Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Perintah Ayah

"Aksara," panggil seorang pria yang baru saja membersihkan makanan dengan sapu tangan.

"Ya, Ayah?" balas anak laki-laki di seberangnya

Aksara Dewangga Sanjaya, akrab dipanggil Aksara tengah menyibukkan diri dengan memotong bagian kue kesukaannya. Bika Ambon, kue khas Medan yang terkenal di persimpangan Jl. Ambon. Dibuat khusus oleh Bi Laksmi, asisten rumah tangga di rumah ini.

"Bagaimana nilai-nilai kamu di sekolah?"

Aksara melahap sesuap potongan terakhir kue. Sekaligus menghindari pertanyaan dari pria di hadapannya untuk beberapa saat. Sampai dia selesai menelan makanan, barulah dia berani bicara, "Ayah tidak perlu khawatir. Semua dalam kendaliku."

"Bagus, itu memang yang diharapkan dari keluarga Sanjaya. Kamu tidak bermain Sukma Aditya, kan?" tanya pria itu lagi.

Aksara dibuat bungkam. Tangannya bergerak merapikan bekas makanannya. Di bawah sana kakinya bergerak maju lalu mundur, menendang angin. Jujur dia agak gusar. Padahal ini bukan pertama kalinya dia ditanya tentang Sukma Aditya. Mungkin dalam seminggu, ada tujuh pertanyaan serupa. Sebanyak itulah ayahnya bertanya tentang Sukma Aditya.

Hal yang membuatnya gusar tidak lain adalah kejadian aneh di sekolahnya. Dia tahu jika ayahnya akan menyangkut permainan Sukma Aditya dalam insiden itu. Cukup membuatnya menelan ludah. Masih syukur jika Surya Sanjaya—ayahnya tidak mengetahui masalah itu. Aksara tidak ingin dihukum atas kesalahan yang bahkan tidak dia lakukan. Dikurung dan disuruh belajar secara daring, bukannya tidak bisa, tetapi sekolah adalah satu-satunya tempat di mana dia bebas.

"Ayah periksa saja ponselku, biar lebih yakin. Lagi pula tiap ponsel yang Ayah beri padaku selalu terhubung otomatis dengan ponsel Ayah. Seharusnya Ayah tidak menanyakan hal itu terus," balas Aksara diikuti embusan napas pelannya.

Pria itu menatapnya tajam. "Bagus, sudah selayaknya kamu tahu sejauh mana batasan yang kamu punya."

"Tentu." Aksara lalu menunduk. "Ayah selalu tidak mengizinkan aku untuk tidak memainkan permainan itu."

"Ayah harus pergi ke kantor sekarang." Aksara mengangguk. Paham betul sikap ayahnya yang tegas dan logis. Satu yang dia pahami, ayahnya tidak pernah suka jika membahas Sukma Aditya lebih lanjut.

Kepergian ayahnya menyambut suara ponsel. Refleks dia merogoh benda kotak multifungsi dari saku celananya. Terdapat notifikasi yang dibuat pada kalender, pengingat untuk dia mengembalikan motor saudaranya.

Dia bukannya lupa, tetapi ayahnya meminta dia pulang saat waktu makan malam. Jurusan Seni mendapatkan tugas fotografi, kelompoknya sepakat mengambil tema sosial. Terpaksa pinjam motor saudaranya, karena ayah Aksara tidak pernah mengizinkan mengendarai motor hingga lulus dari SMK Bayanaka.

<Raka>

Motornya kembalikan besok pagi aja.

<Aksara>

Aku mau nginep. Rumah sepi, sekalian ketemu Paman Dirga.

<Raka>

Udah izin sama Paman Surya?

<Aksara>

Enggak perlu khawatir. Ayah pasti tahu aku ke tempat kamu.

<Raka>

Oke. Aku siapkan kamar dulu ya, tahu sendiri seberapa pecahnya kapal di dalam sini.

<Aksara>

See you later.

Aksara tersenyum simpul, tidak mempermasalahkan kamar saudaranya yang berantakan. Sudah biasa untuk anak laki-laki pada umumnya. Namun, Raka mungkin segan karena di rumahnya selalu bersih, beda sekali dengan tempat saudaranya tinggal. Padahal rumah saudarnya lebih hidup ketimbang di rumah besar keluarga Sanjaya.

Dia lalu pergi ke kamar mengambil tas selempang. Berpamitan dengan Bi Laksmi sekaligus meminta kunci motor yang sempat Aksara titipkan.

Rumah Raka tidak terlalu jauh dari rumahnya. Jika dipikir-pikir, Raka bisa menaiki satu kali angkatan umum, tetapi saudaranya pasti malas bertemu dengan ayahnya. Surya Sanjaya, pewaris perusahaan dan pemegang saham tertinggi.

Aksara menggeleng, dia lupa jika saat ini dirinya menaiki motor. Masih bagus jika dia tidak berada di jalan raya yang ramai. Kecelakaan motor bisa saja terjadi. Seperti di hadapannya, lampu merah menyala terang. Jika menerobos, sudah dipastikan akan terjadi kecelakaan.

Sesampainya di rumah yang cukup minimalis, dia segera memarkirkan motor. Sebelum beranjak, dia melepaskan helm yang setia melindunginya sejak awal hingga akhir. Setelahnya dia lalu berjalan ke pintu. Awalnya dia mau mengetuk, tetapi suara gaduh dari dalam sana membuatnya harus mengurungkan niat. Tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mungkin seharusnya Aksara membuka saja pintu. Takut-takut ada maling yang masuk ke dalam rumah pamannya.

Namun, lagi-lagi dia mengurungkan niat. Kali ini karena pintunya terbuka. Aksara melihat seorang pria beberapa tahun lebih muda ketimbang ayahnya dan seorang anak laki-laki tengah bertatapan. Sepertinya mereka juga baru saja berdebat. "Tuh kan, Yah. Aku bilang juga apa, yang parkir itu Aksa. Bukan tukang ojek."

"Kamu kan sering banget dikasih apa gitu lewat tukan ojek. Makanya ayah kira kiriman dari penggemar kamu lagi," balas pria dewasa tersebut yang masih mendebatkan hal ini.

"Sudah aku bilang, jangan acuh, Yah. Mereka penggemar enggak waras. Aku juga gak tahu mereka dapet alamat dari mana. Lagian, aku tuh gak pernah buka QnA waktu bikin video gameplay di Youtube," kilah saudaranya.

Aksara baru ingat jika saudaranya yang satu ini merupakan youtuber gaming termasuk top player di permainan Sukma Aditya. Tidak ada larangan untuk bermain, tidak seperti ayahnya yang selalu menekan belajar dan les. Padahal itu belum tentu dia butuhkan. Namun, karena menyandang nama Sanjaya, dia terpaksa melakukan semua itu. Beginilah keadaannya jika dia hanyalah anak tunggal.

"Aksara." Lamumannya buyar ketika pria yang merupakan ayah dari saudaranya itu memanggil. Pertanda percakapan mereka berdua sudah berakhir atau memang terpaksa diakhiri. "Kenapa baru sampai? Ada begal? Perampok? Kecelakaan?"

Memikirkan kemungkinan yang Paman Dirga—ayahnya Raka, membuat dia langsung merinding. Semua itu sangat mengerikan. Padahal dia terlambat karena memang terlalu santai mengendarai motor. Tidak ada alasan khusus. Namun dia tetap tersenyum menanggapi.

"Paman ... Paman, tenanglah! Aku tidak apa-apa. Tadi aku terlalu santai menggunakan motor," jelas Aksara.

"Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa. Paman khawatir, kita mana tahu ada Wewe Gombel tertarik buat culik orang ganteng kayak kamu, Aksa," jelas Paman Dirga yang masih saja mempercayai takhayul seperti itu.

Melihat bagaimana Paman Dirga sangat mengkhawatirkan dirinya justru membuatnya iri. Hal itu mewakili sisi ayah yang tidak pernah dia dapatkan selama delapan belas tahun hidup. Jika terlambat, ayahnya akan langsung marah. Lebih parah menghukumnya di dalam kamar gelap. Terakhir dia melakukan itu pun waktu SD. Sekarang dia berusaha untuk tidak telat dalam urusan apa pun.

Perlakuan Paman Dirga membuat dia merasa seperti anak-anak pada umumnya. Diperhatikan dan diberi kasih sayang. Aksara tahu, cara orang tua mendidik itu berbeda-beda. Namun kalau boleh jujur, dia sangat iri dengan saudaranya. Keluarga ini hangat. Padahal mereka sama-sama keluarga Sanjaya.

"Nah, Aksara kan udah dateng. Ayah udah janji mau masak makan kesukaannya, kan?" celetuk saudaranya.

Aksara menimbali, "Ini aku atau kamu yang ingin, Raka?"

"Dua-duanya! Hahaha!"

Aksara geleng-geleng. Saudaranya yang satu itu memang sudah dianggap seperti adik dan sahabatnya. Terlalu berjasa, menurut Aksara. Mereka yang lebih memahami dan mengajarkan arti keluarga sesungguhnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro