12. Update Sukma Aditya
- - - - - - - - - - - - - - -
[ Sukma Aditya Update! ]
Version 4.4.1
- - - - - - - - - - - - -
• Penambahan karakter game
• Penambahan map dan arena baru
• Media komunikasi dengan pengguna lain
• Kotak paradoks. (Muncul sewaktu-waktu dalam satu Minggu)
• Ramayana Series Officially updated!
- - - - - - - - - - - - - -
Sudah sejak lima menit lalu Raka memandangi ponselnya. Dia baru saja selesai memperbarui aplikasi permainan yang sebelumnya memang ada. Namun, kali ini ucapan Aksara sudah mempengaruhi pikirannya. Dia tidak tahu apakah ucapan sang kakak memang benar-benar ada dan akan terjadi. Atau malah hanya bentuk kecemasan saja. Karena jujur, terlalu sulit menyangkutpautkan mereka yang mendapatkan kecelakaan adalah korban dari Sukma Aditya.
Ini hanya permainan dalam jaringan, seharusnya tidak berbahaya. Bahkan tidak mungkin membuat seseorang menghilang dengan sangat cepat. Romi menghilang secara misterius. Tidak ada tanda-tanda orang menculik dan sebagainya. Ini memang aneh. Dia juga tidak paham. Raka pun mengembuskan napas. Semakin dipikir, semakin membingungkan saja.
"Raka, kamu belum sarapan," ucap seorang pria dewasa yang lalu duduk di sampingnya. Tidak lupa Raka pun disuguhi sebuah piring dengan nasi goreng di atasnya.
"Terima kasih, Ayah. Ngomong-ngomong apa gadis itu enggak apa? Dan kita juga enggak bakal kena masalah karena menolongnya kan?" tanya Raka cukup bingung. Dia bukan perhitungan, tetapi dia cukup takut kalau gadis itu bukanlah orang yang baik-baik.
Ayahnya hanya tersenyum, lalu mengacak rambutnya. "Membantu orang itu termasuk dalam nilai-nilai yang harus diterapkan dalam ideologi negara kita, Pancasila. Dan kita cukup mampu untuk mengobatinya."
"Ayah benar-benar warga negara yang mengamalkan Pancasila. Ah, aku jadi malu, kadang aku lupa perbedaan sila kedua, sila ketiga dan sila kelima apa," timpal Raka yang lalu fokus melahap nasi gorengnya.
"Kamu ini, harusnya lebih paham. Sejak SD kamu diajarkan Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan. Selalu diulang-ulang," jawab sang ayah. Raka hanya sibuk mengunyah. Tidak menjawab karena ucapan orang dewasa di sampingnya memang benar adanya. Dia masih melupakan beberapa perbedaan tentang Pancasila. Namun, dalam ulangan nilainya tidak akan hancur karena itu.
Setelah beberapa saat, Ayahnya—Dirga— mulai melirik ke segala arah. Seolah sedang mencari sesuatu. Sejujurnya Raka tahu betul apa yang kurang di tempat ini. Namun, dia tidak suka jika harus mengingat kembali apa yang mereka perdebatkan. Belum lagi ini menyangkut permainan favoritnya. Sukma Aditya.
"Ayah, aku ingin tanya ayah sekali lagi. Apa ayah enggak masalah kalau aku memainkan Sukma Aditya?" tanya Raka kembali kepada Ayah Dirga.
Ayah Dirga cenderung sering tersenyum dan akan menjadi serius jika mereka sama-sama membahas tugas dan pekerjaan. Ayahnya memang fleksibel dan hebat dalam membuat keputusan. Selain itu, ayahnya bukanlah otoriter seperti Paman Surya. Bagaimana pamannya mengajar dan membesarkan Aksara seperti sekarang. Itu pun akan terjadi jika seandainya ayahnya masih tetap berada di bawah kungkungan keluarga Sanjaya.
Dirga melihat anaknya dengan begitu tulus. Seolah-olah tahu apa yang menjadi kecemasan anaknya itu. "Apa yang bisa diakibatkan dari permainan Raka? Ayah tidak harus cemas karena kamu sudah dewasa dan seharusnya sudah mampu untuk memutuskan mana yang benar dan salah."
"Ayah, apa Ayah enggak pernah khawatir kayak Paman Surya?"
Dirga mengembuskan napas. "Ayah hanya khawatir kamu lupa makan dan minum kalau udah main game terus-menerus. Ya sudah, sepertinya Dokter Clarissa sudah selesai mengobati. Kamu makanlah dulu, biar ayah yang pergi."
Bersamaan dengan itu, Aksara baru saja masuk ke dalam rumah. Raka yang melihat merasa heran. Ini terbilang sangat cepat. Apa jangan-jangan ada yang kelupaan? Ah entahlah. Raka lebih fokus untuk makan saja ketimbang dia memikirkan kenapa Aksara pulang lebih awal.
Aksara bingung. Sangat bimbang. Dia tidak mau membahas soal kasus kehilangan lagi. Aksara tahu betul Raka terpukul soal Sukma Aditya dan juga sahabatnya yang hilang secara mendadak. Namun, dia tidak bisa mengabaikan permasalahan yang diketahuinya saat lari pagi. Dia cemas. Dia takut.
Apa tidak masalah bagi Aksara mengadu pada Paman Dirga? Ini tidak baik. Dia sudah dewasa, tidak boleh seperti ini.
"Kak Aksa pucat sekali. Kakak lari 1000 meter atau jogging sih?" ucap Raka yang lalu mengunyah hingga habis makanannya. Sementara yang ditanya melangkah langsung ke dapur, mengambil segelas air lalu kembali lagi dengan gelas yang kosong.
Raka bisa meyakini jika saudaranya sangat kelelahan. Ada rasa penasaran, tetapi dia lebih penasaran dengan pemainan Sukma Aditya. Dia belum mengisi presensi pada hari ini, belum juga mengambil hadiah dari maintenance yang dilakukan oleh Sukma Aditya. Untuk hari ini, dia ingin menenangkan diri dulu. Terutama dari ucapan Aksara. Walaupun ayahnya tidak mempermasalahkannya.
"Ka, Paman Dirga di mana?" tanya Aksara.
Raka yang sibuk mengunyah makanan pun menoleh, lalu menelan habis yang ada di mulutnya. "Tadi ayah bilang mau menemui Dokter Clarissa. Sepertinya gadis itu sudah sadar," jelas Raka.
"Aku akan pergi menemui, Paman," ucap Aksara yang lalu menyimpan gelas dan pergi begitu saja. Tidak mau kalah, Raka pun buru-buru menghabiskan sarapannya. Sampai dia merasa cegukan. Raka ingin tahu apa yang akan saudaranya katakan.
Tidak. Ini bukan kekhawatiran. Meski Aksara mencoba menghentikan dirinya untuk bermain, ayahnya tidak akan begitu mendengar. Dia yakin dan percaya pada ayahnya. Hanya saja, melihat Aksara yang langsung bertanya posisi ayahnya, cukup mencurigakan. Entah membahas persoalan Paman Surya atau hal lain yang mengganggunya.
Aksara bukan tipe pengadu meski dia dididik dengan kemewahan. Penerus Sanjaya dituntut untuk dewasa. Raka yang kadang mendengar apa saja yang dilakukan Aksara waktu sekolah dasar, sudah merinding. Tidak hanya belajar dari rumah, Aksara juga dituntut menguasai beberapa bidang lain yang memungkinkannya untuk lompat kelas. Lalu Raka pun berhenti tepat di kamar tamu, di mana semua sudah berkumpul.
"Dirga, gadis ini aneh. Dia seperti manusia super, bahkan lukanya cepat sembuh. Walau begitu, bekas memar dan lainnya belum menghilang," jelas Dokter Clarissa. Wanita itu lalu merogoh sesuatu dari saku jas dokternya, "aku menemukan kalung ini di kepalan tangannya. Kamu bisa menyimpannya lebih dulu."
"Clar, apa kamu yakin ini berasal darinya?" tanya Dirga memastikan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro