari dulu, aku sudah mengetahuinya, kok! [Name]-chan aja yang telat sadar!"
Wajahmu memerah sempurna, bagai tomat yang matang. Kau menyipitkan mata, menengadah dan menatap Meguru yang memasang ekspresi tak bersalah. Oh, sungguh khas dirinya sekali. Namun, suasana yang cair ini, membuatmu bergumam pelan, meloloskan hal yang tadi hanya hinggap di pikiran saja.
"Kalau kau pergi lagi dari sisiku, aku harus memberikan hukuman apa ... kepadamu?"
Begitulah.
Meguru dapat menyadari kekhawatiran dan kecemasan yang mulai menggerogoti dirimu sekali lagi. Mungkin saja, inilah yang dirimu pikirkan tiap kali berjauhan atau sendirian. Ada perasaan senang, sekaligus sedikit sedih. Dirindukan olehmu, namun membuatmu terasa sakit. Ia tidak menyukai saat kau memasang ekspresi sedih dan pilu.
Bachira Meguru hanya ingin kebahagiaan selalu datang kepadamu.
Sama seperti musim panas yang menghibur banyak orang, menyadarkan manusia bahwa hangatnya ini dapat kau nikmati dengan berbagai kegiatan. Membuat memori-memori yang menyenangkan dan begitu gembira. Betapa senangnya, bila kau selalu seperti itu. Ia masih tak melupakan dirimu yang menikmati bermain peran di musim panas SMA lalu.
Kau bagaikan bunga yang selalu melihat ke arahnya.
Sosok cantik dan penuh akan harapan serta impian, menumbuhkan dirinya untuk bersinar lebih baik lagi.
"Bagaimana bisa kau menghukum orang yang sudah mati nantinya, huh?"
"E-eh? Hah?"
Meguru tertawa, memperlihatkan cengirannya dengan bebas, "Jangan khawatir, [Name]-chan! Aku tidak akan kemana-mana. Sampai maut memisahkan kita, aku tak akan pergi dari sisimu suka maupun duka. Aku akan selalu menjagamu, sehat maupun sakit. Aku juga berjanji, akan selalu membahagiakanmu."
Tunggu, sebentar ... bukankah ini ...
"Kenapa kau tiba-tiba mengucapkan ikrar pernikahan?!" tanggapmu terkejut, melangkah mundur. Serangan mendadak seperti ini tak mampu kau terima. Pipimu kian memanas, jantungmu berdegub lebih cepat, dan tanganmu berkeringat dingin. Kau memukul-mukul punggungnya, kesal karena mendapatkan balasan seperti ini. Sungguh, kau tidak tahu kapan ia bercanda dan kapan ia serius. Setidaknya, berikan dirimu kode?!
"A-aw, berhentilah! Maaf, maafkan aku, sayang!"
Ia mengaduh kesakitan, meskipun kau tahu benar bahwa ia hanya berpura-pura. Meguru pun membalas, "Seminggu lagi kita menikah. Di drama lalu, kita juga menikah, apa bedanya sekarang?!"
"Beda! Kita sedang tidak berakting dan kalau menikah 'kan, aku sudah mempersiapkan diri!"
"Hee, jadi [Name]ku yang manis ini sangat pemalu, ya!"
Kepalan tanganmu kian mengerat. Dengan sekuat tenaga, kau melayangkan pukulan pada punggung tegapnya. Kali ini, pria itu benar-benar berteriak kesakitan. Kau mendecak sebal, memalingkan wajah dan berujar, "Rasakan itu. Sudah, aku mau masuk dan istirahat."
Ini adalah caranya untuk meyakinkanmu bahwa semuanya baik-baik saja. Kau mengenalnya dengan baik. Ia seolah meyakinkan dirimu, untuk menikmati saat ini dan fokus pada kebahagiaan.
Lantas, kakimu melangkah sembari tanganmu berusaha menutup wajahmu yang memerah.
'Ya, aku menerimanya. Aku juga akan seperti itu padamu.'
Oh, tidak, tidak, tidak.
Kau tidak bisa mengatakannya!
Kau belum latihan. Walaupun sebagai aktris terkenal, jika di hadapan Bachira Meguru, semua pertahananmu akan runtuh begitu saja. Kau pun masuk ke rumah, sementara Meguru hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal dan ikut melangkah ke dalam.
Di halaman pagar, sosok berambut hijau tua dengan iris hijau mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia nampak tak bisa berkata-kata melihat pasangan yang tak lama lagi akan menikah tersebut. Rin, lelaki itu, memijat pelipisnya seraya bergumam, "Sial ... harusnya aku tak ke sini hanya untuk mengambil pakaianku yang tak sengaja dibawa oleh orang gila itu."
Bachira Meguru, sepertinya kau terlalu rusuh, ya. Baik untuk pasanganmu, maupun untuk rekan kerjamu.
.
.
.
[END]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro