8. Kasus Kehilang (2)
"Emang the best tim kita! Apa sih yang gak hebat dari penerus Sanjaya!" ucap anak perempuan berkepang satu pada Aksara. Dia hanya tersenyum, tetapi geram mendengar kata 'Sanjaya'. Kenapa orang-orang seakan memuja keluarga Sanjaya bisa melakukan apa saja? Padahal keluarganya hanyalah manusia biasa.
Iya, mereka bukan pahlawan yang sangat berjasa. Dia lalu mengambil kameranya kembali dari tangan teman-temannya. Setelahnya berkacak pinggang.
"Cukup ngobrolnya. Orang-orang lagi sibuk beres-beres, kalian malah cuci mata," tegas Aksara.
Pita, teman satu kelompoknya cemberut. Dia tahu gadis itu sangat suka fotografi dan tugas-tugas jurusan yang berkaitan dengan kamera. Melihat gambar yang bagus, Pita akan langsung mengapresiasinya. Lama sekali, tetapi berkat gadis itu juga kelompok Aksara selalu dapat satu poin saat debat karya seni.
Kelompok Aksara berjumlah empat orang, dua perempuan dan dua laki-laki. Tiap orang berbeda keahlian, tetapi mengangkatnya sebagai ketua karena nama 'Sanjaya'. Bagaimana Aksara tidak risih?
"Sa ... Sa," panggil seorang gadis diikat dua dengan poni dibiarkan menggulung di depan.
Aksara menoleh. "Apa?"
"Minjem HP."
Aksara melihat ke langit-langit. Dia ingat ucapan saudaranya, Raka, tentang ponselnya. Email dan riwayat pencariannya sudah tercemari dengan gosip dan hoaks. Berkat anak-anak gadis yang senang meminjam ponsel Aksara.
"Kayaknya enggak dulu deh." Balasan Aksara membuat Rani cemberut. Namun itu tidak berlangsung lama.
"Eh Aksa, kalau gitu gue boleh pinjem dulu kamera?" ucap Rani, temannya yang lebih suka membuat konten.
Aksara tidak tanggung-tanggung, dia meminjamkan kamera DSLR miliknya pada Rina. Lalu dia memperingatkan, "Jaga baik-baik, ada tugas negara itu!"
"Siap, Pak Bos!" ucap Rani.
Aksara hanya tersenyum dan berbalik. Mengambil kemoceng yang ada di dekatnya. Figura foto di ruang seni agak berdebu, dia bisa menggunakan kemoceng untuk membersihkannya.
Figura itu berisi lukisan dari kakak-kakak kelasnya yang telah lulus. Ada satu lukisan yang membuat dia sangat tertarik, berupa ilustrasi tokoh-tokoh pewayangan yang dibuat nyaris semi-realistis. Satu tokoh pewayangan yang dia ingat adalah Rahwana.
Di dalam lukisan, Rahwana digambarkan sebagai seorang raksasa. Entah bagaimana pelukisnya menggambarkan warna mata raksasa itu dengan merah. Cukup mengerikan, tetapi mengingatkannya pada Sukma Aditya. Jujur, Aksara bukan penikmat cerita horor, tetapi melihat mata merah itu bergerak ke kanan dan ke kiri membuatnya berdigik ngeri. Untungnya dia hanya membayangkan sekilas, tidak benar-benar terjadi.
Ting!
Suara notifikasi ponsel mengganggu halusinasi Aksara. Dia kembali menggerakkan kemocengnya. Tidak peduli ponsel siapa yang dikirimi pesan. Aksara cukup yakin, ponselnya dalam keadaan mati dan belum dia nyalakan sejak pagi.
"Eh, aku harus bantu masak nih. Jurusan kita mau ngeliwet! Pokoknya anak perempuan harus pada ke sana!" Ucapan Pita membuat Aksara berbalik.
Aksara melihat Pita sangat berbunga-bunga, terutama teman laki-laki di kelompoknya. Makanan adalah sumber terbesar yang kelompoknya butuhkan. Aksara pun tidak pernah menolak, terlebih dia suka makan bersama jurusan tanpa membeda-bedakan sedikit pun. Di sekolah ini pula, namanya tidak begitu berpengaruh. Hanya nama ayahnya saja yang berpengaruh di tempat ini.
"Bentar, Pita. Kamu ajak Rani sekalian. Mungkin dia lagi bikin video di luar galeri," tegur Akses. Pita mengangguk, tetapi dia masih diam di tempat sambil memainkan ponselnya. Tersenyum sebentar, lalu tertawa. Aksara pun kembali menegurnya, "Pita!"
"Eh bentar, aku telpon Rani aja deh. Gak tau aku tuh ... ke mana dia perginya," kilah Pita. Gadis bermata sipit itu langsung menjelajahi daftar kontak di ponsel. Saat nama Rani ditemukan, Pita langsung menghubungi dengan Menempelkan permukaan ponsel pada telinganya.
Sambungan telpon masih belum dijawab, Aksara bisa meyakini dari gelagat Pita. Wajahnya yang biasa tenang justru mengerutkan dahi. Seperti bingung. Aksara juga tahu, Rani adalah orang yang cepat tanggap. Jarang jika Rani tidak menjawab telpon atau pesan masuk. Gadis itu tidak mungkin mengubah berdering menjadi tidak berdering. Jika begitu, Rani akan keasyikan dengan kameranya.
"Ih, Rina ke mana? Masa dia gak bawa ponsel sih?" gerutu Pita.
"Mungkin keasyikan? Kamu tahu sendiri Rani kayak gimana. Kalau enggak main sosmed pasti ketemu konten menarik yang berhasil bikin dia fokus sama itu itu aja," ucap anak laki-laki di kelompoknya. Aksara mengangguk setuju. Hanya itu alasan yang paling logis di antara lainnya.
"Bantu aku cari dia dong," gerutu Pita dengan bibir cemberut.
"Aksa, kamu bantu Pita aja," ujar teman laki-lakinya, "lagian tinggal kerjaan aku aja yang belum beres."
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Aksara menepuk pundak temannya dia pergi ke luar ruangan bersama Pita. Di sekolahnya terlalu banyak tempat cantik dan unik untuk mengambil gambar. Berkat tangan-tangan kreatif tiap jurusan, SMK Bayanaka tidak kalah indah dengan SMA dan SMPnya. Seolah memang slogan "SMK Bisa, SMK Hebat" itu memang nyata di sini. Walaupun jika ada lomba sekolah paling unggul, sudah pasti bukan mereka yang ditunjuk maju ke depan.
Mereka berpisah di taman jurusan seni. Aksara pergi ke jurusan lain, sementara Pita menanyakan pada teman-teman di jurusannya. Iya, mereka harus memastikannya terlebih dahulu.
Aula, masjid dan kantin memiliki letak strategis di sekolahnya. Berdekatan dengan jalan dari jurusan satu ke jurusan lainnya. Aksara segera saja pergi ke sana. Barang kali Rani sedang makan di sana. Sesekali dia mengecek ponsel, menekan ikon telepon di layar sentuhnya.
Seketika nama Rani terpampang jelas di layar sentuhnya. Segera saja dia menekan warna hijau dan menyapa si pemilik suara.
"Rani! Pita lagi cari kamu, udah ketemu dia?" ujar Aksara. Namun, di seberang sana tidak ada sahutan, bahkan balasan yang sangat dia harapkan. "Rani?"
Suara gaduh dan gamelan yang familier di telinga pun dapat dia dengar. Entah benar atau tidak, tetapi Aksara dapat menebak jika gadis teman sekelompoknya sedang berada di kelas musik. Banyak alat musik tradisional di sana.
"AKSA! TOLONG!" Suara nyaring di dalam ponsel membuat Aksara berhenti melangkah. Dia baru mau membuka suara, tetapi musik dari gamelan berhenti. Hening beberapa detik. Setelahnya dia hanya bisa mendengar nada sambungan yang diputus sepihak.
Aksara mencoba untuk menelpon kembali, tetapi ponselnya tiba-tiba mati. Segera saja tanpa menunggu ponselnya menyala, anak laki-laki berlari sekencang-kencangnya ke ruang seni di jurusannya. Lantai tiga, dia harus kembali menaiki anak tangga.
"Rani? Kamu di sini, Ran?" ucap Aksara sambil berteriak.
Keadaan ruang musik sangat hening. Tidak ada siapa-siapa. Entah anak jurusan yang mengurusi lantai tiga sudah selesai atau memang beristirahat terlebih dahulu. Aksara menepiskan semua pikirannya.
Aksara celingak-celinguk mencari keberadaaan Rani. Di mana teman seperjuangan dan sepenanggungannya berada? Di tengah pencarian, dia justru melihat proyektor tengah menyala. Ya ampun, memangnya Rani membuat konten apa sih?
Proyektor itu menyala, tanpa tampilan gambar apa-apa. Aksara menggeleng, lalu kembali menyerukan nama gadis yang dicarinya. "Rani!!! Kamu di mana sih?
Fokus Aksara yang melihat ke kanan dan kiri pun berhenti. Kali ini dia melihat ke bawah, Terutama tempat gamelan berada. Wajah Aksara seketika memucat. Matanya membelalak dan debaran di jantungnya tidak lagi bisa tertahankan.
"Rani!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro