11. Kejanggalan (3)
Raka tertawa mendengar apa yang saudaranya katakan. Lagi-lagi Aksara pandai melucu. Mungkin dia terpengaruh oleh Paman Surya, pemimpin perusahaan Sanjaya. Kejadian kemarin memang cukup membuat dirinya syok. Sampai sekarang kabar tentang kehilangan Romi belum bertanda-tanda baik. Tidak seperti Aksara yang teman sekelasnya baik-baik saja. Mungkin koma tidak dapat dikatakan baik, tetapi itu sudah lebih dari cukup ketimbang menghilang tanpa kabar.
"Sekarang alasannya apalagi, Kak? Paman Surya enggak pernah menjelaskannya apa pun, tetapi melarang kakak untuk ikut bermain," ucap Raka.
Aksara mengembuskan napas. Dia lalu memberikan ponselnya pada saudaranya. "Aku melihat artikel tentang Sukma Aditya. Banyak kejanggalan dalam permainan itu. Semkain hari semakin banyak orang yang menghilang, hampir rata-rata adalah pemain tingkat tinggi."
"Kak Aksa, itu hanya oknum yang enggak suka dengan Sukma Aditya. Wajar jika ada berita enggak normal kayak gitu. Kita memainkan permainan ini sejak masih menjadi beta-tester, kenapa sekarang malah Kakak yang meragukan pada permainan ini?" ucap Raka agak kesal padanya.
Intuisi Aksara tidak berubah. Bahkan lebih buruk. Saat-saat seperti ini bukanlah saat yang cocok untuknya mengawasi dan menjaga satu-satunya saudara yang dia miliki. Ini bukan misi biasa. Bahkan ada kemungkinan jika orang-orang memang menghilang karena Sukma Aditya. Dia tahu, tidak ada yang bisa mengungkapkan kebenarannya.
"Kamu tahu, aku rasa ucapan ayahku memang harus kita perhatikan. Aku memang sulit untuk menghentikanmu. Namun, Raka ... aku ingin kamu berhati-hati. Bagaimana gadis itu datang agak aneh, aku yakin kamu pun mengetahuinya dengan pasti," jelas Aksara dengan kedua bola mata cokelatnya yang menatap penuh pada lawan bicaranya.
Raka mendengus. Dia paling tidak suka dipaksa. Aksara tahu betul dengan itu, "Aku mendengarkan dengan baik. Ngomong-ngomong ... aku hanya memikirkan, tetapi apakah Kak Aksara juga akan berhenti memainkan Sukma Aditya?"
Sejujurnya Aksara sama sekali tidak tahu. Saat ini prioritaskan saudaranya, Raka. Dia bermain semata-mata untuk mengawasi dan bisa memahami jalan pikiran saudaranya. Namun, jika seperti ini, bagaimana dia bisa menjelaskan? Dia tidak ingin membuat Raka terlalu mencintai permainan. Tidak mengorbankan waktu penuhnya hanya demi permainan.
Aksara mungkin tidak akan memainkan Sukma Aditya. Dia tahu apa yang diucapkannya hari ini pasti sangatlah membuat hubungannya dan saudaranya akan rusak. Namun, meski dia memiliki kesempatan untuk kembali, dia tetap akan mengucapkan yang sama. Dia tidak mau saudaranya dalam bahaya. Cukup. Sudah cukup dengan apa yang dia lihat ketika teman sekelompoknya jatuh dan kini koma. Sudah cukup, cukup dengan sahabat Raka yang menghilang tanpa kabar. Dia tidak mau saudaranya menjadi bagian dari kejanggalan ini.
Fakta yang dia ketahui hanyalah, kedua orang yang bermasalah di sekolahnya pun sama-sama pemain Sukma Aditya. Aksara tahu temannya sembunyi-sembunyi saat memainkannya. Dia seorang perempuan dan begitu takut untuk dicemoohkan oleh perempuan di kelasnya. Tentu, jurusannya didominasi perempuan yang mencintai seni, gaya dan mode. Tidak dengan permainan. Bahkan sejujurnya pemain Sukma Aditya pun bisa dihisap jari. Terlalu sedikit.
"Aku akan memikirkannya lagi, Raka. Untuk sementara waktu, tetaplah kamu mainkan ponselku. Jika kamu mau, aku tidak memaksa," jelas Aksara dengan mencoba untuk tidak membuat laki-laki itu kecewa dengan keputusannya.
"Tidak masalah, aku akan memainkannya. Terutama ketika aku sudah melewati limit, siapa tahu pembaharuan lainnya akan dibatasi seberapa banyak pengguna harus menyelesaikan soal dan lalu diblokir. Enggak. Aku enggak mau itu kejadian," balas Raka dengan ekspresinya yang tegang seolah kehilangan akun sama saja seperti kehilangan uang 100 rb dalam dompet.
"Ya, aku mengerti betul. Kamu udah kayak petani yang membesarkan malika. Jika Sukma Aditya harus membuat iklan seperti merek kecap terkenal di Indonesia, akan aku pastikan kamu yang menjadi artis utamanya. Sudah terlalu menjiwai," ucap Aksara. Sesekali dia mendengus, menahan tawanya.
Sementara Raka, Aksara yakin laki-laki itu pun sama terhiburnya. Ah, tapi ini masih terlalu canggung. Dan dia butuh waktu untuk berpikir. Apakah seharusnya dia mencari udara segar terlebih dahulu? Ya. Itu pilihan tepat. Aksara pun segera berdiri. Tidak lupa manyimpan ponsel miliknya sendiri ke dalam saku celana.
"Raka, aku akan pergi lari pagi. Kamu jadi ikut? Atau mau menunggu kabar gadis yang kamu selamatkan?" tanya Aksara.
"Aku ingin kencan dengan kasur, guling dan bantal, Kak. Rasa ngantuknya balik lagi dan minta aku untuk segera meladeni," jelas Raka seraya pura-pura menguap dan mengambil satu bantal di sofa. Tidak lupa laki-laki itu pun mendekap bantalnya dengan erat.
"Oh, ya ampun. Enggak ada tugas kamu malah enak-enak tidur. Ada tugas, bisa gak tidur. Ya, nasib kita yang sekolah di SMK Teknik begini. Ya udah, sana tidur. Aku lari pagi dulu. Kabari aku kalau gadis itu sudah sadar, Ka."
"Oke siap, Bos."
Aksara pun segera ke teras, memasang kembali sepatunya. Dia lalu mulai melangkahkan kaki dengan cepat. Pikirannya masih bercabang. Terlalu banyak kejanggalan membuat otaknya turut sakit. Dia ingin menghentikan ini semua. Namun, bagaimana caranya dia bisa melakukan itu? Perlahan, dia pun mengembuskan napas dan melihat ke langit-langit.
Ruang musik saat itu terlihat sangat sepi. Tidak ada seorang pun yang ada di sana. Namun, dia masih ingat bagaimana proyektor tengah menyala. Padahal seharusnya tidak ada. Bahkan jika pun iseng, orang itu haruslah membawa kursi dan meraih tombol on di atas. Jika tidak, maka orang itu perlu memiiki remote atau ponsel yang memadai. Ini terlalu mencurigakan.
Sampai Aksara pun melihat seorang gadis tumbang, tidak sadarkan diri. Kepalanya sakit. Sejujurnya dia tidak pernah ingin mengetahui apa yang akan terjadi. Tidak. Bahkan harapannya sangat besar agar dia tidak mencurigai Sukma Aditya. Ayahnya juga tidak akan senekat itu jika untuk membuat dirinya tidak mendekati Sukma Aditya.
"Aku dengar Fahmi belum pulang ke rumahnya sejak kemarin, apa itu benar? Padahal dia harusnya ikut turnamen Sukma Aditya minggu depan. Dia kan mau naik pangkat secara instan," ucap seseorang yang tengah berada di dekat Aksara. Seorang gadis dan anak laki-laki mereka sibuk dengan memakan roti. Melihat dari pakaian yang mereka kenakan, sepertinya keduanya pun sedang lari pagi.
Dengan beralibi untuk menghilangkan lelah, Raka pun segera mendudukan dirinya di dekat mereka. Lalu dia fokus menutup matanya. Sampai suara anak gadis pun keluar. "Terakhir kali, dia sedang bermain Sukma Aditya denganku. Aku tidak tahu kenapa dia offline tiba-tiba. Lalu, sampai sekarang dia tidak pernah ada kabar lagi."
Aksara terhenyak. Lagi. Sukma Aditya disebutkan. Apakah benar permainan ini baik-baik saja untuk dimainkan? Suara notifikasi pada ponselnya pun terdengar. Entah kenapa dia lebih ingin segera kembali ketimbang membuka ponsel lebih dulu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro