Page 4: Another
Page 4 – Another
Setelah perdebatan kecilnya dengan Takuma kemarin, Akari mulai memutuskan untuk membatasi rasa penasarannya. Meskipun telah beredar kabar kalau pesan misterius seperti Eri banyak diterima oleh siswi dari Hanagaoka, sekolah menengah atas yang ia masuki saat ini, tapi ia tak ingin bertindak lebih jauh selain karena ia tidak mempunyai alasan yang cukup. Sore hari itu, tepat sebelum sang gadis dengan marga Kujou tersebut berniat untuk pulang, ia tiba-tiba saja disapa oleh teman sekelasnya. Seorang pemuda tinggi dan bertubuh atletis, memiliki helaian rambut berwarna cokelat tua serta plester di bagian hidung tan-nya.
Akari menengadah, menatap Katsuya yang tengah menampilkan cengiran terbaiknya. Iris cokelat kemerahan tersebut menatap penuh harap pada sang gadis, seolah sedang meminta sesuatu. Ia bahkan menghalangi jalan Akari untuk pulang. Sialnya, Akari tidak bisa meminta bantuan Takuma untuk menjemput ia dikarenakan sepupunya tersebut telah pulang ke rumah, mengatakan bahwa tengah ada urusan mendadak mengenai tugas sastra Jepangnya.
Belum sempat melangkah, Katsuya sudah menghadang Akari sekali lagi. Tatapannya berbinar, penuh harapan, namun juga terkesan serius dan mengganggu bagi Akari.
"Minggir, Nanase," titah Akari, melemparkan tatapan dingin juga kesal.
Katsuya menggeleng, keras kepala. Ia membalas, "Hum! Selama beberapa hari ini, aku terus-terusan memperhatikan kau, Kujou—" Kalimat milik Katsuya terpotong oleh selaan Akari yang memberikan tatapan jijik padanya. Mereka berdua tidak cukup akrab untuk dikatakan teman dekat. Tapi, kalau Akari harus jujur, sosok di hadapannya ini adalah sosok satu-satunya yang mendapatkan nominasi 'teman kelas' karena tak bosan-bosannya mengajak ia mengobrol, terutama saat Takuma tak menampakkan diri. Ditambah, tempat duduk mereka bersampingan.
"Kenapa tiba-tiba bertingkah aneh seperti itu, Nanase?"
"Karena aku juga ingin mengungkap siapa pelaku sebenarnya, Kujou! Hum, kau tahu, 'kan, mengenai kabar yang beredar luas tadi siang?" tanya Katsuya dengan ekspresi sedih, seolah-olah ia adalah anak anjing yang baru saja ditelantarkan oleh pemiliknya. Ia kembali membuka mulut, "sahabatku ... menerima salah satu pesan itu, hum."
Seharusnya, Akari tidak lemah akan bujukan Katsuya. Namun, karena tak tega akan pemuda yang biasanya selalu bertingkah airhead itu menampakkan wajah hampir menangis. Pada akhirnya, helaan napas ke luar dari mulut Akari. Lekas saja ia menunjuk kursi kosong yang berada di barisan paling depan. Menyadari kode tersebut, Katsuya menatapnya dengan penuh kilauan lalu mengambil tempat dan duduk dengan patuh.
Akari ikut duduk di samping kanan kursi Katsuya, kemudian meletakkan tas sekolahnya yang bewarna biru gelap di atas meja. Ia memperbaiki posisi kacamatanya dan bertanya, "Hah ... jadi?"
"Jadi apanya, hum?"
Katsuya bertanya balik, kebingungan. Dahi Akari berkedut kesal, nampaknya ia harus memperjelas apa yang ingin ia tanyakan agar pemuda itu dapat mengerti. Namun, belum sempat ia memberikan pertanyaan lagi, suara tawa ke luar dari mulut Katsuya. Membuat Akari mengerti kalau sosok di hadapannya ini tengah menjahilinya, mencoba untuk mencairkan suasana yang cukup kaku.
"Kau memintaku untuk memperjelas bagaimana bisa Hinami mendapatkan pesan tersebut dan apa isinya, bukan, hum? Aku tidak tahu kenapa sahabatku itu menerima e-mail aneh yang kurang lebih berisi, 'jangan menengok ke masa lalu atau kau akan menyesal'. Pokoknya, selama sebulan ini, Hinami tak di-bully oleh siapa pun seperti Kirihara."
Gadis dengan helaian rambut ikal berwarna hitam itu mengelus dagunya seraya bergumam kecil, ia terlihat sibuk bersama pikirannya. Perasaan Akari mengatakan untuk segera mengungkap siapa pelaku tersebut, entah karena dorongan dari alam bawah sadarnya atau hanya sekadar rasa penasaran saja. Akari membuka note kecil yang ia ambil dari tas berwarna biru, menuliskan keterangan-keterangan dan detail yang ia rasa penting.
Membayar masa lalu berarti menerima pem-bully-an.
Menengok masa lalu berarti ikut menerima pem-bully-an.
Ia menunjukkan tulisan tersebut pada Katsuya, membuat sosok di hadapannya tersebut hanya bisa mengerjap lalu menepuk tangan kagum, "Hum, Kujou benar-benar sepemikiran dengan Hanakawa! Aku tahu aku memilih keputusan yang tepat untuk mengajakmu!"
"Mengajak? Apa ini berarti kau menyuruhku agar bergabung bersamamu untuk mengungkap pelaku demi temanmu? Maaf saja, tapi aku sudah memberitahukan petunjuk yang berarti temanmu itu tetap akan dalam perlindungan jika ia tidak mencoba macam-macam," ujar Akari. Memang benar kalau firasatnya mengatakan bahwa kejadian ini cukup aneh atau ada yang mengganjal. Tapi, seperti yang Takuma katakan, ia tidak bisa sembarangan bertindak.
Sebelum Akari bangkit, Katsuya menahan lengannya, melemparkan tatapan penuh permohonan agar ia tidak meninggalkan kelas ini.
"Kujou, kau sendiri tahu kan kalau kasus ini aneh? Bagaimana bisa mereka semua tidak merasa sedih akan kepergian teman sekelas mereka sendiri, hum? Seolah-olah ... kematian Kirihara adalah hal yang wajar. Apa kau tidak masalah jika ada korban yang berjatuhan lagi, hum?" tanya Katsuya, iris cokelat kemerahan tersebut menatap lekat dirinya, seperti tengah bergantung pada sebuah seutas tali harapan. Tidak tahan akan betapa intensnya tatapan itu, helaan napas ke luar dari mulut Akari. Ia mencoba menurunkan lengan Katsuya yang mencoba menggenggamnya dengan pelan.
"Mengapa tiba-tiba peduli, apa selama beberapa hari Kirihara-san ditindas, kau pernah sekali membantunya?"
"Hum, aku tidak membantu ia banyak karena ia bersikap aneh adalah seminggu terakhir ini. Lebih tepatnya dari hari senin lalu, namun tidak ada tanda-tanda penindasan. Bukti pertama kalau ia ditindas adalah dua hari yang lalu, saat hari rabu kemarin, tepatnya kertas-kertas konyol berisikan cat merah itu. Tapi, hum, Kirihara tidak meminta bantuan dan memilih untuk menyembunyikannya sendirian."
"Aku juga tahu kalau ia diancam, aku melihatnya dari isi e-mail yang ia terima!"
"Kau tahu, ada kouhai kita juga yang tengah menyelidiki hal ini. Ia ingin mengungkap kebenarannya dan aku yakin kalau anak itu tidak semata hanya karena penasaran saja. Ada yang lebih kuat dari itu, tapi aku tidak tahu apa alasannya, hum. Jadi ... kumohon, Kujou?" pinta Katsuya, ia terlihat frustasi. Sadar, ia pun buru-buru mengeluarkan handphone miliknya, "ah, hum, kalau kau masih butuh persuasi yang lain, aku dapat mengantarmu langsung untuk bertemu dengan Hanakawa!"
Akari memijat pelipisnya, "Hah ... mengapa kau sangat determinasi seperti ini, huh? Lagipula, meskipun aku merasakan hal yang sama dengan kalian, tapi aku tidak bisa membahayakan diri lebih jauh—"
Apa kau yakin?
Kau akan membiarkan tragedi yang sama terulang sekali lagi?
Bukankah kau yang paling buruk dari yang lain karena mencoba melindungi diri sendiri meskipun tahu ada yang aneh?
Tsumibito.
Rasa mual menghampiri Akari, badannya mulai bergetar dan dipenuhi oleh keringat dingin. Warna merah darah kembali terputar di memorinya, seolah mengingatkan ia akan kesalahan yang ia perbuat, potongan-potongan sekilas saat gadis itu jatuh, membiarkan Eri sendiri sehingga ia memutuskan untuk bunuh diri. Akari menengadah, menatap balik sosok tinggi tersebut yang sedang merasa khawatir akan perubahan keadaannya. Lantas, batin Akari kembali bersuara, untuk mengetahui kebenaran dan menyembuhkan hal ini, aku harus melakukannya.
"Baiklah, aku akan melakukannya. Aku akan bergabung denganmu dan biarkan aku bertemu dengan Hanakawa," ujar Akari, lalu ia menunduk. Lambat laun, keseimbangan sang gadis mulai runtuh, hampir terjatuh jika saja seorang pemuda dengan helaian rambut berwarna hitam tidak muncul dan menangkapnya. Takuma, tak ada yang tahu kapan ia berada di ruangan itu, namun tatapannya terlihat sangat gelap. Aura pemuda itu juga tak bersahabat, bersamaan dengan iris hitam miliknya yang mengkilat marah, menatap Katsuya.
Refleks saja, Katsuya melangkah mundur, waspada. Pemuda yang berada di klub basket itu mengerutkan dahi, cukup merasa gelisah akan tingkah Takuma. Padahal, biasanya ia tak terlihat seperti ini, walaupun mereka berdua terkadang sering adu mulut. Tak ingin tinggal diam, Katsuya berniat untuk membuka suara, "Ryoume, ada apa denganmu, hum?"
Mendengar suara tersebut dan menyadari kalau tangan yang memeluknya saat ini adalah sang sepupu, Akari menengadah perlahan, mendapati Takuma yang tengah mengulas senyum padanya. Namun, senyum itu bukanlah senyum ramah seperti biasa yang ia tunjukkan. Cengkraman dari Takuma mengerat.
"Sepertinya kekhawatiranku benar. Kau tidak pulang ke rumah, meskipun hari sudah hampir berakhir. Dan ternyata kau mengabaikan perkataanku? Apa orang itu lebih berharga dariku sehingga kau mau mendengarkannya?" tanya Takuma dengan suara serak. Ia menahan agar emosinya tidak meluap, mencoba untuk berkepala dingin. Namun, bukannya terpengaruh, gadis itu seolah sudah bertekad ingin mengungkap pelaku. Setidaknya, ia ingin mengetahui kebenaran dari alasan mengapa ia bereaksi seperti ini, apakah ada memori yang ia lupakan?
Bukan fakta yang mengejutkan jika Takuma sering mampir ke rumah keluarga Kujou, mengingat pemuda itu selalu merasa kesepian karena kedua orang tuanya yang berada di luar negeri. Ketika satu-satunya teman main milikmu tak kunjung pulang, kecemasan di dadanya segera saja membuncah. Akari bahkan tak menjawab panggilan darinya, membuat Takuma bergegas ke sekolah untuk kembali mengecek keberadaan sang sepupu.
"Sejak kapan kau ada di sini?" tanya Akari, risih.
"Apa itu penting? Sekarang, aku hanya ingin agar kau tidak terhasut si airhead ini! Ayo pulang!"
Gadis yang masih belum normal napasnya itu mulai naik pitam, ia mendorong Takuma dan mengambil tasnya, "Aku mengerti kalau kau khawatir padaku, tapi ini berlebihan, Taku! Ini keputusanku agar terlibat, jika kau setakut itu maka tidak usah berbicara denganku lagi! Lagipula, aku bukanlah bonekamu yang harus kau rawat dan jaga setiap saat. Aku bisa menjaga diriku sendiri."
Akari pun melangkah ke arah pintu ke luar, mengabaikan Takuma yang berdiri di tempat dan memanggilnya. Sementara, Katsuya ikut berlari ke arah teman sekelasnya tersebut, mencoba mengejarnya. Di koridor, Akari terlihat sangat kesal. Ia mengepalkan tangan sekuat tenaga pada tasnya, seolah bisa memukul seseorang kapan saja ia mau. Mereka berdua melangkah, membuat uwabaki masing-masing berdecit satu sama lain.
"H-hum, apa tidak apa-apa meninggalkan Ryoume seperti itu, Kujou?" tanya Katsuya, khawatir.
"Hmph, bicara apa kau? Bukannya kau sendiri yang mengajakku? Berhentilah bersikap kontradiksi seperti itu, bodoh," sinis Akari tanpa mengalihkan pandangannya yang lurus ke depan. Katsuya memasang ekspresi memelas, tapi tetap berjalan di samping gadis tersebut, seolah Akari adalah majikannya.
Akari menunduk, iris hitam di balik kacamata itu terlihat redup. Ia mencengkram kuat tali tasnya lalu membatin, apa yang kau sembunyikan dariku, Taku? Apa ini mengenai memoriku yang hilang sampai kau harus sekhawatir itu?
***
Glosarium :
- Tsumibito : Pendosa.
- Uwabaki : Memiliki arti ruang sandal, ialah jenis sandal Jepang yang digunakan di dalam ruangan seperti sekolah dan rumah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro