Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3 Jalan Keluar

Saat aku sadar, aroma minyak kayu putih yang pertama kali menusuk indra penciumanku. Di satu sisi aroma ini mampu melegakan hidung, apalagi jika sedang mampet karena serangan flu. Tetapi mencium aroma ini dalam waktu yang lama membuat kepalaku pening. Aku beringsut, menghindari aroma yang makin lama tercium semakin pekat.

"Bangunlah." Suara wanita.

Hm, ibuku tidak mungkin ke apartemenku kemudian merusak tidurku dengan menyalakan humidifier dengan aroma yang kubenci. Sahabat perempuanku? Irene sudah menikah dan tinggal di Amerika Serikat. Dia bilang akan menetap di sana dan akan pulang setahun sekali saat idul fitri. Jadi dia tak mungkin pulang kampung sekarang. Jadi, siapa wanita yang menyuruhku bangun? Dari suaranya sangat asing. Aku belum pernah.... ya-ampun-astaga! Aku duduk dengan sangat cepat hingga membuat kepalaku pusing. Kupijit-pijit pelipisku agar rasa berdenyutnya hilang. Kuamati sekitar pelan-pelan kemudian mendesah kecewa karena rupanya aku masih berada di jaman kerajaan Jenggala.

"Melihatmu bertempur mati-matian dengan Galuh Ajeng, aku jadi bertanya-tanya, siapa kamu?" Dewi Kilisuci duduk di amben kayu yang berseberangan denganku. Matanya tajam menguliti keberanianku.

Apa sebaiknya aku mengaku?
Tapi nanti geger kerajaan ini kalau aku bilang bahwa aku bukan Dewi Sekartaji.

"Sekartaji." Ucapku grogi.

"Keponakanku akan lebih memilih mengalah dan berdamai, sekalipun pada seorang penjahat. Dia bukan gadis sepertimu, yang akan melawan dan masa bodoh pada resikonya. Jadi, jujurlah, siapa kamu?" dia masih tak mempercayaiku.

"Apa aku akan selamat kalau mengaku? Aku tidak akan dibunuh kan?"

"Tergantung." Dia mengambil napas panjang, "namun sejauh ini, kamu bisa mempercayaiku."

Aku menghela napas. Kalau memang harus mati ya mati saja. Toh aku nyaris dua kali mati. Satu tertimpa besi di proyek bangunan. Dua terkena pukulan dari kelima jari Galuh Ajeng. Jadi, tak perlu takut menghadapi apapun sekarang. Lagipula, aku harus mempercayai Dewi Kilisuci seperti permintaannya, juga permintaan pria asing di alam bawah sadarku. Bahwa aku harus menemui Dewi Kilisuci untuk mendapatkan penjelasan.

"Namaku Jovanka Imelda. Aku sedang melakukan kunjungan proyek di Jakarta Utara. Saat itu aku tertimpa besi dari lantai empat dan ketika sadar tiba-tiba aku ada di sini." Aku menghela napas panjang kemudian menegakkan punggung agar bisa bersandar pada kepala ranjang. "Sebenarnya, aku tidak tahu kenapa bisa berada di jaman ini, terlebih aku tidak tahu bagaimana bisa masuk dalam raga Dewi Sekartaji."

"Sukma selira," gumamnya pelan, "yang kamu alami dinamai sukma selira." Dia pun melangkah mendekat padaku, kemudian duduk di tepi ranjang yang kutempati. "Aku yang menciptakan ajian ini. Satu-satunya yang tahu ilmu sukma selira adalah aku. Sedangkan aku tak mengundangmu. Jadi, siapa yang membawamu?"

"Aku tidak kenal." Jawabku segera, "hanya saja dia mengaku sebagai anakku."

"Anakmu?"

"Dewi Kilisuci, apakah kamu mempercayaiku?" ulangku, merasa janggal. Fisikku adalah Dewi Sekartaji. Dan, hanya dengan sebuah pengakuan, seorang mantan pewaris tahta kerajaan bisa mempercayaiku. "Apa kamu tahu di mana sukma Dewi Sekartaji?"

Dia tercenung, "dia dibunuh."

Kepalaku penuh tanda tanya.

"Bertepatan dengan kamu masuk dalam raganya."

"Apa aku yang membunuhnya?"

"Bukan. Tentu saja bukan. Aku menyuruh seseorang untuk mengikuti Dewi Sekartaji sepulang dari tempat pertapaanku untuk memastikan dia sampai istana dengan aman. Di tengah jalan, dia dicegat orang-orang berpakaian hitam dan bercadar. Saat itu telik sandiku ingin menolong, namun keduluan Raden Inu Kertapati. Dan, karena jumlah mereka banyak dan tak bisa diremehkan, Raden Inu Kertapati dan Sekartaji kewalahan. Hingga akhirnya salah seorang dari orang misterius itu menggunakan ajian terlarang untuk menghabisi nyawa keponakanku."

Pantas saja, saat aku membuka mata yang kulihat adalah Raden Inu Kertapati menatapku was-was dengan keris masih terhunus. Rupanya, sebelum sukmaku masuk dalam tubuh Dewi Sekartaji mereka sedang berkelahi dengan penjahat.

"Siapa orang misterius yang menyerangnya?"

Dewi Kilisuci menggeleng, "aku masih menyuruh Raden Inu Kertapati menyelidikinya." Dewi Kilisuci menghela napas, "omong-omong soal kejadian semalam, sebenarnya itu dalah rencanaku. Aku mempengaruhi Galuh Ajeng untuk segera menyingkirkanmu. Juga agar Raden Inu Kertapati tidak terus memikirkanmu dan hanya memikirkan Galuh Ajeng saja. Umpanku berhasil, Galuh Ajeng melakukan hal yang kuinginkan. Setelah itu, aku juga yang memaksa Raden Inu Kertapati mengikuti pertarungan. Tapi, aku tidak memprediksi kalau Galuh Ajeng gelap mata lalu menyerangmu. Juga kamu... kekuatan apa yang pernah kamu pelajari? Yang tersimpan dalam dirimu?"

Kekuatan? Jadi, benar..., tenaga dalam yang merobohkan bangunan witana semalam itu berasal dariku. Aku hanya bisa menggeleng. kalau saja aku tahu, tentu aku tak akan bertanya-tanya. Aku sendiri juga heran, aku punya tenaga dalam sedemikian besar itu dari mana. Dulu, saat SMA aku memang ikut silat Pagar Nusa. Namun, semenjak kuliah aku sudah tidak berlatih karena sibuk dengan tugas, kuis dan segela tetek bengek yang berkaitan dengan jurusanku.

"Kekuatan yang tersembunyi dalam dirimu sangat... gelap dan hanya orang dengan ilmu hitam yang bisa melakukan itu."

"Ilmu hitam? Maksudnya?"

"Orang-orang yang bersekutu dengan iblis."

Aku menelan ludah yang tersangkut di kerongkongan. Aku bersekutu dengan iblis? Yang benar saja!

"Aku tidak seperti itu." Bantahku, sedikit sebal. Enak saja menyebutku bersekutu dengan iblis. Jalan hidupku lurus dan terarah. Aku hanya fokus pada pekerjaanku sebagai arsitek dan tidak pernah terlibat pesugihan, ilmu kepal dan semacamnya. "lalu apa rencanamu setelah ini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan yang tidak kusukai.

"Setelah ini aku akan menghadap Raja dan memintanya untuk menikahkan kalian. Pernikahan ini untuk memudahkan kalian menyelidiki kasus ini tanpa ada satupun yang curiga. Sedangkan aku..., aku tak boleh terlibat terlalu dalam agar tak dicurigai. . Kalian bisa pergi berdua dan mencari tahu. Lalu laporkan padaku." Dewi Kilisuci menjelaskan rencananya.

Aku mengangguk-angguk, "Galuh Ajeng sangat terobsesi pada Raden Inu Kertapati. Apakah mungkin Raja Panjalu bersedia menikahkan kami?"

Senyum di wajah Dewi Kilisuci merebak, "karena itulah aku menyuruh Raden Inu Kertapati ke sini." Lalu, sang dewi itu menotok aliran darahku, "kamu ikuti saja permainan ini dan jangan berulah. Raden Inu Kertapati, sudah cukup mengupingnya. Kamu bisa masuk dan menjalankan rencana kita."

Lidahku kaku. Begitu juga ototku. Tulang-tulangku terasa memberat dan seluruh sendi di tubuhku tak bisa digerakkan. Dewi Kilisuci merebahkan tubuhku dan menutupiku menggunakan selimut sutera.

Pintu rumahku terbuka dan muncullah sosok Inu Kertapati. Pria itu berjalan ke arah kami kemudian memberi hormat pada Dewi Kilisuci. Mereka berbisik-bisik, tidak membiarkan aku mendengarkan obrolan mereka. Kalau tahu begini, lebih baik aku membuat rencana sendiri. Mereka tidak mempercayaiku. Dalam manajemen organisasi, salah satu komponen penting bekerja dalam tim adalah percaya satu sama lain. Bukan seperti mereka. Mengajakku merencanakan hal sinting, tapi menyembunyikan detail rencananya. Benar-benar durhaka!

Dewi Kilisuci keluar dari rumahku dan di ruangan ini hanya ada aku dan pria dewasa yang matanya sejak tadi terarah padaku. Dia mendekat, duduk di tepi ranjang. Dengan gerakan cekatan, dia menekan leherku, melepaskan totokan Dewi Kilisuci. Aku mengeluarkan udara dari mulut, merasa lega.

"Aku disuruh membiarkanmu seperti patung. Tapi, melihat matamu tiba-tiba aku merasa kasihan."

"Brengsek!" umpatku, merasa dipermainkan karena tingkah semau sendiri Dewi Kilisuci.

Raden Inu Kertapati menaikkan alis kanan.

"Sialan!" ulangku, memperbaiki umpatanku jadi sedikit lebih sopan.

Dan, dia malah tersenyum mendengarku mengumpat. "Sudah puas?"

Aku memutar bola mata, sebal. "Apa yang kalian bicarakan tadi? Kenapa kalian seperti menyembunyikan sesuatu dariku?"

"Kalau aku merahasiakan sesuatu, aku tidak akan melepas totokanmu."

"Oh, aku sangat terharu dengan kebaikan hatimu, Pangeran!" ucapku sarkatis. "Asal tahu saja, aku bukan orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Apalagi merencanakan hal kotor."

"Apakah pura-pura menyerah agar Galuh Ajeng marah tidak termasuk hal kotor?" singgungnya dengan nada lembut dan menggoda.

Sial! Aku ketahuan. "Aku memang kalah, kamu tahu itu."

"Aku bahkan masih ingin bermain-main denganmu, tapi kamu seperti wanita gampangan."

"Kalau mulutmu tidak kamu ajari etika, aku dengan senang hati menyumpalnya."

Raden Inu Kertapati tertawa, kali ini suaranya terdengar renyah. Tidak terkesan menyudutkan sama sekali.

"Jadi, apa rencana sekarang?" tanyaku, ingin tahu dan mengakhiri perdebatan kusir kami.

"Aku harus menidurimu." Jawabnya, apa adanya. Membuatku bersemu malu. "Yah, hal semacam itu."

"Agar Raja Panjalu menangkap basah perbuatan kita dan mau tidak mau dia harus menikahkan kita. Begitu?" aku duduk di sebelahnya karena rasanya tidak etis mengobrol dengan posisi tiduran.

"Begitulah." Dia menatapku, "tapi, semua terserah padamu. Aku tidak akan melakukan apapun kalau kamu tidak setuju."

"Sedekat apa hubunganmu dengan Dewi Sekartaji?"

Dia mengangkat tangan kemudian menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya padaku, "sedekat ini."

"Kalau begitu lakukan saja."

Raden Inu Kertapati menggeleng, "kamu bukan Dewi Sekartaji."

"Kamu bisa menggunakan ajian sirep agar aku tidak sadarkan diri. Wajahku adalah wajah yang paling kamu rindukan. Aku juga tak berhak atas tubuh ini. Jadi, jika itu satu-satunya jalan keluar yang kamu butuhkan untuk menyelidiki siapa pembunuh Dewi Sekartaji, lakukan saja. Jangan ragu." Aku mencoba berpikir realistis, "karena dengan begitu, aku juga akan tahu apa alasanku tersesat di jaman ini."

Raden Inu Kertapati tertawa lagi, "kamu pernah tidur dengan lelaki, ya?"

Mataku membelalak, tidak menyangka akan ditanya dengan pertanyaan seintim ini. "belum, tapi... tapi...."

Ada tangan yang menepuk-nepuk puncak kepalaku. Aku tahu dia sedang menentramkanku karena pertanyaannya yang vulgar. "Oh ya, di jamanmu, apakah seperti sekarang ini?"

Aku menggeleng, "kenapa ingin tahu?"

"Karena kamu terlihat berbeda. Jurus silatmu unik. Aku belum pernah bertemu pendekar yang menggunakan jurus-jurusmu."

Oh, pantas semalam dia menatapku penuh syak wasangka. Ternyata dia sudah curiga sejak awal. "jamanku jauh berbeda dengan jaman sekarang ini. Peradabannya, karakter manusianya, hukum yang harus kami taati, nilai moral dan etika dan masih banyak lagi yang berbeda-ehm, sebenarnya berubah."

"Beri aku satu contoh agar aku paham."

"Di jamanku pemimpin negara bukan raja, melainkan presiden."

"Presiden?"

Aku mengedip, "setiap titah raja dikultuskan sebagai titah Tuhan. Siapa yang menentangnya akan dicap pengkhianat dan sebagai hukumannya, bisa dihukum pancung. Sedangkan di jamanku, semua orang punya kebebasan untuk mengkritik kebijakan pemerintah, bahkan presiden sekalipun. Dan, tahta tidak diwariskan pada keturunan, melainkan dipilih oleh rakyat."

"Itu... terkesan asing."

"Gusti Putri, Patih Mertani ingin bertemu." Suara punggawa dari luar mengejutkan kami. Raden Inu Kertapati berdiri untuk menyambut. Tapi, aku meraih lengannya dan berinisiatif melakukan sesuatu sesuai rencana.

"Gusti...."

Aku mencium sudut bibir Raden Inu Kertapati singkat dan pura-pura tergagap karena ketahuan Patih Mertani. Di sana-ya-ampun-heal. Galuh Ajeng berdiri di sebelah kanan Patih Mertani. Mampus!

"Jika ingin mencium, lakukan dengan benar." Bisik Raden Inu Kertapati di telingaku. Aku meliriknya, mengirim tatapan maut.

"Raja Jenggala meminta-" Patih Mertani berhenti hanya untuk mendengar umpatan Galuh Ajeng padaku.

"Wanita murahan. Pelacur!" Galuh Ajeng menatapku. Kebencian berton-ton terpancar dari matanya yang bulat.

"Iya, aku memang murahan. Tapi, aku bukan pelacur karena aku melakukannya dengan orang yang kucintai." Balasku santai dan tidak merasa bersalah.

Ekspresi Galuh Ajeng benar-benar membuatku kegirangan. Dia sangat mudah terpancing. Inilah kelemahan orang yang sedang jatuh cinta. Mereka sering dibutakan oleh perasaan hingga tak bisa berpikir realistis. Benar-benar menyedihkan!

"Patih Mertani, seret Sekartaji ke penjara! Sekarang!" perintahnya pada patih kerajaan Panjalu.

"Kalau kalian berani memenjarakan calon istriku, maka aku-putra mahkota kerajaan Jenggala-tidak akan segan-segan berhadapan dengan Panjalu." Suara Raden Inu Kertapati terdengar berwibawa.

Aku saja sampai menoleh karena tak percaya dengan intonasi suaranya yang tegas dan memaksa. Patih Mertani terlihat dilema. Dia menghadapi situasi yang dp luar kemampuan dan kekuasaannya. Di satu sisi, ada seorang putri yang harus dituruti kehendaknya. Di sisi lain, ada seorang pangeran dari kerajaan lain yang mengancamnya. Tapi, terserahlah... Patih Mertani mau memutuskan apa. Yang jelas, aku harus bisa meyakinkan mereka kalau aku dan Paden Inu Kertapati terlibat hubungan terlarang.

Aku pun memutuskan untuk menyempurnakan aktingku dengan memeluk lengan pria itu. Sedikit berbisik, "jangan terlalu menghayati peran, nanti aku bisa jatuh cinta sungguhan."

"Omong-omong," balasnya merendahkan suara agar bisa didengar hanya olehku, "aku tidak sedang bermain peran." Dia menatapku. Jarak kami terlalu dekat sampai-sampai membuat jantungku berdesir. "dan, aku juga tidak sedang pura-pura." Lalu dia mengakhiri kalimatnya dengan kerlingan mata sambil tersenyum lepas.

Kalau tadi jantungku hanya berdesir, sekarang jantungku sudah pindah ke perut!

TBC

Betewe, Gaes, komentarmu semangatku.

Tabik,
Susan Arisanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro