Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Cemberut

Satu pertandingan saja tidak masalah, kok.

Aksara mengembuskan napas ketika dia mendengar ucapan Raka. Di rumah ini dia benar-benar bebas. Tidak akan ada larangan seperti yang ayahnya lakukan. Dia tidak perlu mengikuti kehendak atau memaksakan diri untuk menyukai hal yang bahkan tidak dia sukai. Seperti bermain piano atau belajar bahasa asing.

"Nih ponsel kamu, Aksa. Yuk mabar," ucap Raka seraya menyerahkan sebuah ponsel berwarna hitam. Benda yang dibeli dengan uangnya sendiri dan dia jarang menyentuhnya.

Aksara masih setia duduk bawah sofa ketika Raka pun ikut duduk di sebelahnya. Di hadapan mereka terdapat televisi, tetapi mereka tidak benar-benar menontonnya; Aksara kadang tenggelam dalam pikiran dan tidak menyimak apa pun dari layar tersebut. Ada sesuatu yang mengganggu dirinya. Namun, dia sulit untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri.

Tidak lama, aroma nasi goreng dengan cabai dan rempah-rempah dapat mereka hidu. Kesukaan Aksara semenjak dia diperkenankan untuk menginap di rumah ini. Paman Dirga menyodorkannya pada mereka berdua. Lalu, pria dewasa itu duduk di atas sofa dan memangku laptopnya lagi. Kembali bekerja, tetapi berbeda dengan ayahnya. Paman Dirga memilih untuk bekerja dari rumah dan pergi jika memang mendesak.

"Nasi goreng buatan Paman Dirga selalu enak. Terima kasih," ucap Aksara setelah melahap setengah dari nasi gorengnya.

"Paman justru heran kenapa kamu masih kuat menampung makanan. Padahal kamu juga baru makan malam di rumah kan? Jangan kelihatan heran begitu, pamanmu ini pernah menjadi keluarga Sanjaya. Tahu betul jadwal makan di sana, " balas Paman Dirga.

"Iya, Paman. Sayangnya makan di sana sepi. Ibu juga sibuk mengurus kantor cabang di luar kota. "

Paman Dirga hanya tersenyum, lalu membelai puncak rambut keponakannya. "Orangtuamu selalu saja sibuk ya? Tapi syukurlah, mereka berdua baik-baik saja."

Aksara mengangguk. Dia lanjut melahap nasi goreng yang tersisa. Bersamaan dengan itu, Raka baru saja selesai makan. Dia meletakkan ponsel di atas lantai barulah pergi menyimpan piringnya dan Aksara ke dapur. Paman Dirga mengawasi melalui matanya, Akasara tahu, para orang dewasa cukup khawatir karena mereka tidak bisa memainkan Sukma Aditya. Mereka hanya bisa jadi penonton dan pendamping bagi anak-anak tanpa ikut memainkannya.

"Aksa, gimana udah beres tandingnya? Aku suka heran. Tiap kali main, kamu selalu dapet hadiah menarik terus. Gatel tau enggak sih pengen main akun kamu," ujar saudaranya.

Aksara membalas, "Aku tidak mendapatkan hadiah apa pun. Aku juga belum mulai bermain."

"HAH?! Aksa kenapa enggak main? Tau enggak, selain aku kamu juga sering mendapatkan hadiah bagus. Malah lebih bagus."

"Kalian berdua memang memiliki keberuntungan yang bagus. Jadi, kalian ingin main berapa pertandingan lagi?" tanya Paman Dirga.

"Ini yang terakhir, Paman," balas Aksarra cepat tanpa menunggu persetujuan Raka.

Raka refleks menoleh padanya. "Baru juga satu pertandingan. Tumben nih cuma main sekali, jarang lho kamu bisa main Sukma."

"Aku sedang menunggu kabar soal Rani. Hari ini, kejadian di sekolah benar-benar menyita pikiran. Aku ingin menenangkan diri, sebelum ayah mengetahui kejadian ini. Untung saja anak kepala sekolah meminta ayahnya untuk tidak memberitahu ayahku dulu," balas Aksara.

"Memangnya ada kejadian apa?" tanya Paman Dirga penasaran.

Aksara tidak sengaja melihar raut wajah saudaranya berubah jadi masam. Seolah ada yang laki-laki itu sembunyikan. Padahal dia selalu melihat adiknya ceria-ceria saja. Tidak pernah ada ekspresi sedih, bahkan jika dia sedang tertimpa masalah. Namun, kali ini berbeda. Aksara yakin ada hal lain. Lalu suara notifikasi pada ponsel utamanya pun terdengar. Dia segera melihat berita apa yang masuk.

<Videlya Broadcasting'19>

Guys, kata Ayah dan Ibunya Rani, kondisinya masih belum stabil. Kemungkinan koma. Jadi kelompok @Aksara dapet keringanan dari Bu Riri buat kumpulit tugasnya.

<Pita Broadcasting'19>

Thanks, buat informasinya. Eh tapi, katanya kejadian aneh itu ada dua. Rani yang pingsan di ruang seni sama siapa gitu. Katanya dia masih ilang, belum ketemu juga.

<Si Ambyar>

Oh, Romi? Jurusan Elektro. Kayaknya kalau dia beneran diculik deh. Habis kata pihak sekolah, mereka enggak ketemu sama cowok itu di mana pun.

Aksara bungkam. Nama Romi lebih menarik perhatiannya ketimbang Rani. Dia tahu anak laki-laki jurusan Elektro itu merupakan salah satu orang terdekat Aksara. Rasanya aneh saja jika saudaranya tidak tahu atau mungkin dia berusaha menutupi semua itu. Matanya lalu bergulir ke Paman Dirga, di mana laki-laki dewasa itu tengah menuntut penjelasan.

"Temanku kecelakaan. Dia jatuh pingsan, Paman. Katanya kondisi Rani belum stabil. Berkas dokumentasi ada di kameraku, tapi memori kameranya rusak. Sementara salinannya ada pada Rani. Jadi kelompokku dikasih kelonggaran buat foto ulang," jelas Aksara tanpa mau menjelaskan soal Romi. Sepertinya Raka lebih mengetahui kasus itu ketimbang dirinya.

"Begitu. Pasti berat karena harus mengulang. Keluarga Sanjaya selalu dituntut sempurna dalam hal apa pun. Namun, mengulangi sesuatu yang baik bukanlah hal buruk. Dengan kamu memotret ulang, kamu bisa membuktikan karyamu akan lebih baik daripada yang sebelumnya. Percaya pada paman," balas Paman Dirga dengan semangat. Pria dewasa itu memang benar-benar memahami perasaannya, ketimbang bicara dengan ayahnya.

"Syukurlah kalau Kak Rani sudah ketemu, Kak Aksa. Ayah, Raka mau ke kamar dulu. Baru ingat ada beberapa berkas pemprograman yang belum Raka kirim ke Pak Bagas," ucap Raka.

Aksara yakin. Ada sesuatu yang sedang laki-laki itu sembunyikan. Nampaknya, Paman Dirga pun melihat anaknya dengan aneh. Raka bukanlah orang yang sering murung. Ini memang aneh. Jadi dia pun memutuskan untuk berpamitan pada pamannya.

Di kamar, Raka tidak melakukan apa yang dibilangnya. Bahkan tidak mau menjawab ketika Aksara bertanya. Dia lalu melihat ke sekeliling kamar tidur. Ini terlalu rapi bagi seorang Raka Virendra Sanjaya yang selalu mengacak-acak karena lupa menaruh barang. Tidak mungkin Paman Dirga yang membereskan, dia tahu betul kalau pamannya tidak begitu memanjakan Raka. Jadi saudaranya tumbuh jadi pribadi normal dan mandiri.

"Raka, apa kamu baik-baik saja?" ucap Aksara yang memberanikan diri untuk kembali membuka suara.

Raka mengembuskan napas. Dia lalu meletakkan ponselnya di atas meja belajar. Setelahnya dia kembali mengembuskan napas dan berbaring di kasur. "Entahlah, Kak. Cerita soal Kak Rani bikin aku inget kejadian di jurusan."

"Apa ini soal sahabatmu, Romi?" terka Aksara dan saudaranya mengangguk.

Dia tidak pernah melihat Raka sekacau ini. Mungkin pernah, tetapi dia tidak begitu ingat. Jadi Aksara pun memutuskan untuk duduk dengan bersandar di penopang kasur sambil melihat langit-langit. Di saat seperti ini, dia bisa menjadi pendengar yang baik. Mungkin Raka belum berani mengungkapkan apa-apa pada Paman Dirga.

"Saat itu Romi disuruh Pak Bagas untuk cetak beberapa berkas. Aku disuruh menyusul karena katanya Pak Bagas lupa memberikan uangnya. Namun, Romi tidak ada di manapun. Bahkan ketika Kak Aksa menelpon, sebelumnya aku mencoba menghubungi dia. Namun dia tidak menjawab atau menerima panggilan teleponku," tutur Raka pelan. Dia lalu mengembuskan napasnya.

"Lalu kalian tidak bertemu sama sekali?" tanya Aksara pelan.

"Aku tidak menemukannya, Kak Aksa. Hanya ada ponselnya. Aku juga tidak bisa menyerahkan ponsel itu ke jurusan. Ponsel Romi rusak, seolah jatuh atau terbanting. Jika benar, maka ini benar-benar penculikan," jelas Raka. "Sudahlah, Kak aku mau tidur."

Aksara mengembuskan napasnya, dia lalu melirik ke arah Raka yang tengah memunggunginya. Ini salahnya karena mengungkit kejadian Rani. Siapa sangka jika saudaranya pun mengalami hal serupa. Namun bedanya, Aksara hanya kehilangan teman sekaligus orang yang menyimpan berkas tugas. Sementara Raka kehilangan sahabat terdekatnya. Maka dia pun mengembuskan napasnya lagi.

"Raka apa menurutmu ini ada hubungannya dengan Sukma Aditya?" tanya Aksara.

"Kak Aksa, Sukma Aditya hanya permainan. Kayaknya Kakak ketularan Paman Surya," balas Raka pelan.

"Benar juga, kenapa aku malah seperti ayah yang menyangkutkan Sukma Aditya dengan kejadian aneh?" gumam Aksara.

Raka menoleh dan menimpali, "Makanya Kak Aksa juga jangan sembarang pinjemin HP ke anak cewek. Mereka sukanya cari informasi yang aneh-aneh."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro