Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4 Sebuah Pesan

Aku dibawa masuk ke ruang berbentuk bujur sangkar tertutup. Singgasana raja terbuat dari kayu dengan ornamen khas jawa, yakni elemen alam. Kebanyakan—sepanjang pengalamanku—ornamen yang sering dipakai adalah tumbuhan dengan pola lengkap, memiliki bunga, kelopak bunga, dan daun. Kursi kebesaran raja itu diperindah oleh selendang yang menjuntai dari atap berwarna merah marun. Begitu padu dengan warna dinding. Mataku menunduk dan menemukan satu lagi yang menarik. Lantai ruangan ini yang paling mengagumkan, terbuat dari marmer hitam mengkilat. Entah apa yang dilakukan  pada batu marmer itu, yang jelas batuan yang seharusnya nampak kusam, justru berkilau indah. Pandanganku memedar pada sekitar. Di bagian tengah ruangan, ada empat buah tiang penyangga yang diameternya seukuran drum. Tiang itu diwarnai cokelat kayu, lengkap dengan ukiran segitiga timbul melingkar dan menambah kesan artistik.

Barangkali, ruangan ini didesain sedemikian megah dan menyenangkan, tetapi tidak untuk penghuninya. Di ruangan ini hanya ada aku, Galuh Ajeng, Padukaliku dan Raja Jenggala. Sirkulasi udara sangat baik di sini, tetapi suasana tegang dan panas sangat kental. Aku saja sampai menghela napas panjang agar bisa menentramkan jantungku yang berdentam-dentam.

Semenjak Patih Mertani membawaku bertemu Raja Jenggala dan melarang Raden Inu Kertapati ikut, tak sekalipun hatiku tenang. Aku mencium gelagat jahat dari mata Padukaliku dan Galuh Ajeng. Sementara, Raja Jenggala hanya..., yah, serupa boneka.

“Putriku, ini adalah masalah internal rumah tangga raja, jadi aku tak akan membiarkan pejabat lain tahu,” Padukaliku membuka percakapan, suaranya dibuat ramah dan bersahabat tapi aku bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Apa lagi? Orang semacam dia pasti haus pengakuan—pengakuan untuk kekuasaannya. Bahwa dia adalah orang nomer satu bagi raja dan seluruh keinginannya harus terpenuhi.

“Ibunda sangat menyayangkan kejadian di Kaputren Galuh Ajeng. Kamu nyaris membunuh adikmu.” Dan, lihat saja matanya mulai berkaca—kaca. “aku benar-benar merasa menjadi ibu yang gagal.” Satu airmatanya menetes. Sekalipun diucapkan dengan suara parau, khas orang menangis, aku sama sekali tak mendengar kesedihan darinya.

Raja Jenggala menyentuh bahu istrinya, mengusapnya pelan.

“Kanda Prabu..., ini semua salahku. Aku tidak becus mendidik Sekartaji. Aku gagal....” dia memeluk sang raja dengan bahu bergetar dan masih terisak-isak dalam pelukan suaminya itu. “Aku hanya punya satu permintaan pada Kanda Prabu, mari kita larang dia keluar dari kediamannya selama tiga bulan agar dia merenungi kesalahannya. Aku takut kalau dibiarkan, dia akan semakin semena-mena dan membahayakan Galuh Ajeng lagi....”

Aku mulai bosan menghadapi situasi ini. Dulu saat menonton sinetron penuh drama saja langsung kuganti saluran Tvku. Nah, ini malah ada drama di depan mataku. Benar-benar memuakkan.

“Sebentar, biar kuralat dulu,” kataku sengak, “bukan aku yang nyaris membunuh Galuh Ajeng, tapi dia yang nyaris menghabisi nyawaku. Aku masih ingat kelima jarinya menghantam dadaku. Dan, kamu... malah membelanya. Aku hanya berusaha membela diri. Kalau aku tidak terancam, aku tidak mungkin melukainya. Yang Mulia, Anda  harus melihat masalah ini dengan adil.” Aku meneteskan air mata. Bertingkah seperti Padukaliku yang jago berakting, “aku juga anakmu. Anak dari perempuan kesayanganmu yang kini sudah menghadap Tuhan. Jangan menyakiti aku, Yang Mulia. Aku ini hanya anak yang malang.”

Padukaliku menipiskan bibir, matanya nanar.

“Yang Mulia Padukaliku, bukankah aku juga anakmu. Sekalipun bukan anak kandung, aku juga pernah merasakan gendonganmu ketika bayi.” Aku menjual air mata buaya di hadapan mereka. Soal memanipulasi perasaan dan keadaan, aku ini ahlinya. Aku pernah berada dalam situasi dimanfaatkan alias dimanipulasi oleh orang lain, karena itu kali ini aku tidak akan tinggal diam saat ada yang berusaha memanipulasiku. Aku bukan perempuan lemah yang hanya bisa pasrah dengan keadaan. Aku tipe pejuang yang akan bertarung hingga titik penghabisan.

“Anakku, Sekartaji....” suara Raja Jenggala ragu.

Sial. Kalau aku sampai kalah dari Padukaliku, rencanaku untuk tahu soal penyerang Sekartaji akan terhambat karena dilarang ke luar rumah. Aku berdiri lalu menghambur di bawah kaki Raja. “Ayahanda Prabu, kematian ibunda masih membekas dalam batin hamba. Apakah Ayahanda tega menghukumku?”

“Ayahanda Prabu, Sekartaji tidak hanya menghancurkan kaputrenku, juga nyaris melukai anak-anak pejabat. Kalau sampai mereka tidak terima dan menuntut keadilan, apakah Ayahanda akan membiarkannya?”

Aku mendelik, mengirim tatapan kematian pada Galuh Ajeng. Mereka hanya nyaris terluka. NYARIS. Mereka tidak terluka sama sekali.

“Ayahanda Prabu,” Galuh Ajeng rebah di lantai, bersujud, “atas nama keadilan, Ayahanda harus menghukumnya.”

“Baiklah, aku akan menghukumnya.”

Si-al-an.

“Menurutmu, apa hukuman yang pantas untuknya?”

“Kalau hanya dihukum dilarang keluar rumah, ananda yakin dia bisa kabur sewaktu-waktu. Maka, Ayahanda, potong saja rambutnya.  Rambut panjang dan disanggul adalah simbol wanita terhormat. Kalau Ayahanda memotongnya, aku yakin dia tidak akan berani keluar rumah.”

Padukaliku mengiyakan ide anaknya.

Aku berdiri kemudian menatap Galuh Ajeng. “Kalau aku dihukum, Galuh Ajeng juga. Dia nyaris membunuhku.”

“Ayunda Sekartaji, bagaimana bisa aku membunuhmu? Setelah aku memukulmu, kamu bahkan masih mampu meruntuhkan bangunan. Kamu jangan memfitnahku. Orang yang sekarat dan nyaris terbunuh tidak akan mampu mengeluarkan tenaga dalam sebesar itu.”

Breng-sek!

“Anakku Sekartaji, kamu harus bertanggungjawab atas kesalahan yang kamu lakukan, itulah yang diajarkan ibumu. Jangan sampai ibumu di nirwana menangis karena perilaku culas anaknya.” Tambah Padukaliku membakar amarahku. Aku berusaha mati-matian untuk tidak meledak di hadapan Raja Jenggala. Kalau sampai aku tidak bisa menahan diri, hukumannya pasti akan lebih berat.

Oke. Kalau hukumannya cuma dipotong rambut, apa salahnya? Toh, di jamanku ada wanita yang bergaya rambut cepak, gundul dan sejenisnya. Yang perlu dicamkan baik-baik, aku ini hidup di jaman modern, bukan jaman di mana wanita dikekang oleh norma-norma yang memusingkan. Kalau aku manusia dari abad modern, lantas kenapa aku harus mengikuti standar nilai mereka?

Aku tersenyum, “baiklah, kalau kalian tetap ingin menghukumku. Ayahanda, lakukan saja keinginan mereka. Aku akan baik-baik saja. Pejabat di kerajaan ini juga tidak akan menuntut Ayahanda.” Aku berhenti sejenak, “tapi, akhirnya Ayahanda tahu bahwa di istana ini tak ada lagi yang menyayangiku semenjak ibuku meninggal dunia. Padukaliku, sang permaisuri kini juga tak peduli. Buktinya dia menginginkan hamba dihukum. Begitu juga adik hamba satu-satunya.”

Raja Jenggala masih diam, “ini bukan soal sayang, anakku. Ini tentang keadilan.”

Keadilan macam apa yang sedang mereka ucapkan, selain keputusan pincang yang memihak sebelah? Aku benar-benar bersyukur hidup di jaman modern. Di saat memecahkan kasus, tidak cukup dari aduan pelapor. Juga menyelidiki berdasarkan bukti-bukti di lapangan. Sekalipun untuk beberapa kasus, hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Setidaknya, di duniaku jauh lebih baik ketimbang jaman ini. Jaman yang lebih mempercayai fitnah daripada fakta. Oke. Kuakui, aku kalah dari mereka.

“Pengawal, ambil alat cukur dan potong rambut Dewi Sekartaji.” Teriak Galuh Ajeng girang. Aku benar-benar mendengar suaranya tengah bersuka-cita karena keinginannya terkabul.

***

Aku sedang mengamati rambutku yang baru. Dicukur pendek sebahu. Kabar gembiranya aku masih tetap cantik dan justeru terlihat modern, seperti wanita-wanita di jamanku. Padukaliku dan Galuh Ajeng barangkali sudah berpikir bahwa mereka menang. Yah, walaupun kuakui dalam urusan hasut-menghasut mereka lebih mumpuni, tapi sejatinya hukuman mereka tak berarti apa-apa. Kalau aku Sekartaji, mungkin aku akan berpikir duniaku telah hancur. Tapi aku Jovanka Imelda. Wanita modern dari dunia modern. Berambut pendek tidak mengurangi nilaiku sebagai perempuan.

“Bahaya, Yang Mulia!” Patih Mertani menemui Raja Jenggala, “Raden Inu Kertapati... dia... anu... Raden Inu Kertapati....”

“Ada apa, Patih Mertani? Bicara yang benar!”

“Raden Inu Kertapati membawa seluruh pasukannya di pintu gerbang.”

“Apa? Beraninya anak kecil itu menyerangku! Siapkan prajurit dua kali lipat. Kita buktikan mana yang lebih unggul, Jenggala atau Panjalu.”

Aku tidak bisa tinggal diam. Kalau sampai perang terjadi pasti akan memakan korban. Nyawa prajurit itu sangat berharga bagi keluarganya. Hanya karena ego pemimpin tidak bisa dikorbankan begitu saja. Mereka tidak boleh gugur dengan alasan yang tidak jelas.

“Ayahanda Prabu,” aku buru-buru mencegat, “mohon maafkan hamba. Barangkali Raden Inu Kertapati mengkhawatirkan hamba. Dia hanya ingin tahu keadaan hamba, bukan memberontak.”

“Diam kamu!”

Berpikir. Berpikir. Apa yang bisa kulakukan untuk mencegah pertempuran ini? Dasar Inu Kertapati bodoh tujuh turunan. Bisa-bisanya dia datang dengan membawa pasukan hanya untuk sandiwara ini. Seharusnya dia menunggu kabar dariku, bukan malah memancing di air keruh. Memang nyawa pasukannya itu bisa dibeli tokopedia? Ih, gemas!

“Ayahanda jangan gegabah.” Cegahku geragapan, “hamba tidak mau prajurit Jenggala menjadi korban, bukankah Ayahanda tengah merencanakan penaklukkan Kerajaan Gagelang? Kenapa harus membuang energi untuk mereka? Pasukan putra mahkota mungkin jumlahnya hanya sedikit. Tidak mungkin mereka menyerang tanpa perhitungan. Itu sama saja menyerahkan nyawa. Hamba yakin ini hanya salah paham.” Aku mencoba memberi alasan. Tadi saat perjalanan dari rumah ke istana raja ini aku mendengar obrolan Patih Mertani dengan salah seorang Panglima soal rencana raja menaklukkan Gagelang. Jadi, aku bisa memanfaatkan ini untuk menahan amarahnya.

Raja Jenggala menatapku, “menyingkir dariku!”

Aku membuntuti Raja. Begitu pintu terbuka, Inu Kertapati sudah menunggu di atas kudanya. Matanya menatap syok padaku—ehm, rambutku maksudnya. Aku hanya nyengir dan menatap jenaka padanya. Dan dia malah melengos, kentara sekali tidak suka dengan penampilanku. Heuh, dasar makhluk kolot! Tidak tahu gaya rambut kekinian. Banyak kok artis Korea yang berambut pendek dan hasilnya mereka tetap cantik. Aku juga begitu. Sekalipun rambutku pendek dan tidak bisa disanggul, aku tetap cantik. Sebab, cantik itu bukan perkara yang bisa dilihat mata. Hati-lah yang mengenali kecantikan. Tapi, Inu Kertapati malah melengos, pertanda dia tidak punya hati.

“Maafkan kelancangan hamba yang mulia,” ucapnya setelah turun dari kuda dan menghormat, “hamba ingin mengajak prajurit Jenggala berlatih bersama untuk menghindari ancaman Kerajaan Sriwijaya. Tapi, semua salah paham. Mereka berpikir hamba memberontak.”

Wajah Raja Jenggala yang semula memerah dan tegang, kini terlihat lebih rileks. Dia melirik Patih Mertani dan patihnya menunduk—tidak berani menatap atau berbicara.

“Karena mereka salah paham, akhirnya hamba memutuskan untuk menemui Paduka Raja. Apakah yang Mulia Raja Mapanji Garasakan keberatan atas niat hamba ini?”

Raja Jenggala mengedip, “tentu, Pangeran. Aku dengan tangan terbuka menerima usulanmu. Kamu berhak berlatih dengan prajuritku, mengingat kamu adalah calon menantuku.”

“Hamba juga menagih hadiah sayembara yang diadakan di kaputren semalam, Yang Mulia. Galuh Ajeng mengumumkan bahwa pemenang sayembara akan menikahi kakaknya, Dewi Sekartaji.”

Kini wajah Padukaliku dan Galuh Ajeng menjadi pias.

“Itu—itu—itu tidak benar, Ayahanda. Hamba hanya bermain-main. Mana mungkin saya menyerahkan calon suami saya pada kakak saya sendiri.” Galuh Ajeng masih membela diri.

“Galuh Ajeng,” Dewi Kilisuci muncul dari gapura dengan langkah pelan.

Heran ya dengan wanita petapa satu itu. Dia selalu muncul di saat yang pas. Tidak semalam, tidak pagi ini. Dia sudah seperti jaelangkung.

“Hormat kepada Yang Mulia Sri Sanggramawijaya!” Teriak Patih Mertani, mengkomando.

Raja Jenggala dan seluruhnya menunduk hormat. Hanya aku yang masih tegak berdiri. Bukan tidak sopan, hanya saja aku malas pada Dewi Kilisuci yang bergelar Sri Sanggramawijaya itu. Dia mengajakku bekerjasama untuk mengetahui penyebab kematian Dewi Sekartaji. Tetapi malah menyembunyikan detail rencananya dariku. Terutama rencananya tadi... hm, soal Raden Inu Kertapati meniduriku. Dipikirnya, aku ini hanya seonggok boneka yang akan diam saja saat dibanting atau diijak. Heuh.

“Seorang putri harus menepati ucapannya. Kalau dari hal kecil ini saja kamu tidak bisa bersikap ksatria, bagaimana nanti kamu akan memimpin negeri ini?” ucap Dewi Kilisuci pelan, “Yang Mulia Mapanji Garasakan, adikku... kamu harus tegas. Jangan biarkan anakmu bersikap tidak jujur.”

“Kakang mbok, bagaimana hamba bisa menikahkan putri hamba kalau sekarang... rambutnya....”

Dewi Kilisuci memandangku. Dia mendesah—terkesan kecewa. Masa bodoh. Ini adalah gaya rambut yang sesuai untukku. Modern dan stylish! Bye-bye sanggul, paes, mahkota dan antek-anteknya! Aku muntah!

“Kalau begitu keadaannya, maka berikan waktu sampai rambutnya memanjang.” Tutup Dewi Kilisuci merasa tak bisa melakukan apa-apa, “Tetapi, untuk menghindari serangan Sriwijaya sewaktu-waktu, Jenggala dan Panjalu harus bekerja sama berlatih pertahanan. Selama itu, biarkan Raden Inu Kertapati dan pasukannya berdiam di Jenggala. Tugaskan dia untuk melatih prajurit sampai hari pernikahannya tiba.”

“Sendiko dawuh, Kakang mbok.”

***

Aku sedang meniup daun pacar kayu tumbuk yang ditempelkan di kuku agar cepat kering saat Dewi Kilisuci datang, berikut juga Raden Inu Kertapati. Mereka menatap nyalang dan aku membalas mereka dengan seringaian bodoh. Dewi Kilisuci hanya menggeleng-gelengkan kepala. Merasa kasihan dan geram sekaligus. Sedangkan Raden Inu Kertapati lebih banyak menunduk, hanya sesekali menatapku. Itupun dengan ekspresi yang sulit kudefinisikan. Entah marah, entah malu, entah masa bodoh, dan entah-entah yang lain. Aku tidak terlalu ambil peduli pada mimik wajahnya.

“Sekarang apa yang akan kamu lakukan?” Dewi Kilisuci mengawali percakapan dengan pertanyaan. Tak ada kalimat pembuka yang berisi basa-basi. Misal, pertanyaan soal hukuman potong rambutku. Atau yang lebih sederhana, bagaimana keadaanku pagi ini. Hubungan kami memang hubungan berjenis platonis. Tak ada kepedulian dan ketulusan. Semua serba pragmatis. Aku diuntungkan apa kalau melakukan ini. Aku dirugikan apa jika tidak melakukan itu. Yah, hanya seperti itu. Hubungan yang dangkal, kan? Tapi jangan sebut aku Jovanka jika tak bisa membuat onar. Aku adalah mantan siswa wanted guru Bimbingan dan Konseling ketika SMA. Most wanted. Dicari bukan karena melanggar aturan. Tapi, karena aku berprestasi dan tak mau diutus mewakili sekolah dalam even lomba seni. Apa ya dulu namanya? Hng, Festival Lomba Seni Siswa Nasional? Ugh, aku lupa. Pokoknya sejenis itu. Aku diminta ikut lomba membatik dan aku dengan bangga menolaknya.

Sepertinya, aku harus mengoptimalkan bakat bikin onar agar hubungan ini tidak datar seperti papan setrika.

“Bagaimana gaya rambutku? Aku terlihat lebih muda. Iya, kan?” kukibaskan ujung rambut dengan jari-jariku.

Hari ini aku berdandan seperti wanita Mesir. Kalau kalian pernah melihat penampilan Cleopatra di film, nah begitulah gaya rambutku sekarang. Untuk mahkota, aku menggunakan batu permata yang dironce dengan benang. Kuletakkan untaian permata itu melingkar di kepala. Saat bercermin, aku sangat puas dengan hasilnya. Terlihat lebih muda dengan gaya berpakaian putri yang tidak monoton.

“Setidaknya, komentari penampilanku dulu. Jangan menatapku dengan mata kasihan, tapi enggan menghibur. Itu namanya curang!” Kataku sambil bertelekan di atas kursi panjang.

Tapi, niatku memancing amarah mereka tidak berhasil. Dua makhluk yang ternominasi dalam kingdom animalia itu tidak menanggapiku.

“Aku tidak bisa berlama-lama di sini,” Dewi Kilisuci bersiul. Seekor burung elang menukik di atasku kemudian hinggap di lengannya. “Elang ini yang akan menyampaikan informasi dariku. Kalau ada perkembangan, jangan lupa mengabariku untuk menentukan langkah selanjutnya.”

“Baik, Yang Mulia.” Raden Inu Kertapati menyetujui idenya. Kalau melihat sepintas, sepertinya Dewi Kilisuci mau pergi ke tempat  bertapanya lagi. Terlalu lama di Jenggala bisa menimbulkan kecurigaan raja dan permaisuri. Salah-salah, dia bisa dituduh ingin merebut tahta kerajaan.

Nah, kalau dia mau kembali ke tempat bertapanya, yang lokasinya entah di mana, aku harus segera bertanya hal-hal yang hanya diketahuinya. Didorong rasa ingin tahu, aku melompat dari kursi, “aku ingin bertanya, Dewi Kilisuci. Jelaskan padaku tentang Sukma Selira.”

Dewi Kilisuci hanya mendesah, “aku tak ada waktu melayani gadis bodoh sepertimu.”

Aku yang biasa dipuji cerdas, bahkan oleh atasanku, aku disebut jenius, langsung melongo mendengar ejekannya.

“Hei. Kalau aku tahu sesuatu, aku tak akan mengabarimu.” Teriakku, mengiringi kepergiannya. Dan, dia adalah Dewi Kilisuci—wanita paling keras kepala yang pernah kutemui. Heran deh. Dalam sejarah dia disebut wanita berhati suci hingga menolak tahta kerajaan karena takut tidak bisa adil. Tapi, lihatlah dia barusan. Setelah menghinaku bodoh, dia bahkan tak meminta maaf. Malah meloyor pergi. Oh ya ampun! Akhlakless.

“Apa yang ingin kamu ketahui?” Raden Inu Kertapati menyadarkanku. Dia masih menatapku, melihat rambutku dari dekat.

Aku segera tersenyum, “bagaimana rambutku sekarang? Bagus?”

Dia hanya menghela napas.

“Di jamanku wanita berambut pendek itu lazim. Bahkan ada yang ekstrim dengan menggunduli rambutnya.” Ceritaku, “kamu tidak berhak menghakimi wanita berambut pendek. Toh, kebaikan hati seseorang tidak ditunjukkan oleh rambutnya.”

Raden Inu Kertapati malah menyentak selendang yang kugunakan menutupi pundak. Selendang favoritku itu robek memanjang. Aku memukul lengannya kuat-kuat. Dia malah memutar dan membawaku dalam pelukannya. Bodohnya, aku malah terpesona karena baru sekali ini aku bisa merasai denyut jantungnya di tubuhku. Dan, di tengah kelengahanku, dia memarik kemben yang kugunakan.

Sial. Sial. Aku menendang perutnya kemudian mundur beberapa langkah.

“Apa aku sudah bilang kamu brengsek?” tanyaku sambil membelakanginya karena membenahi kemben yang nyaris melorot.

“Rambutmu.”

“Hah?” aku membalik tubuh, menatapnya dengan wajah bego.

“Rambut adalah simbol. Sama seperti pakaianmu. Kalau ada orang yang melucutinya, kamu menyebut dia apa?”

“Mesum. Brengsek. Bajingan.”

“Begitu juga kalau ada yang memotong rambutmu.”

Aku menatap Raden Inu Kertapati dengan mata menyipit, “beda. Kamu tidak bisa menyamakannya. Pakaian menutupi aurat. Melepas pakaian seseorang berarti..., “ aku malas bicara serius, bagaimana kalau kugoda saja pria tanpan tapi berwajah es balok ini ya? Oke, ide brilian. “Kalau kamu melepas pakaianku berarti kamu siap tidur di ranjang bersamaku.”

Raden Inu Kertapati malah mendengus sebal. Dia duduk di kursi panjang. Diam di sana. Aku memutuskan untuk duduk di sebelahnya. Berusaha memahami sudut pandangnya soal rambut sampai dia menyamakan rambut dengan pakaian. Betapa rumitnya hidup di jaman ini. Ck!

“Sukma selira....” ucapku, berusaha serius.

Dia menatapku, “ajian itu milik Dewi Kilisuci. Dan, murid-muridnya termasuk aku, tidak ada yang diberi. Mengingat, ajian ini sangat kuat dan berbahaya kalau sampai disalahgunakan.”

“Tapi, Dewi Kilisuci bilang bukan dia yang mengundangku masuk dalam raga Dewi Sekartaji.”

Dia membenarkan. “Dia hanya bisa memindahkan dalam satu jaman. Misal, saat Padukaliku meninggal dunia, dia memasukkan sukma Galuh Ajeng. Dan, fenomenamu..., tidak ada yang tahu. Kamu datang dari jaman yang berbeda dengan kami. Entah dengan cara apa dan bagaimana.”

“Kalau sukma Galuh Ajeng masuk dalam tubuh Padukaliku, apa yang terjadi pada tubuh Galuh Ajeng?” aku langsung ingat jasadku yang kutinggalkan. Apakah baik-baik saja ataukah....

“Mati.”

Degg. “Mati?”

Raden Inu Kertapati menunduk dan enggan menyahutku. Aku mendesah. Merasa terluka.

Kalau apa yang dikatakannya benar, maka aku.... SUDAH MATI.

Aku mengusap wajah, merasa tidak baik-baik saja karena di jaman modern, aku sudah mati dan jasadku telah membusuk. Itu artinya aku tidak memiliki kesempatan untuk kembali lagi. Aku tersesat di jaman ini selama-lamanya.

Jovanka..., jangan lupa makan, hindari mie instan dan tidur yang cukup. Mama tahu kamu harus menyelesaikan maket bangunan apartemenmu. Tapi, kamu harus ingat..., tubuhmu butuh nutrisi dan istirahat.”

Suara ibuku terdengar begitu jelas di telingaku. Begitu juga bayangannya. Senyumnya yang teduh masih tergambar dalam ingatanku. Suara dan wajahnya adalah perpaduan paling mistis, yang melesakkanku dalam duka.

Jangan lupa, malam Minggu nanti kita makan malam bersama, ya. Mama sudah tua, ingin menghabiskan banyak waktu berdua denganmu.

“Mama....” gumamku kelu. Apa yang terjadi pada mamaku sekarang? Dia pasti sedang meratapi kematianku. Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk berpamitan atau mewujudkan keinginanannya sebulan lalu, makan malam bersama. Keinginanan mama begitu sederhana, tapi tak kukabulkan. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku dan menomorduakan mamaku, keluarga yang kumiliki satu-satunya.

“Mama?”

“Ibuku pasti sedang menangis karena aku meninggal mendadak.” Kataku lirih, berusaha menyembunyikan suaraku yang parau. “Kenapa harus aku yang masuk dalam sukma Sekartaji? Kenapa bukan orang lain? Kenapa harus aku... ibuku tinggal sendiri. Hanya aku yang bisa dia andalkan dan aku malah meninggalkannya.”

“Takdir tidak bisa diubah sekalipun kamu menggugatnya. Jadi, diterima atau kamu tolak, takdir buruk akan tetap mendatangimu, begitu juga takdir baik.”

Aku memejamkan mata, membisikkan kalimat “all is well” pada diri sendiri. Namun, aku sadar betul bahwa keadaanku memang tidak baik-baik saja.

“Berarti aku akan berada di jaman ini selamanya?”

Raden Inu Kertapati memandangku, “tidak ada yang bisa menebak akhir hidup seseorang. Apakah kamu akan berada di sini selamanya ataukah kamu kembali ke jamanmu? Kamu hanya harus terus hidup agar tahu akan seperti apa nasibmu nanti.”

“Jika jasadku sudah membusuk, kembali ke jamanku pun percuma. Aku hanya akan jadi arwah penasaran.”

“Apa kamu mau menyerah sekarang?”

Menyerah?

“Dan membiarkan dirimu terjebak pertanyaan ‘mengapa aku ada di sini’ seumur hidupmu?”

“Tidak.”

“Bagus.”

“Aku tidak boleh menyerah. Pengetahuan Dewi Kilisuci soal Sukma Selira sangat terbatas. Dia bahkan tidak tahu mengapa aku dari masa depan bisa berada di sini sekarang. Itu artinya dia juga tidak bisa menyimpulkan aku sudah mati. Bisa saja aku koma.”

“Koma?”

“Aku masih hidup tetapi tidak sadarkan diri.”

Raden Inu Kertapati tersenyum kecil. “Boleh aku bertanya sesuatu?”

“Tentang?”

“Dayang inangmu.”

“Aku memanggilnya Mbok Ngadiseno. Dia telaten dan sabar. Kenapa?”

“Ingat tidak saat kita bertemu pertama kali di tepi sungai, seusai aku dan Sekartaji diserang musuh? Dia tiba-tiba saja datang dan bilang kamu harus segera kembali ke istana dan besok lagi bisa berkunjung ke makam permaisuri.”

“Padahal, Sekartaji baru pulang dari tempat pertapaan Dewi Kilisuci, bukan dari makam.” Lanjutku merasa ada yang janggal.

Pria itu mengangguk.

Aku segera melompat dari duduk dan berlari ke dalam rumah untuk mencari keberadaan dayang inangku. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dan, aku butuh penjelasannya.

“Mbok..., Mbok Ngadiseno....” aku memutari ruangan-ruangan di rumahku. Tak ada satupun tanda-tanda keberadaannya. Justru saat aku masuk dalam kamar tidurku, aku menemukan daun lontar dan sebuah batu berukir. Raden Inu Kertapati berada di belakangku, ikut melihat dua benda yang kutemukan.

“Sometimes what you want to know you shouldn't need to know. Kadang apa yang ingin kamu ketahui sebaiknya tidak perlu kamu ketahui.” Gumamku membaca tulisan di daun lontar. Aku mengernyit, mengartikan tulisan berbahasa Inggris ini.

“Kamu bisa membaca tulisan ini?”

Aku mengangguk. “Tulisan ini menggunakan alfabet. Di jamanku, kami tidak menggunakan tulisan sansekerta, jawa kawi, atau hanacaraka, namun menggunakan alfabet. Dan, kami juga mempelajari bahasa asing. Salah satunya yang tertulis di sini, bahasa Inggris. Ya ampun!” jantungku berdentam-dentam karena menyadari sesuatu yang aneh dari tulisan ini. Aku menatap Raden Inu Kertapati, “selain aku mustahil kalian bisa membaca tulisan ini. Kalau ada yang menulis ini, berarti ada orang lain yang berasal dari jamanku di sini.” Aku menatap bahagia, merasa mendapatkan titik terang.

“Jangan bahagia terlebih dahulu. Kamu tidak bisa memastikan apa-apa pada hal yang masih tanda tanya. Coba lihat batu segel yang kamu pegang.”

Aku menyerahkan benda berbentuk segi empat dengan ukiran entah apa padanya. Oh, namanya batu segel. Kupikir ini souvenir dari orang yang menulis pesan padaku.

Raden Inu Kertapati mengamati batu segel sambil menipiskan bibir. Oh ya, dahinya ikut berkerut-kerut seperti mengingat sesuatu. Entah kenapa saat dia sedang diam dan berpikir membuatnya terlihat lebih menawan. Ughh, apa sih ini yang kupikir? Ckck.

“Padepokan Galung Nagari?” kini Raden Inu Kertapati menimang-nimang batu berukir yang dia ambil dari tanganku. “Ukiran segel ini adalah simbol Padepokan Galung Nagari.”

“Di mana letaknya?”

“Kerajaan Gagelang. Aku akan mengabari Dewi Kilisuci terlebih dahulu untuk langkah selanjutnya. Kamu....”

Raden Inu Kertapati menatapku dengan wajah sangsi. Dia sampai mengucek matanya. “Kamu....?”

“Aku?” aku menyentuh dadaku, “aku kenapa?”

“Aku melihat wajahmu jadi sedikit aneh.”

“Aneh?” aku menepuk pipiku. “Aneh bagaimana maksudmu?”

“Wajah yang—” dia berhenti sejenak kemudian menatapku lagi. “Cantik,” sahutnya menyerupai gumaman.

Aku tersenyum mencemooh, “kalau mau merayu bilang saja. Tak usah membuatku khawatir.”

“Aku tidak merayu.” Dia malah menipiskan jarak antara kami. Otomatis aku mundur dan sebisa mungkin menghindari matanya. Terlalu dekat dengannya plus menatap matanya membuat jantungku kehilangan fungsi. Aku belum mau merasakan pedihnya sekarat lagi.

Raden Inu Kertapati mendekat hanya untuk merobek selendangku yang sudah compang camping kemudian menjadikannya pembungkus batu segel. Dia menyerahkan batu itu kepadaku lagi.

“Kenapa...?” dia mengernyit, menatapku lekat.

“Apa yang kenapa?” aku menyelipkan batu pada ikat pinggang kain yang kukenakan.

“Mana batu segelnya.” Ia meminta, bukan menjawb pertanyaanku.

Kuambil lagi batunya dan menyerahkannya pada Inu Kertapati. Pria itu menerima dan dengan tidak sabaran membuka pembungkusnya. Setelah itu dia kembali menatapku.

“Oh...,” desahnya lega, “jadi ini fungsi batu segel.”

Aku masih belum paham, “apa?”

“Wajah aslimu terlihat ketika aku memegang batu ini.”

“Serius? Memang bagaimana wajahku?”

Raden Inu Kertapati mengambil perkamen kayu kemudian mengambil pena bulu. Dia menatapku lalu menggambar sebuah wajah. Aku menunggunya dengan tidak sabar. Berulangkali aku mengintipnya, tapi dia segera berdehem dan menyuruhku tetap di posisi semula. Aku terkantuk-kantuk di kursi panjang, lengkap dengan daun pacar kayu yang mengering di kukuku.

“Menurutmu, siapa yang meletakkan batu dan kertas itu di kamarmu?” tanyanya.

Aku tidak segera menjawabnya, malah menguap. Ketidaksopananku ini langsung direspons oleh Inu Kertapati. Pria kolot itu menatapku dalam diam. Tidak berkomentar, tapi matanya lebih ganas ketimbang mulutnya.

“Siapapun, dia adalah kunci.” Balasku sambil lalu.

“Dia meletakan kedua benda ini di kamarmu. Itu artinya dia ingin terlihat olehmu. Nah, kalau memang benar begitu, ayo, kita jebak.”

“Pertama, aku harus menemukan dayang inangku. Kedua, aku akan menginterogasinya. Ketiga, aku akan mempertimbangkan idemu.” Aku benar-benar tidak suka didikte seseorang. “Keempat, berhenti memerintahku.”

“Aku mengajakmu.”

“Raden Inu Kertapati, sependek ingatanku..., yang kamu sebut ajakan itu adalah perintah.”

“Kalau begitu, bukankah kamu harus menaatinya? Dengan sukarela ataupun terpaksa.”

TBC

Panjang bener kan bab kali ini. Semoga kalian suka.

Tabik
Susan Arisanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro