24. Misi Penyelamatan
Seminggu semenjak itu, Raka dan Andhira lebih sering berlatih. Sementara Aksara hanya sesekali datang berlatih ketika misi berlangsung pada jam istirahat. Ada satu hal yang mereka sadari, hampir semua murid laki-laki di sekolahnya mengikuti program tersebut. Walau begitu mereka hanya bisa melihat nama pengguna dari mereka saja.
"Menurut Kak Raka dan Kak Aksara, kenapa itu bisa terjadi?" tanya Andhira ketika mereka bertiga tengah berkumpul untuk membahas kelanjutan misi di Ramayana's Series Sukma Aditya.
"Aku tidak tahu, walau itu sebenarnya bagus karena tidak ada yang menyadari jika itu adalah aku. Bisa gawat jika sampai ayah mengetahui aku bermain Sukma Aditya dari orang lain," ujar Aksara seraya dia melihat pada Raka dan Andhira bergantian.
Raka tengah mengambil kue yang tersedia di meja ruang keluarga. Sambil tangannya fokus menulis jawaban dari pekerjaan rumah. Dia sendiri tidak bisa menanggalkan kewajibannya sebagai pelajar meski keinginannya sangat kuat untuk menyelamatkan Romi. Setelah selesai mengunyah dan menulis satu huruf, dia pun melirik pada sang gadis yang bertanya.
"Seingatku teman-teman yang masuk ke list pertemanan di permainan tetap akan melihat wajah temannya. Seperti kita. Makanya aku tahu beberapa pemain di kelas ikut serta dalam Ramayana's Series ini," jelas Raka sambil mengetuk dagunya seraya mengingat kejadian yang dialaminya.
"Artinya hanya teman saja ya. Menarik, lalu di antara mereka apakah atma yang digunakan sama seperti kita?" Aksara penasaran, dia tidak mengerti kenapa mereka bertiga memiliki atma burung—dan Andhira memiliki satu atma tambahan yaitu Jatayu. Jadi dia penasaran bagaimana dengan teman yang lainnya.
"Berbeda-beda. Hanya saja kemungkinan tetap ada yang sama. Bagaimana pun pemain Sukma Aditya bukanlah pemain lokal, tetapi nasional. Namun, rata-rata mereka menggunakan atma orang seperti yang dimiliki Andhira," jelas Raka.
Andhira mengangguk paham. "Ketika menjalankan misi di rumah pun, aku melihat beberapa orang memakai atma raksasa dan monster. Sepertinya memang bervariasi."
Raka kembali fokus dengan buku dengan beberapa soal matematika lainnya. Dia tidak bisa memainkan ponsel sebelum tugasnya beres. Sebenarnya ini mudah, tetapi dia pun masih harus berbincang-bincang dengan keduanya. Kumpul lengkap seperti ini sangat jarang dilakukan dan sampai saat ini, mereka belum memiliki kemajuan yang cukup untuk mengungkap hadiah atau malah sosok Sinta yang dicari-cari oleh Andhira.
Mereka masih terus membicarakan Sukma Aditya sampai suara mobil terdengar di depan. Tentu saja Raka tahu siapa. Terutama Aksara. Mereka langsung bungkam begitu saja. Bahkan dalam diamnya, Andhira tahu jika laki-laki yang paling tua di sini sangat cemas. Dia cukup penasaran dengan keduanya, tetapi tidak berani bertanya apa yang terjadi.
"Paman Surya menjemput Kak Aksa?" tanya Raka spontan. Dia tahu itu bukan ayahnya, karena sejak dia pulang ayahnya sudah memberikan pesan tempel tentang pekerjaannya yang akan sampai larut malam.
Aksara menggeleng. "Tidak. Seharusnya ayah pergi ke luar kota. Namun, ini sudah pasti ayah yang datang. Aku kenal betul suara mobil dan Paman juga jarang kedatangan tamu. Ah, kita tidak punya waktu membahas ini, Raka."
"Kakak benar." Andhira cukup bingung karena kedua laki-laki itu lalu melihat ke arahnya dengan tatapan tajam. Lalu Raka melanjutkan ucapannya, "Andhira pergilah ke kamarmu dan kunci rapat-rapat. Kalau bisa lampunya juga matikan. Bisa bahaya kalau Paman Surya tahu tentangmu."
"Eh memangnya kenapa?" ucap Andhira seraya dia memiringkan kepalanya, meminta jawaban dari itu.
"Ayahku ... dia bukannya tidak suka orang asing, tetapi akan sulit menjawab pertanyaannya. Terutama Paman Dirga juga tidak bisa melindungimu kalau paman ada di ruang kerjanya,?" jelas Aksara setelah dia menelan ludahnya. Andhira mengangguk. Tidak mau bertanya lebih lagi. Segeralah dia berdiri.
Namun, suara lain mencegahnya untuk melangkah. "Aksara kamu belum pulang? Ini sudah mencapai batas mainmu dan kamu harus belajar."
Aksara menutup matanya. Belum terlambat. Mungkin ayahnya masih ada di pintu utama dan akan ke sini. Jadi dia memberi aba-aba pada saudaranya. Raka yang mengerti pun segera menarik tangan Andhira agar bersembunyi di balik sofa yang menghadap ke pintu. Sehingga Paman Surya yang akan masuk pun tidak akan melihat keberadaannya.
Setelah memastikan Andhira tidak akan muncul, Raka buru-buru berdiri. Bertepatan dengan kehadiran Paman Surya. Orang yang paling mengerikan untuk dirinya temui. Oh ayolah jika bukan karena Andhira, saat ini dia memilih untuk mendobrak masuk ke ruang kerja ayahnya. Mengatakan Paman Surya ada di sana dan semuanya akan berakhir.
"Ayah, kenapa di sini? Bukannya ayah harus ke luar kota?" ujar Aksara yang tidak mau kalah, meski begitu dia tetap merendahkan suaranya. Tidak mau melihat kemurkaan ayahnya.
"Tidak jadi. Ayah mendengar kalau kamu belakangan ini sering telat pulang sekolah dan juga saat bermain. Kita sudah menyepakati ini sejak awal. Lalu kenapa kamu membuat semuanya berantakan Aksara?"
Raka tidak ingin terlibat. Namun kali ini saudaranya tidak membalas. Bisa-bisa Aksara tidak akan diizinkan untuk bermain lagi. Dia tidak mau itu sampai terjadi. Jadi dia pun segera menghampiri saudaranya. Lalu matanya bertemu dengan tatapan tajam Paman Surya. Bulu kuduknya sudah naik, rasanya seperti dia akan dihantui selama sebulan penuh hanya karena tatapan itu.
Ruangan keluarga yang biasanya hangat kini terasa sangat mencekam. Aura Paman Surya terlalu mengintimidasi. Dia juga tidak punya hak untuk bicara, tetapi dia tidak bisa membiarkan kakaknya dalam masalah lebih lanjut lagi. Mereka masih memiliki banyak misi untuk memecahkan Sukma Aditya. Mereka tidak boleh berhenti sampai di sini.
"Paman Surya, Kak Aksara selalu bermai ke sini dan dia membantuku belajar. Aku cukup terbantu karena ada beberapa pelajaran yang tidak aku pahami. Paman sendiri bilang kalau aku memiliki masalah dengan pelajaran, aku bisa minta bantuan pada Kak Aksara," ucap Raka pelan sangat pelan. Dia takut jika alasan itu tidak akan diterima.
"Begitukah?" Paman Surya mengucapkannya dengan nada yang sangat tidak percaya. "Paman tahu kamu pun cerdas. Nilai akademikmu tidak pernah di bawah KKM SMK Bayanaka. Justru Paman mendapatkan laporan, kamu dan ayahmu menyimpan seorang anak tidak dikenal di rumah ini."
"Itu ...." Raka kehilangan kata-kata. Dia dan Aksara saling bertatapan.
"Apakah kamu terlalu lama di sini karena harus mengajar anak perempuan itu? Ataukah kamu senang bermain dengannya?"
Aksara tidak bisa menjawab sama sekali. Dia tidak tahu harus mengucapkan apa pada ayahnya. Menunggu keajaiban pun tidak mungkin. Sementara dia tidak berani memberontak. Dia terlalu takut dengan otoriter yang dimiliki oleh ayahnya.
"Pelajaran pertama Keluarga Sanjaya adalah sopan santun. Namun, aku sama sekali tidak melihat Kakak mengucapkan salam dan menungguku membuka pintu. Apakah pelajaran ini sudah dihilangkan dari akal sehatmu, Kak Surya?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro