Page 7: Unknown
BAB 7 – Unknown
Sedari pagi, Akari telah menginjakkan kaki di kelas 3-A. Namun, ia tak menemukan tanda-tanda kehadiran dari seorang gadis bernama Nishiyama Ichigo. Tak mengherankan jika ia tak masuk kelas, namun hal itu cukup menyebalkan ketika ia mempunyai urusan dengannya. Kekesalan itu tertunda saat Iori berada di depan pintu kelasnya setelah bel pulang berbunyi. Pemuda pirang itu muncul bersama dengan senyuman ramahnya yang khas. Ia melirik sekilas, berniat untuk melambaikan tangan memanggil Akari, namun segera diurungkan kala mendapati sosok yang dicarinya tersebut telah berdiri di hadapannya.
"Kujou-senpai, apa ia datang hari ini?" tanya Iori. Iris hijau itu memperhatikan ekspresi datar Akari yang mulai berganti kesal. Gadis itu mendengkus kasar seraya melangkah di koridor, membuang wajah. Tingkah senpai-nya tersebut sudah bisa menjadi kesimpulan yang pasti untuk dirinya. Ia pun tertawa kaku lalu berujar, "Haha, rupanya tidak, ya. Baiklah, apa mau pergi saja menjenguknya langsung? Sejauh ini, sepertinya tak masalah jika kita bertanya pada Senpai. Semoga tidak ada lagi korban yang berjatuhan."
"Ke rumah sakit tempat ia dirawat, huh?"
Akari bergumam sembari melangkah keluar dari kawasan sekolah bersama Iori dan menaiki bus yang telah berada di halte dekat sekolah mereka. Saat mengambil tempat, di dadanya terasa seperti ada yang tengah mengikat, membuat ia sesak napas. Walaupun begitu, napasnya masih berembus secara teratur, mungkin saja ilusi yang ia ciptakan untuk diri sendiri. Iori menyadari ada perubahan pada senpai-nya tersebut, namun ia hanya memperhatikan dalam diam seraya menunjukkan lokasi tujuan melalui handphone yang ia pegang.
Pemuda berdarah setengah Eropa itu berucap, "Rumah sakit Yuria. Ini adalah tempat Nishiyama-senpai dirawat. Entah karena apa, perawatannya dipindahkan ke sana setelah menginjak SMA. Jika senpai ingin mendengar pendapatku, mungkin karena tempat itu letaknya cukup dekat dengan sekolah kita."
"Ah, rumah sakit itu—"
Suara milik Akari tercekat, ia berhenti melanjutkan perkataannya, lantas memejamkan mata sejenak. Beberapa menit kemudian, dahinya mengerut, seolah merasa kesal tiba-tiba. Ia memalingkan wajah dan membalikkan badan, membuat Iori hanya bisa memperhatikan seolah meminta penjelasan dari iris hijau tersebut. Kepalan tangan Akari terlihat sangat jelas, lalu ia memijat pelipis dan batang hidungnya.
Menyadari masih terus-terusan diperhatikan oleh Iori, Akari mendengkus kasar dan mengangkat suara seraya melirik pelan, "Bukan apa-apa. Aku hanya teringat kalau Taku sering check-up di sana. Kalau memungkinkan, aku tidak ingin bertemu dengannya dulu."
"Mah, aku tidak menyangka bahwa Ryoume-senpai mempunyai penyakit."
"Ya, lucu sekali 'kan? Si bodoh itu suka menyimpan segalanya sendirian hingga mengalami insomnia. Kalau parah, biasanya ia akan melakukan kontrol dengan Sensei di sana," tukas Akari, tak memberi belas kasihan pada sepupunya sendiri. Sudah menjadi kebiasaan dalam mengetahui beberapa jadwal dari Takuma, mengingat pemuda berambut hitam dengan belah tengah itu selalu suka memberitahunya, meskipun ia tak bertanya.
Iori mengangguk, pertanda mengerti. Ia memperbaiki duduknya yang terletak di samping sang gadis, menarik kurva bibirnya, membentuk lengkungan garis tipis nan misterius. Pemuda pirang tersebut berujar seraya menekan tombol pemberhentian saat halte tujuan telah dekat, "Mungkin Senpai harus segera berbaikan dengannya. Tidak baik, bukan, jika terus-terusan dalam keadaan seperti ini?"
"Aku ... tak tahu," gumam Akari. Iris hitam itu menatap ke arah sepatunya. Lantas, suara yang menandakan bahwa mereka tiba di halte dekat dengan rumah sakit Yuria, membuat kedua insan itu berjalan ke luar dari bus.
Memperhatikan langsung tingkah seniornya tersebut, Iori merasa bahwa Akari adalah sosok kikuk dalam berinteraksi yang bersembunyi di balik sikap acuh dan sarkasnya. Sesekali, ia tertawa dalam hati, suasana itu benar-benar mengingatkannya akan memori masa lalu. Iori menghela napas berat, menengadahkan kepalanya ketika telah sampai di lokasi rumah sakit. Ia berdiri di hadapan bangunan, melirik ke arah jendela kamar paling atas, tak lain adalah kamar Ichigo.
"Kamar nomor tujuh puluh empat adalah tempatnya. Meskipun begitu, susunan penamaan kamar ini cukup aneh ... hanya menggunakan nomor genap, 'kan, Senpai?"
"Kenapa kau bertanya padaku? Aku bukan direkturnya, tahu," balas Akari datar.
Balasan penuh sarkas tersebut memecah tawa Iori, tepat ketika iris hijaunya mendapati sosok gadis dengan helaian rambut biru tua panjang tengah bermain di taman. Iori menepuk pundak Akari, namun gadis berkacamata itu merasakan ada sesuatu yang aneh dengan adik kelasnya tersebut. Hanya saja, ia memilih untuk diam dan mengikuti alur. Tujuan Akari saat ini adalah mendapatkan petunjuk, untuk membuktikan apakah benar Ichigo lah pelakunya.
Meskipun mereka berdua berjalan dengan pelan, Ichigo menyadari kehadiran mereka. Gadis rupawan dan memiliki garis wajah lembut itu mengulas senyum penuh kebingungan, lalu melontarkan pertanyaan, "Ah, Kujou-chan dan Hanakawa-kun, kalau tidak salah? Apa kalian berdua sedang tersesat?"
"Konyol sekali, kalau kami tersesat, kami tidak akan berjalan padamu. Tentu saja, aku dan Kujou-senpai sedang ada urusan denganmu, Nishiyama-senpai."
Baru kali ini, Akari melihat Iori dalam keadaan tak tenang dan tergesa-gesa. Ia menatap lekat gadis berhelai rambut biru gelap yang memakai pakaian berwarna biru muda tersebut, pertanda bahwa ia adalah pasien. Akari mengeluarkan catatan kecil, lantas menepuk punggung Iori dengan pelan, menyadarkan pemuda itu untuk segera kembali pada ketentramannya.
Merasa malu, Iori menutup mulutnya, memijat pelipisnya, dan mengerjapkan mata seraya berbisik, "Maafkan aku, Senpai. Kuserahkan padamu interogasinya. Nampaknya, aku sedang dalam keadaan yang tidak jernih."
Akari mengangguk.
"Apa yang kau lakukan saat kejadian mengenai Kirihara-san pada hari rabu yang lalu? Seperti yang kau lihat, kami tengah menyelidiki kasus Kirihara-san agar tidak ada korban yang berjatuhan lagi."
Iris hitam itu melemparkan tatapan penuh serius, lekas saja dibalas oleh ekspresi kebingungan milik yang ditanyai. Ichigo bertanya balik, berandai-andai pada dirinya sendiri seraya bergumam, "Aku ...? Korban, lagi?"
Gadis itu memiringkan kepalanya, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. Lalu senyuman penuh kelembutan juga miris terulas di wajah rupawannya. Kemudian, gelengan pelan diberikan oleh Ichigo. Ia juga mengibas-ngibaskan tangannya dengan pelan lalu memberikan jawaban utuh melalui ujarannya, "Hari itu, aku memang hadir untuk beberapa jam awal. Hanya saja ... aku langsung pulang sebelum waktu istirahat dan kembali ke rumah sakit ini. Kalian bisa bertanya kepada perawat atau Sensei jika tidak percaya, fufu."
"Baik. Selanjutnya, bagaimana hubunganmu dengan Kirihara-san?"
"Eh, hubungan? Tentu saja, kami tidak dekat. Ah, yang menjadi benang merah di antara kami hanyalah berada di art club dan sekolah yang sama dari SD. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai kasus ini. Jadi, jika mencurigaiku, maka salah besar, khususnya Hanakawa-kun," jawabnya dengan santai. Ia memasang ekspresi yang berduka cita, namun Akari dapat merasakan perasaan tak tulus dari tatapan matanya yang sekilas terlihat lembut tersebut saat menyebut nama marga Iori.
Setelah mencatat jawaban tersebut, Akari menyimpulkan bahwa gadis itu tak memiliki hubungan dekat hingga dapat mencelekakan sang korban. Lagipula, dengan tubuh lemah seperti itu, apakah ia mampu mengerjakan semua pembunuhan berencana ini secara sendirian?
Meskipun begitu, ada satu yang masih menjadi teka-teki di benak gadis dengan helaian rambut hitam dan berkacamata itu. Akari pun membatin, 'Mengapa Iori sangat mencurigainya? Apakah mereka berdua ada kaitan di masa lalu?'
Tepat di saat ia memikirkan hal tersebut, ia melirik ke arah koridor luar rumah sakit. Lekas saja, iris hitam kelamnya bertubrukan dengan seorang pemuda yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Refleks, Akari memalingkan wajah, walaupun sosoknya telah ditangkap cepat oleh Takuma yang tengah berjalan menuju tempat ia dan Iori berdiri bersama Ichigo.
"Akari! Mengapa kau ada di sini?" panggil Takuma, nadanya cukup tinggi dan penuh akan penekanan, tapi tak dapat dikatakan membentak.
Raut wajah Akari mengeras, ia berniat untuk tak menjawab sama sekali pertanyaan dari sepupunya tersebut. Hanya saja, pemuda itu semakin mendesak sang gadis berkacamata. Bahkan, entah apa yang menyambar Takuma, yang sebelumnya tak pernah bersikap kasar kepada Akari malah mencengkram kuat lengannya.
"Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, huh?"
Kesal, Akari hendak melepaskan cengkraman tersebut. Namun Iori menghentikannya dengan penuh intimidasi, "Mah, Ryoume-senpai, aku tahu bahwa Kujou-senpai adalah keluargamu dan kau peduli padanya. Tapi, menyakiti seorang gadis itu bukan perbuatan yang baik dari seorang lelaki, lho."
"Kau dengar sendiri perkataannya, bukan, Taku? Sekarang, lepaskan atau kau tak akan segan kubanting. Lagipula, kita 'kan masih bertengkar," ketus Akari, membuang muka dengan dingin. Mendengar hal itu, Takuma tersentak, sadar lalu meninggalkan mereka. Sekilas, Akari menyadari kalau ekspresi Takuma terlihat lesu dan ada kantung hitam samar di bawah matanya. Sedangkan Iori sadar kalau iris Takuma menatap sinis padanya dan juga Ichigo.
Menyaksikan kejadian di hadapannya, Ichigo hanya bisa mengerjapkan mata. Sesuatu menarik terjadi, menghibur dirinya yang selalu berada penuh kebosanan di rumah sakit, tentu saja mana bisa ia lewatkan.
Helaan napas keluar dari mulut Akari, lantas ia membereskan kembali peralatannya. Akari membungkuk pelan, bangkit, lalu kembali mengangkat suara sembari menatap Ichigo, "Abaikan saja hal tadi dan terima kasih atas waktunya, Nishiyama-san. Kalau begitu, kami permisi. Oh, dan jaga kesehatanmu. Sampai ketemu di sekolah."
"Ah, Senpai. Tunggu, kita harus pulang bersama!"
"Terserah."
Kali ini, Akari lagi-lagi mendapatkan jalan buntu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro